<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6077693976780833028\x26blogName\x3dNabelle+Marion+Elsveta\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nabellemarion.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nabellemarion.blogspot.com/\x26vt\x3d-4581477069342913430', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
profile journal tagboard affiliates credits
Disclaimer

I'm currently 13 years old


Belle's Diary


Dear Diary ♫

Memorable Stories

Contents

Belle's Bio ♫
Surat Tahun Pertama ♫
Kontrak Sihir ♫
Seleksi Asrama ♫
On A Rollercoaster Ride ♫
Berburu Naga Kerdil ♫
Half Alive ♫
It's Fun, Huh? ♫
I Want My DRAGON ♫
She's a Pedophilia Virus ♫
Pieces of Memory ♫

Archives

Recent Posts
Gerbong 5 : Kompartemen #13
I Want My DRAGON! (Belle Pov)
I Want My DRAGON (SILVER Pov)
I Want My DRAGON (Belle Pov)
I Want My DRAGON (Silver Pov)
I Want My DRAGON (Belle Pov)
I Want My DRAGON (Silver Pov)
I Want My DRAGON (ZEUS Pov)
I Want My DRAGON (Belle Pov)
I Want My DRAGON (SILVER Pov)


Date back by month
November 2009
Desember 2009
Januari 2010
Februari 2010
Mei 2010
Juni 2010
Kamis, 31 Desember 2009 @ 19.57
`Harmonika Gisell

Perawakan gadis kecil itu kini sedikit lebih tinggi dari tahun lalu, surai keemasannya yang panjang pun kini dipangkas sebatas bahu—menonjolkan sisi kanak-kanak yang memang masih melekat dalam pribadi seorang Nabelle Marion Elsveta di usianya yang ke-12. Naif, demikian kata orang-orang yang berkomentar tentang dirinya. Polos dan mudah percaya, itulah dia. Takkan ada yang percaya bila kepingan-kepingan masa lalu gadis kecil itu sesungguhnya adalah kepingan-kepingan gelap, hitam, sehitam langit malam. Dia sendiri pun belum mengetahui rahasia di balik masa lalunya yang kini tersimpan begitu rapat dalam memorinya dan tak mampu untuk digalinya sendiri. Ya, kau benar. Ada sihir yang mengikat jauh di dalam benak gadis kecil itu dan belum waktunya untuk diungkapkan.

Gadis kecil itu sulit untuk tidur. Terlalu malas untuk berdiam di kamar. Boris, dragon cat-nya sudah tertidur meringkuk dalam kandang kecilnya. Gadis itu kemudian mengambil sweater hijau mudanya dan mengenakannya di luar mini-dress putihnya. Berniat untuk berjalan-jalan sejenak di tepi danau, tempat favoritnya di Hogwarts. Tungkai mungilnya yang terbungkus boots beludru berwarna hitam melangkah santai menyusuri tangga demi tangga kastil, memperhatikan lukisan-lukisan yang sibuk bergerak dan meracau. Langkahnya kini sudah membawanya keluar dari kastil. Angin telah menyapanya, mengayunkan helaian keemasannya dengan lembut. Gadis kecil itu tersenyum, tak berhenti melangkah hingga tiba pada tujuannya—tepi danau hitam.

Di sana gadis kecil itu duduk dalam diam. Memperhatikan permukaan danau hitam yang tenang tak beriak. Begitu damai, tak seperti hatinya yang masih kalut dengan rasa penasaran tentang masa lalunya. Gadis kecil itu hanya berpura-pura tak peduli di hadapan kakak sepupunya padahal dia begitu ingin tahu. Ingin tahu tentang semua yang terjadi sebelum hari dimana dia terbangun dan melupakan semuanya. Ingin tahu kenapa ingatannya hilang tak berbekas hingga melupakan seseorang yang seharusnya begitu dekat dengan dia. Melupakan setiap kenangan sebelum ulangtahunnya yang ke-7. Namun, jawaban itu tak pernah datang. Sedikit pun tidak. Gadis kecil itu mendesah pelan. Benak mudanya masih belum bisa memahami kerumitan yang ada di balik misteri itu. Belum mampu menerka apa sesungguhnya yang telah terjadi dan kenapa.

Samar-samar, dia mendengar alunan suara harmonika. Sebuah lagu sendu yang mengisi sunyi malam itu. Sebuah lagu yang dimainkan dengan penuh perasaan. Gadis kecil itu memejamkan kedua kelopak matanya, menikmati setiap alunan musik yang mengalir di udara, masuk ke dalam relung hatinya. Sendu memang, tapi damai. Terusik oleh rasa ingin tahu, Belle bangkit berdiri dan melangkah mengikuti arah alunan harmonika itu. Siapa yang memainkannya? Langkahnya terhenti ketika permata kembarnya menangkap satu sosok anak laki-laki yang sangat dikenalnya. Gadis kecil itu tersenyum dan melangkah mendekat.

"Kak Chall bisa main harmonika, ya. Yang tadi itu, lagu apa?" Gadis kecil itu menghempaskan bokongnya, duduk di samping Challaza. Jemari kanannya sibuk merapikan poninya, berusaha menutupi tulisan sewarna darah yang memalukan di kening mungilnya.

Ahhh, semoga Kak Chall tidak melihatnya!



Gadis kecil itu masih sibuk merapikan poninya, dia tak menduga bahwa dia akan bertemu seseorang malam itu sehingga lupa menggunakan ikat kepala untuk menutupi keningnya. Untunglah yang ditemuinya adalah Challaza yang sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri. Kalau yang ditemuinya adalah senior jahat seperti prefek ular, bisa habis dia dijadikan bulan-bulanan. "Oh...kau Belle. Ya begitulah. Belle bisa main harmonika juga?"

Gadis kecil itu mengangguk pelan, sebisa mungkin tidak menggerakan poninya. Malu bila tulisan 'Saya hanya penyihir muda yang payah dan belum bisa melakukan apa-apa serta masih perlu banyak belajar' di keningnya terlihat. Terus terang, tulisan itu membuatnya sangat sedih, rasanya dia seperti seorang penyihir kecil nakal yang tak bisa apa-apa. Padahal kemampuan sihir Belle termasuk bagus dan Belle bukan anak nakal. Gadis kecil itu sadar bahwa memang dia telah berbuat salah dengan menggunakan sihir di luar sekolah, tapi dia melakukan itu untuk membantu juniornya membetulkan payung. Bukan untuk melukai atau mengerjai orang lain. Seharusnya, tante gemuk yang seperti hansip itu bisa memberikan kompensasi dan tidak bertindak semena-mena terhadapnya. Bukankah orang dewasa seharusnya lebih bijaksana? Ah, ya sudahlah. Yang sudah terjadi tak bisa diulang lagi. Belle harus mempersiapkan hati untuk menjalani kehidupan dengan tulisan merah darah di dahinya untuk selamanya.

"Bisa. Tidak terlalu jago seperti kakak, sih. Belle lebih menguasai piano dan gitar," ujar gadis kecil itu menjawab pertanyaan Challaza. Malam itu, angin sepertinya bertiup cukup kencang. Sejuk. Tapi angin itu membuat poni tipis si gadis kecil tersibak tanpa sempat dia tutupi. "Ah.." Gadis kecil itu buru-buru meletakkan kedua tangannya menutupi keningnya.

Aduh, pasti Kak Chall melihatnya!

Challaza jelas telah melihat jalinan aksara tolol di keningnya itu. Lihat saja bagaimana Challaza mengamati keningnya dengan tatapan menyelidiki. Dan sebentar lagi, kakaknya itu pasti akan bertanya. Siapapun pasti akan ingin tahu soal keningnya itu. Tapi, Belle tak keberatan menceritakan semuanya pada Challaza. Dia masih kesal dan ingin menumpahkan semuanya.

"Err...Belle, itu kenapa da..."

"Ini..."

"Lumayan juga."

Gadis kecil itu menutup mulutnya kembali ketika seorang anak perempuan tiba-tiba datang mengomentari permainan harmonika Challaza. Belle dengan polosnya terpana melihat sebatang rokok tersemat di sela-sela jari seniornya itu. Dia belum pernah melihat seorang anak perempuan merokok. Teresa bilang, anak perempuan tidak sepantasnya merokok. Selain tidak baik untuk kesehatan, citra seorang perempuan yang merokok biasanya jadi negatif. Gadis kecil itu mengamati di tempat saat Challaza menyapa senior tersebut memperkenalkan diri, kemudian gadis kecil itu memutuskan untuk melambaikan tangan dan tersenyum pada seniornya itu. "Hai. Aku Belle."

Challaza kemudian kembali duduk dan menyandarkan kepala di batang pohon. "Hmm...Belle, kau percaya dengan adanya teman sejati?" Tiba-tiba Challaza melontarkan pertanyaan yang bagi seorang gadis kecil seperti Belle merupakan pertanyaan yang sukar dijawab. Gadis kecil itu menoleh menatap Challaza dengan ekspresi bingung yang kentara. Saat itulah dia menyadari ada sesuatu yang janggal dari kakaknya. Hidung anak laki-laki itu merah dan iris birunya yang indah terlihat tersaput oleh sesuatu yang bening. Airmata?

"Kak Chall... menangis?" ujarnya lirih. Nada khawatir tersirat dengan jelas dari intonasi suaranya yang lembut. "Kak Chall, tak apa-apa?" Terdiam sejenak. Gadis kecil itu mencoba mencari jawaban atas pertanyaan Challaza mengenai teman sejati. Keningnya berkerut samar sementara Challaza kembali meniupkan harmonikanya, mengalunkan lagu sendu yang tadi dia dengar. Gadis kecil itu paham, kakaknya sedang sedih. Well, apakah Belle percaya dengan adanya teman sejati sementara gadis kecil itu tak punya siapa-siapa yang bisa disebutnya sebagai sahabat? Ingatannya tentang teman-teman hanya sebatas kehidupannya di Hogwarts. Sebelumnya, dia tak punya kenangan apapun tentang 'teman'.

Gadis kecil itu menunggu hingga lagu yang dimainkan oleh Challaza usai sebelum akhirnya dia membuka mulut dan menjawab seadanya, "Belle tak tahu soal sahabat sejati, Kak. Belle sebelum datang ke Hogwarts ini belum pernah punya teman sebaya. Ehm—di sekolah ini pun, belum ada yang bisa Belle sebut sahabat. Belle cuma punya banyak sekali kakak. Ada Kak Arshavin, Kak Artois, Kak Raye, Zeus dan... Kak Chall! Hehehe." Gadis kecil itu kemudian memeluk Challaza, dia hanya bisa menghibur dengan memberi sebuah pelukan untuk saat ini. "Kak Chall, jangan sedih."


BRUGG!!!


Gadis kecil itu melepaskan pelukannya ketika menyadari ada seseorang yang terjatuh di dekat mereka. Challaza dengan sigap menghampiri gadis itu dan mengangkatnya bersama seorang seniornya di klub drama ke pohon besar tempatnya duduk sekarang. Gadis kecil itu menggeser tubuhnya agar anak perempuan yang pingsan itu bisa dibaringkan dengan nyaman.

"Kak Et kenapa?"



Label: