<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6077693976780833028\x26blogName\x3dNabelle+Marion+Elsveta\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nabellemarion.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nabellemarion.blogspot.com/\x26vt\x3d-4581477069342913430', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
profile journal tagboard affiliates credits
Disclaimer

I'm currently 13 years old


Belle's Diary


Dear Diary ♫

Memorable Stories

Contents

Belle's Bio ♫
Surat Tahun Pertama ♫
Kontrak Sihir ♫
Seleksi Asrama ♫
On A Rollercoaster Ride ♫
Berburu Naga Kerdil ♫
Half Alive ♫
It's Fun, Huh? ♫
I Want My DRAGON ♫
She's a Pedophilia Virus ♫
Pieces of Memory ♫

Archives

Recent Posts
Pesta Awal Tahun 1984
Come and Play With Me -Thread Reza-
Fitness? -Thread Kak Jose F. Dawne, prefek Gryffin...
Seleksi Asrama
Hogwarts Express - Gerbong 2 Kompartemen 2
King's Cross - Peron 9 3/4
Toko Lelucon Gambol & Japes
Toko Tongkat Mr. Ollivander
Fleur de Lys
Florean Fortesque's Ice Cream Parlour


Date back by month
November 2009
Desember 2009
Januari 2010
Februari 2010
Mei 2010
Juni 2010
Kamis, 05 November 2009 @ 00.51
`On a Rollercoaster Ride



OOC: Timeline 1 hari setelah Pesta Awal tahun 1984, sore menjelang malam



There's too many question
And too many strings
And it won't keep there selves tied
I'm on a rollercoaster ride
It feels like I'm
lying next to a ghost at night

Kehidupan itu memang terasa seperti waktu kita naik di atas rollercoaster. Kadang di atas, kadang di bawah dan kadang jungkir-balik. Yang berbeda adalah dalam kehidupan, kita takkan pernah tahu kapan saatnya kita akan berada di atas atau di bawah dan atau jungkir-balik. Kadang terjadi perlahan-lahan dengan tahap demi tahap, butuh waktu lama untuk naik kembali ke atas.
Kadang terjadi sedemikian cepatnya dalam satu kedipan mata. Namun, efek yang diterima dalam jiwa manusia tak jauh berbeda. Emosi, lagi-lagi dipermainkan.

Saat menerima surat pengumuman dari Hogwarts, Belle berada di atas. Euforia akan kebahagiaan meliputi seluruh relung jiwanya. Tawa dan senyum seakan tak ingin lepas dari bibir mungilnya. Saat berada di Leaky Cauldron, perlahan-lahan rollercoaster yang Belle naiki mulai turun ke bawah. Ibunya mendadak tak bisa menemani dia lalu kejadian-kejadian yang membuat dia kebingungan karena tak tahu harus berbuat apa. Ketakutan karena hanya sendirian. Panik karena tak mengerti apa yang sedang dilakukannya. Semua itu terasa tak terlalu berat karena di waktu yang sama, gadis kecil itu berkenalan dan mendapat banyak teman baru bahkan tiga orang kakak laki-laki (bukan kandung).

Rollercoaster itu
perlahan mulai menanjak naik. Gairah yang dirasakan Belle saat menerobos palang menuju peron 9 3/4, menaiki Hogwarts Express bersama teman-temannya dan bertemu miniatur naga milik Devin, perjalanan dari Stasiun Hogsmeade sampai ke Kastil Hogwarts hingga suasana baru yang ajaib di Aula Besar membuat semangat gadis itu kembali.

Dan saat sang Topi Seleksi yang agung dengan seenaknya memutuskan asrama untuknya. Rollercoaster Belle tiba-tiba menukik dengan tajam. Tanpa persiapan. Berakhir. Berakhir sudah kehidupan yang
sudah diimpikan oleh gadis kecil itu. Harapan yang ditanamkan oleh kedua orangtuanya pupus seketika.

Sekali lagi, gadis kecil itu kehilangan pijakan. Dia tak mengerti hal-hal yang rumit. Dia masih belum bijaksana. Dia hanya inginkan keinginannya terkabul. Berada di tempat yang dia inginkan. Di tempat yang menurutnya bisa memberikan rasa aman dan nyaman.

Dia tahu, Ravenclaw bukan tempat yang buruk. Dia tak keberatan berada disana. Toh, beberapa teman yang ia kenal pun ada di asrama gagak itu dan mereka ramah. Tapi saat ini, Belle hanya ingin menangis. Meluapkan semua yang selama ini terganjal di hati, egonya. Entah kenapa, gadis itu merasa bersalah pada almarhum ayahnya.

Dad, maafkan Belle..
Belle bukan singa seperti Dad dan Mom
Belle seekor gagak hitam...
Belle tak bisa jadi seperti Dad...

Gadis itu duduk bersandar di sebuah pohon yang menghadap ke danau. Sambil memeluk kedua kakinya, ia menangis hingga kelelahan.
Dan dalam tangisnya, gadis kecil itu tertidur.



Zavala C. Artois

Koordinat yang sama lagi.

Langkah kaki terhenti seiring dengan suara isakan janggal jauh di depan, terpisah jarak antara si bujang tanggung dengan anak manusia—entah siapa—yang sedang menangisi diri sendiri. Menghela nafas dalam, Zavala—nama bujang tanggung itu—melangkah mendekat, tidak cukup dekat untuk menyadari apakah anak manusia itu dikenalnya atau tidak, namun cukup dengan untuk tahu bahwa dia ingin menyampaikan sesuatu tapi tidak bisa. Entah, apapun itu.

"Kalau cewek nangis, itu karena ada yang ingin dikatakan, tapi tidak bisa. Makanya nangis."

Cucu hawa itu membingungkan.

Satu, dua, tiga langkah lebar, membunuh jarak diantara dua anak manusia itu. Menggaruk lehernya—agak bingung—Zavala berjongkok di depan anak manusia itu, dan serta-merta menyadari siapa nona yang sedang bersedih itu, sekaligus mengetahui kenapa dia menangis. Masalah sepele, menurut si bujang tanggung, namun pemikiran si gadis rupanya seratus delapan puluh derajat berbeda. Tersenyum kecut, suasana Pesta Awal Tahun itu terlintas lagi di kepalanya, bagaimana beberapa wajah murung tampak di meja gemblengan Eyang Rowena itu, kelihatan benar sangat kecewa dengan tempat tinggal barunya itu.

R a v e n c l a w.

Ada yang salah ya, dengan itu? Apa reputasi asrama itu di khalayak non-Hoggies begitu rendah sehingga dunia akan berakhir jika keturunan mereka masuk Ravenclaw? —uh well, persetan deh. Zavala mah korban malseleksi; yang secara tidak sengaja dinobatkan menjadi salah satu pemegang kendali di asrama itu—kalau kau bisa melihat tembus pandang, ada lencana P besar di sakunya, emoh dipakai.

Duduk di hadapan si gadis, membelakangi kanvas bening yang menjadi saksi bisu kegilaan segerombol bocah labil yang mencari kesenangan dan dengan bodohnya berenang di akhir musim gugur, memandang lurus, seakan tidak memedulikan si gadis, pandangan menghujam, menembus eksistensi si gadis, menatap pohon yang menjadi sandaran si domba kecil; oak. Mendengus mengingat kejadian dimana Lukewarm memeluk pohon itu, lalu jeritan-jeritan ketika tubuh-tubuh kecil meluncur nista ke dalam danau, membuat seorang Zavala Artois menderita radang paru-paru sepanjang semester. Lalu bayangan Oswald hawa yang menangisi apapun-masalahnya.

Dunia Zavala berpusat di tempat itu, sumpah. Seperti carousel, berputar di tempat yang sama, selalu ada kejadian tak terduga di tempat itu. Koordinat yang sudah terhafal di luar kepala. Tempat potongan-potongan mozaik kehidupannya bertebaran, menyimpannya dalam-dalam di tanah coklat dan kanvas bening yang memlagiat langit diatas. Saksi bisu yang merekam setiap jengkal kejadian berharga untuknya—tempat yang sama berharganya dengan Ruang Rekreasi asrama panji biru dan gerbong 3 kompartemen 8. Semuanya.

Bulan, Quaffle, dan—hujan. Hujan beneran.

"Bangun;" mengguncang tubuh juniornya itu pelan, Zavala melepas jubahnya, menudungi bocah perempuan itu dari hujan. Segera saja t-shirtnya basah perlahan seiring dengan hujan yang semakin deras. "Woi, bangun."

Diangkatlah si bocah, dibawa ke pohon yang lebih teduh.



STEVEN ANDERSON


Danau hitam yang hitam. Kehitaman danau itu membuat danau itu terlihat seperti tak berujung bagi anak kecil ini. Tanpa dibandingkan oleh luasnya danau pun, Steve sudah tergolong kecil. Sejak tadi sore sekitar jam 3, Steve sudah duduk menghadap danau hingga sekarang, sore menjelang malam. Dari mulai sekelilingnya ramai dengan murid-murid Hogwarts yang bermain, bertengkar, menggila hingga menjadi sepi tanpa ada suara. Berjam-jam ia duduk tanpa suara sambil memandang danau kadang langit. Ia tak bicara sama sekali karena ibunya menghilang dari sisi nya. Ibunya tak di perkenankan ikut masuk kedalam kastil. Namun, tetap saja kadang-kadang sosok wanita cantik itu muncul dikamarnya atau diruang rekreasi ketika Steve sedang sendirian.

Steve berjam-jam memandangi danau bukan karena ia tertarik dengan danau Hogwarts dengan segala kisah dan legendanya. Akhir-akhir ini susah sekali membuat Steve merasa tertarik terhadap sesuatu didunia nyata. Ia mempunyai hal-hal yang disukai dan yang menarik minatnya hanya didalam kepalanya. Didalam kepalanya yang kecil, terbentang luas dunia ciptaan anak laki-laki kecil ini. Segala yang ia inginkan ada disitu. Ayahnya, ibunya, teman-teman, makanan enak, buku-buku dan lain sebagainya. Cukup duduk, diam dan menerawang, Steve sudah bisa berbaur didalam aktifitas imajinasinya. Membuat bocah tak berekspresi ini menunjukkan senyuman kecil dan kadang tawa geli.

TES

TES


Tetesan air membasahi ubun-ubun kepalanya dan menariknya paksa ke dunia nyata. Tatapan Steve kini tak kosong lagi. Pemandangan indah yang dipenuhi dengan orang-orang kesayangannya kini menghilang digantikan oleh lukisan alam berupa danau hitam luas yang terlihat sepi, padahal banyak makhluk didalamnya. Steve mendongak keatas. Daun-daun di pohon besar tempatnya bernaung bergoyang-goyang karena terkena tetesan air. Sekali lagi beberapa tetes air menabrak wajahnya. Steve melirik ke arah langit dan barulah ia sadar bahwa sekarang sudah menjelang malam. Ia teringat peraturan yang melarang semua siswa dan siswi Hogwarts berkeliaran dimalam hari. Tanpa mengindahkan hujan yang semakin deras dan tubuhnya yang sudah mulai kebasahan, Steve bangun dan berjalan kearah kastil.

“Untung Mom tidak ikut ke danau,” gumamnya sendiri. Tak ingin ia melihat Momnya kebasahan. Diujung matanya, ia melihat sesosok anak laki-laki yang pastinya lebih tua darinya sedang melakukan sesuatu. Steve terdiam ditengah hujan. Rambutnya lepek karena basah dan begitupula baju lengan panjangnya. Pandangannya terarah ke sesosok anak yang sedang menggendong seorang gadis perempuan. Steve tahu gadis itu. Ia melihatnya ketika acara seleksi asrama. Satu asrama dengannya. Ia memperhatikan anak laki-laki itu memindahkan sang gadis kecil ke bawah pohon. Steve mendekati mereka tanpa suara.

“Hujan. Nanti basah,”



NABELLE M. ELSVETA

Tidurlah buah hatiku
Matahari t'lah lama bersembunyi
Pejamkanlah matamu
Malaikat Tuhan besertamu


Dad?

Damai dan sejahtera
Iringi tidurmu
Esok matahari berseri kembali


Daddy?

Tidurlah buah hatiku
Malaikat Tuhan bersertamu


Dia membuka matanya. Hendak melihat sang pemilik suara yang begitu familiar di telinganya. Suara yang begitu dirindukannya. Suara yang selalu meninabobokan dirinya sampai suatu hari sang pemilik suara direnggut dari kehidupan begitu saja.

Manik abu-abu mudanya berbinar cerah melihat seseorang yang ada di hadapannya. Benar-benar sosok yang selama ini dirindukannya. Kedua lengan gadis kecil itu langsung terulur memeluk erat sosok itu. Sang ayah sendiri.

Tak berani gadis kecil itu berkedip. Takut bila sosok yang ada di hadapannya ini kembali hilang dalam ketiadaan.

"Daddy... Daddy sudah pulang!"

Pria itu hanya diam dan tersenyum lembut padanya.

"Daddy habis darimana? Belle kangen..."

Pria itu mengelus kepala gadis itu perlahan.

"Daddy nggak akan pergi lagi, kan?"

Pria itu mengecup ringan keningnya dan memeluknya erat.

"Kenapa Daddy nggak jawab pertanyaan Belle?"

Pria itu menatap gadis kecilnya dengan tatapan sedih. Seolah ia ingin bicara namun ada sesuatu yang menghalanginya.

Gadis kecil itu mulai menangis. Tak mengerti dengan sikap sang ayah yang begitu dia kasihi.

"Daddy... tadi Daddy bernyanyi untuk Belle, kan? Kenapa sekarang Daddy diam saja?"

Pria itu hanya diam. Mengelus pipi gadis itu dengan kerinduan yang mendalam.

"Bangkitlah, manis. Maafkan Daddy tak bisa menemanimu lebih lama," ujar sang ayah akhirnya.

Perlahan sosok itu mulai transparan hingga akhirnya hilang. Meninggalkan si gadis kecil sekali lagi dalam linangan air mata.

Why, Daddy? Why?


*****

Raga si gadis kecil yang tertidur meneteskan air mata. Mengundang tanya bagi mereka yang ada di dekatnya.

Namun, gadis itu tetap tertidur.

Seolah enggan untuk bangun.



CALVIN CORNWELL


Tahu bagaimana caranya agar tidak kecewa? Jangan berharap.

Calvin sudah banyak mendengar cerita orang yang kecewa karena harapannya tidak terpenuhi. Memang, manusia tanpa harapan seperti orang tanpa tujuan hidup. Manusia tanpa keinginan seperti boneka yang dipaksa bergerak-gerak untuk hidup, seperti kayu yang mengapung tanpa arah mengikuti arus sungai. Namun, suatu keinginan didapatkan karena ada yang tidak mendapatkan. Karena seorang pemenang hadir karena ada pihak yang kalah. Karena seorang pemimpin ada karena ada yang ia pimpin. Maka ketika engkau berada di posisi sebagai seorang yang tidak mendapatkan, maka kau sedang mendapatkan bagian sebagai salah seorang aspek dalam hidup. Sebagai orang yang kalah. Sebagai orang yang kecewa.

Dan sungguh, apakah meracau bisa membuatmu menjadi orang yang berhasil? Apakah rasa kecewa bisa membuatmu lepas dari posisi sebagai orang yang kalah? Silahkan kalau kau ingin mengemis-ngemis rasa iba, memberi alasan ini itu dan menempatkan posisi sebagai orang yang malang. Berkata betapa sedihnya dirimu karena menjadi orang yang tidak beruntung. Maka ia akan tertawa-tawa kecil dalam hati, memerhatikan kau masih punya dua mata yang normal, satu hidung yang normal, helaian rambut yang normal, dan semua-semua yang lengkap bahkan kau masih bisa tidur dua kali di kasur yang empuk dan makan pagi, siang, sore dengan normal.

Ok, sekarang ia yang meracau.

Rintik-rintik, tetesan hujan membasahi helaian pirangnya sebelum semakin deras. Hogwarts adalah tempatnya berada dan pelajaran sihir kelas tiga bukan hal yang mudah untuk dilupakan. Tangannya mengambil Willow 28,3 sentinya dari balik jubahnya, mengarahkan pada dirinya sendiri—

“Impervius!”

—dan senyuman terbentuk di mulutnya ketika ada sesuatu tembus pandang yang menghalangi air itu menyentuh dirinya.

Ketika ia menatap tetesan air yang tidak mengapai dirinya itu, teringat ketika orang menganalogikan hujan dengan kesedihan. Ah, itu terlalu banyak melihat drama. Hujan hanyalah hasil dari awan-awan yang saling bertemu dan membesar, dan karena langit di atas sana begitu dingin, maka uap-uap itu membeku dan berubah wujud menjadi tetesan air. Hujan hanyalah awan yang berubah bentuk—setidaknya, itu yang ia ingat dari pelajaran sekolah dasar di dunia muggle. Dan lucunya, hujan sangat berguna untuk orang-orang yang memiliki kebun dan tidak ingin repot-repot menyiram tanamannya. Hujan juga membuat anak-anak kecil tertawa riang karena bermain air.

Jadi, siapa yang bilang hujan identik dengan kesedihan? Tidak ada? Oh.

Dan ia berjalan dengan santai karena tidak perlu khawatir dengan masalah basah. Sempat berpendar pada sosok seorang lelaki dan seorang gadis, serta lelaki yang menghampirinya. Sedikit terbentuk dalam dirinya kalau mungkin itu kumpulan orang-orang yang ingin bermain hujan, maka rasa penasaran menggelitik dirinya untuk menghampiri tiga sosok itu.

“Prefek Artois, ada apa dengan gadis itu?”

Bola coklatnya mengerling sejenak pada sosok gadis yang sepertinya ia kenal, tetapi mungkin hanya perasaannya. Mata itu beralih pada junior yang tidak ia kenal, senyuman terbentuk di wajahnya.

Ah, basah? Lupa ini dunia sihir, Nak?

Melirik pada sang prefek, wajah tanpa dosa ia tampilkan. Oh ya, ia masih di bawah mantera, kalau kau mau tahu.

“Butuh bantuan?”

Mengeluarkan tongkat sihirnya—bukan untuk pamer, hanya ingin membantu. Serius.


Zavala C. Artois


Goblok banget sih.

Mencabut Reed-nya setengah enggan, Zavala menodongkan tongkat berinti taring drakula itu ke gadis yang masih terlelap di tangkupan tangan kirinya, merapal 'impervius' pelan, sekarang sama sekali tidak berniat untuk membangunkannya. Detik berikutnya tongkat Reed itu sudah tertodong ke arah pemiliknya, sementara si bujang merapalkan impervius juga pada dirinya sendiri. Menghela nafas, Zavala duduk di bawah pohon itu, menyenderkan raga yang jiwanya masih melanglang buana tanpa ribaan jelas ke dunia lain; entah apa yang dimimpikannya dalam tidurnya yang terlampau pulas itu.

Bego, sekali lagi, bego.

“Hujan. Nanti basah,”

Yaiyalah
basah—dikata kalau hujan bisa kenyang?

Zavala menghela nafas pelan, meneleng malas ke arah sumber suara—bocah. Setengah basah, tatapannya kosong seperti menembus semua objek yang ada di hadapannya—seperti... Objek itu tidak pernah ada. Kosong. Dalam. Sekali lagi diraihnya tongkatnya yang sudah menggeletak di sisinya, merapal impervius untuk ketiga kalinya sore itu, mengarahkannya lurus ke domba kecil jantan dengan gerak-gerik aneh itu. Dia seperti hidup di dunia sendiri.

Mirip Zavala—dulu.

"Sedang apa?" bertanya dengan nada minim intonasi, bujang Italia itu memandang malas ke arah anak baru itu; hm, Ravenclaw, yes? Sepertinya wajah pucat dengan tatapan kosongnya itu terselip diantara bocah yang dikirimkan topi seleksi maha kumal itu ke asrama pimpinan Flitwick itu. Mungkin lo ya; Zavala pelupa, ingat? "Sekarang jam berapa, mister? Tidakkah seharusnya junior sepertimu sudah bersiap makan malam?"

Yeah, yeah; junior sepertimu, boy? Oh iya, Zavala prefek sekarang.

Menggeliat malas, bujang tanggung itu memindahkan posisi tidur si cucu hawa yang masih terlelap di sisinya—dan baru sadar ada tetes air jatuh dari arah mata si gadis. Hujan? Tidak, Zavala masih ingat betul imperviusnya tadi berhasil—bocah Italia itu cukup berbakat dengan pelajaran yang menggunakan tongkat. Satu kemungkinan, bocah yang kalau tidak salah bernama Elsveta itu menangis. Yeah. Tuhan, kenapa Zavala sering terjebak dalam situasi seperti ini, ya?

Pinggir danau, acara tangis-tangisan tidak jelas rujukannya.

"Heh, Elsveta, bangun."


Mampus, air matanya makin deras saja.

"Woi, hujan nih."


Masih bergeming juga.

"..."

“Prefek Artois, ada apa dengan gadis itu?”

—dan bagaimana dia tahu Zavala seorang prefek, hm? Pembaca pikiran? Seingat Zavala, lencana keemasan itu bahkan belum pernah disematkan dibagian manapun pakaiannya, entahlah.

"Entahlah, Cornwell. Pundung mungkin. Dan terima kasih atas tawarannya, aku sudah berhasil menyelesaikannya."


Whatever. Kalau dalam janga waktu sepuluh menit masih belum bangun, Zavala bertekad untuk menggotongnya saja ke dalam kastil. Sudah mulai gelap—walaupun hujan, Zavala tetap tahu, titik—dan perutnya keroncongan.

Lapar, men.




STEVEN ANDERSON

Kakak itu mengarahkan tongkatnya ke arah dirinya sendiri dan Steve masih tetap memperhatikannya dalam diam dan dalam taburan tetes hujan. Tak terjadi apa-apa pada kakak itu. Tetapi setelah Steve lihat lagi, dirinya tak terkena air hujan. Setelah itu ia mengarahkan tongkatnya kepada gadis yang sedang menangis. Steve mengeritkan keningnya ketika melihat gadis itu. Berusaha mempertajam penglihatannya yang kadang kabur karena air hujan yang turun semakin deras. Gadis itu menangis atau yang mengalir itu air hujan? Begitu banyak pertanyaan muncul di otak Steve hanya karena melihat satu objek saja, membuatnya tak menyadari bahwa kakak dihadapannya sudah mengacungkan tongkat sihirnya kearah Steve. Ingin kaget tapi tak bisa. Steve hanya memejamkan matanya sebentar ketika ia ditabrak oleh mantra yang dilafal oleh kakak itu. Seketika itu juga, ia tak merasakan air menabrak tubuhnya.

“Sayang sekali—“ gumamnya kecil.

"Sedang apa?"

Steve menatap mata kakak laki-laki itu dengan dalam. Bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan. ‘Sedang akan ke kastil,’ hati dan otaknya menjawab namun sepertinya penyampaian informasi dari otaknya menuju mulutnya tidak berjalan dengan mulus sehingga anak ini masih tetap terdiam dan terkena pertanyaan yang lain. "Sekarang jam berapa, mister? Tidakkah seharusnya junior sepertimu sudah bersiap makan malam?" kakak itu bertanya lagi dan Steve kali ini berusaha untuk menjawab. “Habis—bermain. Akan ke kastil, tapi kakak dan dia ada disini,” ujarnya singkat sambil menunjuk gadis yang sedang terlelap itu. Tak semua yang ingin diungkapkannya bisa di katakannya. Hanya satu kalimat itu yang sanggup keluar. Semoga kakak itu mengerti.
"Heh, Elsveta, bangun."

"Woi, hujan nih."


’Bukan. Bukan begitu cara membangunkannya.’

Ia maju selangkah untuk melihat gadis yang kakak itu panggil dengan nama Elsveta. Lagi-lagi sama seperti ketika di Leaky Cauldron, Steve menganalisa sendiri dan berasumsi bahwa gadis cantik itu bernama Elsveta. “Els—veta,” Steve membaca nama gadis itu tanpa bisa mengontrol suaranya. Jadi ia terdengar seperti memanggil gadis itu padahal ia berniat untuk bergumam. Ia melirik kearah kakak itu yang kini sedang berinteraksi dengan seorang anak laki-laki lain yang sudah bergabung dengan mereka. Anak laki-laki itu memanggil nya dengan sebutan Prefek Artois. “Prefek—Artois,” lagi-lagi Steve memanggil padahal hanya ingin membiasakannya dilidahnya saja.
"Entahlah, Cornwell. Pundung mungkin. Dan terima kasih atas tawarannya, aku sudah berhasil menyelesaikannya."
Meskipun prefek Artois berkata begitu, bagi Steve tidak kelihatan bahwa ia sudah berhasil menyelesaikannya. Tangis Elsveta masih mengalir deras dan ia belum berhasil membangunkannya.

Anak kecil ini maju melewati Prefek Artois lalu berjongkok di hadapan Elsveta. Ia memegang tangan gadis itu yang dingin karena tadi terkena hujan. “Elsveta,” panggilnya pelan. Lalu perlahan ia menempelkan kedua tangannya di kedua pipi gadis itu. “Elsveta,” sekali lagi ia memanggil dengan perlahan dan lembut. “Bangun—“ Steve masih menempelkan kedua tangannya di pipi gadis cantik itu. Steve mengadopsi cara ini dari Mom nya ketika dulu ia masih bisa berinteraksi fisik dengan wanita cantik itu. Jika pagi hari tiba dan Steve masih tergeletak dikasur, ibunya akan duduk dikasurnya lalu menempelkan kedua tangannya di pipi Steve lalu memanggilnya dengan lembut. Cara itu selalu berhasil membuat anak laki-laki ini membuka matanya.

"Pipinya panas," gumamnya karena perlahan ditangannya menjalar rasa panas yang datang dari pipi gadis itu.



Calvin Cornwell

Oh ya, sebentar lagi makan malam, ya?

Calvin melirik sejenak pada prefek Ravenclaw yang sesungguhnya tidak terlalu dikenalnya itu. Dia memang tidak sadar waktu sudah berlalu cukup lama. Masalah Ketua Murid lelaki dan guru PTIH yang baru membuat anak lelaki itu tidak sadar waktu—terutama masalah Ketua Murid. Maksudnya, seharian ini ia berpikir di pinggir danau (berlebihan, sih. Dari siang) bagaimana caranya ia dapat bertahan hidup pada masa yang ia nilai sebagai zaman kegelapan dengan pemimpin tirani dan segala peraturannya yang mungkin semena-mena. Yang mungkin ada perbudakan. Bahkan ia sampai bertanya sana-sini soal siapa saja prefek yang aktif terutama dari Ravenclaw mengingat siapa tahu ada oknum-oknum raja nista itu yang melaporkan kesalahan kecilnya dan membuat hidupnya di Hogwarts menjadi neraka. Dan ia mengutuk detensi. Tiga tahunnya bersih tanpa itu, mengapa harus ada pada tahun ini? Eh, itu artinya ia harus bersikap baik kepada prefek Artois, kan?

“Sama-sama.” Tersenyum ramah tanpa dosa sambil memasukkan tongkatnya. Maksudnya, kapan Calvin tidak menampilkan ekspresi itu, hm?

Sesungguhnya, ia tidak tahu prefek itu sedang bertugas atau tidak karena ia tidak mengenakan lencananya (apakah lencana itu bukti bahwa seorang prefek sedang bertugas? Tidak, bukan?). Pandangannya ia alihkan ke gadis itu. Tertidur, menangis pula. Sebentar, makin lama nampak ia tahu gadis ini, padahal bukan junior seasramanya. Tadinya sempat terlintas kalau lelaki tingkat lima itu melakukan sesuatu yang membuat gadis ini sampai tertidur menangis (sedikit berpikir bisa dijadikan ladang blackmail, maksudnya untuk menghindari detensi dari orang yang bersangkutan). Namun, mengingat rambut pirang dan wajah itu—

—ah.

“Nampaknya gadis itu memang sering menangis, Prefek. Mungkin gadis itu mengalami suatu masalah.”

Paling-paling masalah kecil. Maksudnya, waktu ia magang di toko es krim gadis itu sempat nyaris menitikan air mata karena menjatuhkan barang-barang. Ya, silahkan menangis. Silahkan kalau itu membuatmu lega atau memang refleks dan kebiasaan. Silahkan kalau memang ingin memancing rasa simpati orang dengan itu (maksudnya, di toko es krim. Sekarang gadis itu sedang tidur, pasti tidak sadar). Silahkan kalau ingin menyesali perbuatanmu, atau menyesali apa yang kau dapatkan, atau sekedar mengutuki dirimu sendiri—silahkan. Calvin bukan dirimu dan tidak punya hak untuk melarang.

Dan hal itu tidak bisa mengubah apapun, Nona. Kecuali kau bertindak setelah ini.

“Yah, perempuan.”

Tidak, Calvin tidak sensitif dengan perempuan, malah ia menyukai kaum hawa itu (ia normal, Demi Merlin). Namun, ia tidak suka perempuan yang cengeng. Menangis, fine—wajar. Lelaki juga bisa menangis. Sering-sering menangis? Aih, bukannya memancing simpati Calvin, lebih membuat ia jenuh dengan itu, lho. Kesannya manja. Calvin benci perempuan manja, ia suka perempuan yang mandiri. Namun, ia juga tidak suka perempuan garang, ia lebih suka perempuan yang lemah lembut, anggun, dan pengertian. Jadi curhat, dia. Maaf, ya, kalau seleranya tingkat tinggi. Cantik juga harus, lho—yang ini paling relatif kalau Calvin bilang.

Ok, selesai curhatnya.

Matanya mengerling sejenak ke anak lelaki yang nampak punya masalah bicara (maksudnya, kata-katanya hanya sepotong. Gugup, mungkin? Atau memang bawaan lahir? Nah, kalau ini Calvin benar-benar iba dari lubuk hati—ia cukup paranoid, soalnya) membangunkan gadis yang ia baru ketahui bernama Elsveta itu, sama seperti prefek tadi.

“Benarkah?” Kali ini ia sentuhkan tangannya pada pipi gadis itu sejenak. “Benar. Demam, mungkin. Madam Pomfrey?”

Warna coklatnya kini melihat pada sang lelaki yang menggendong gadis itu, wajahnya sedikit ia buat cemas. Sungguh, malang sekali kau, Prefek. Harus punya junior (gadis itu Ravenclaw, bukan?) yang cengeng dan merepotkan seperti ini. Izinkan Calvin memberi rasa iba padamu dalam batin karena ia sedikit yakin kau tidak membutuhkannya secara lisan, ya?

Tambah lagi, malang sekali kau harus di bawah komando sang Ketua Murid tirani itu. Atau kau menikmatinya, Prefek?



Nabelle M. Elsveta

Gadis itu mencari-cari, namun sang ayah tak juga ia temukan. Ia berusaha berteriak sekeras-kerasnya namun tenggorokannya seolah tersumbat.

Tiba-tiba ia berada di rumahnya di Russia. Di hadapannya terlihat replika dirinya dan kedua orangtuanya sedang tertawa-tawa merayakan ulang tahunnya yang ke-6. Mereka meniup lilin ulangtahun itu bersama-sama setelah replika dirinya itu memejamkan mata sejenak --membuat permohonan. Replika dirinya itu duduk di pangkuan sang ayah, dipeluk dan diberi ciuman di keningnya.

Pandangannya kini diselimuti kegelapan yang sehitam malam pekat. Melindunginya dari segala gangguan dari luar.

Dingin.

Hening.

Ketenangan yang biasa ia sukai itu kini membuatnya kesepian. Kemana sang ayah pergi? Kenapa ia datang jika akhirnya pergi lagi meninggalkan dirinya? Gadis kecil itu terisak. Ia merasakan ketidakadilan. Gadis-gadis lain bisa berjalan-jalan bergandengan dengan ayahnya, kenapa ia tidak? Ia masih ingin tidur dalam pelukan hangat dan buaian ayahnya. Ia masih ingin dimanja. Dad, nyanyikan aku sebuah lagu lagi...

"Bangkitlah, manisku. You are who you are. No matter where you are now. I always be there in your heart," suara itu kembali berdengung di telinganya dan menghilang secepat datangnya.

Dingin.

Perlahan kesadarannya mulai kembali.

Dingin.

Gadis itu merasakan sesuatu yang dingin menempel pada kedua pipinya. Samar-samar mendengar beberapa orang berbicara. Suara anak laki-laki.

"Bangun..."

"Elsveta..."

"Bangun..."


Siapa?

"Pipinya panas."

Rasa dingin yang menempel pada pipinya hilang, tak lama sesuatu yang lebih besar dan hangat menyentuh pipinya.

Pipiku kenapa?

“Benar. Demam, mungkin. Madam Pomfrey?”

Sebuah suara yang berbeda dari sebelumnya berdengung di telinga kecilnya.

Demam? Aku? Madam Pomfrey?

Gadis itu kini bisa merasakan dia ada dalam pelukan seseorang. Agak basah, tapi hangat. Siapa yang memeluknya?

Daddy?

Perlahan gadis itu membuka matanya. Rasa sakit menderanya, kepalanya pusing. Ia menolehkan kepala ke arah seseorang yang sedang memeluk dirinya yang terbaring. Pandangannya masih buram.

"Dad?"

Hanya satu kata yang terucap dari bibir mungil itu sebelum ia memeluk pinggang seseorang yang ia pikir ayahnya --menempelkan wajahnya ke perut orang itu. Ia tak menyadari 2 sosok lain yang ada di dekatnya.

"Dad, jangan tinggalin Belle lagi... Kepala Belle sakit...," ujarnya lemah --terisak.


Zavala C. Artois

Menit pertama.

Duduk bersila sembari memainkan jemari kurus bercetuk-cetuk malas diatas paha, Zavala hanya terdiam dan menunggu, setengah niat. Iris chesnut dalamnya memandang kosong kearah riak-riak hasil tabir transparan yang mengalir lembut dari langit tanpa putus, menabrak ke kanvas bening yang terhampar tepat diarah jam dua belas si bujang tanggung, menampilkan sepilas bayang-bayang. Kira-kira dua meter dari tempatnya duduk sekarang, tepat di tepi danau; seorang gadis pirang dengan senyum yang familiar, duduk berdampingan dengan seorang bocah kurus berambut jabrik yang menyodorkan permen ke si gadis. Lalu hilang.

Menit kedua.

Sedikit berangin, dan intensitas hujan terasa meningkat, entah hanya perasaan Zavala, atau prefek baru itu merasa tidak enak akan satu hal yang akan terjadi beberapa waktu ke depan; tidak hari ini, mungkin besok, lusa, bulan depan? Entah. Maniknya bergulir malas ke arah dua cucu Adam—masih bocah; salah seorang dari mereka bahkan seorang domba kecil—mendiskusikan soal panas tubuh si cucu hawa yang masih tergeletak. Pipi panas, tubuh panas; Madam Pomfrey. Perlukah? Menghela nafas, bujang tanggung itu menggeser posisi tubuhnya sedikit. Dan racauan si Sumurjagung soal masalah dan perempuan. Yeah, perempuan. Cengeng, mungkin?

Menit kelima.

.....

asdfghjkl. Apaan dad?

Sekali lagi helaan nafas berat terlepas dari sistem pernafasannya, dan tanpa pikir panjang Zavala langsung berdiri, memapah cucu Hawa yang baru saja terbangun dan memanggilnya Dad, memeluknya sambil meracau soal Dad, jangan pergi dan kepala sakit.

"Jangan khawatir. Aku disini."
berbisik pelan, miris.

"Cornwell, dan... Siapapun namamu, ke kastil. Sekarang. Cepat."

Tegas.

Tidak pernah setegas itu.

Katakanlah itu salah satu bagian dari tugasnya sebagai prefek baru asrama Eyang Rowena itu—walau sebenarnya Ia tidak begitu yakin juga kalau lencana berukir P besar itu menjadi haknya; salah kirim mungkin terjadi, no?—tapi well, kalau sudah soal asrama dan jam malam, serta ada yang sakit, mengingat Hogwarts sedang dalam era Headboy Schwensteiger ft. Headgirl Windstroke, apapun bisa terjadi.

Dan Zavala tidak ingin kejadian seperti saat kelas satu terulang.

Brengsek. Menit kedelapan.


STEVEN ANDERSON

Tangan Steve masih menempel di pipi Elsveta dan irisnya yang berwarna biru masih menatap lekat kearah gadis berambut pirang itu. Menunggu reaksi dari gadis yang tertidur seperti orang mati dihadapannya. Bayangkan saja, dari tadi sudah kena hujan, terkena mantra serta suara berisik gadis ini tetap bergeming dan terus mengalirkan air matanya. Ah—air mata. Sudah lumayan lama Steve tidak menangis. “Benarkah?” seorang anak lelaki pirang yang sedari tadi sudah bergabung dengan mereka melontarkan pertanyaan yang bersifat memastikan. Steve meliriknya dan mengangguk kearah anak yang di panggil Cornwell oleh Prefek Artois tadi. Kali ini tangan Cornwell hendak menyentuh pipi Elsveta dan Steve perlahan melepaskan tangannya dari pipi gadis itu. Membiarkan Cornwell memastikan keadaan Elsveta dengan tangannya sendiri.

“Benar. Demam, mungkin. Madam Pomfrey?” ujar Cornwell dengan nada meminta pendapat kepada mereka semua yang berada di sekeliling itu dan secara tidak langsung terlibat dengan kejadian di bawah siraman hujan ini. Steve mengangguk sekali lalu melempar pandangan kepada Prefek Artois untuk mengetahui pendapatnya. Namun belum sempat Prefek itu mengangguk atau menggeleng atau bahkan berkomando—he is a perfect after all—gadis Elsveta itu membuka matanya perlahan dan menarik perhatian Steve. Steve yang berada disamping gadis itu melihat gerak-geriknya. Nampaknya mata nya belum terbuka sepenuhnya. Maksudnya, belum sepenuhnya ia mencerna apa yang sedang terjadi disekelilingnya. “Atau jangan-jangan tidak sadar—“gumam Steve dengan perkataan yang terpotong. Lalu selang 2 detik, bocah lelaki itu meneruskan kalimatnya, “—kalau ini danau dan hampir malam.”

"Dad?"

”Mom?”

"Mana Mom? Dad, mana Mom?”


DEG!

Bagaikan Dejavu.

"Dad, jangan tinggalin Belle lagi... Kepala Belle sakit...,"

”Mom tidak akan meninggalkan aku lagi kan?”
“Janji ya,”
“Aku suka senyuman Mom,”


’Tidak masalah meski Mom tak pernah berbicara satu patah katapun sejak kejadian itu. Tak penting meski tak pernah lagi berinteraksi fisik.Yang penting Mom selalu ada disisi ku dan selalu memberikan senyuman cantiknya.

Elsveta memeluk Prefek Artois yang sedang menggendongnya. Memanggil prefek itu dengan sebutan Dad, Steve tidak berkata apa-apa. Steve tidak mencemooh gadis itu yang seperti nya salah orang karena Steve tahu gadis itu sedang kacau. Dan juga Steve mengerti perasaan gadis itu. Tak biasanya seorang yang memiliki penyakit seperti Steve mengerti perasaan orang. Bahkan sering kali Steve tidak mengerti maksud yang ingin disampaikan oleh orang lain. Tetapi dalam hal ini berbeda. Ia pernah berada di posisi gadis itu. Ia pernah kehilangan ibunya satu kali. Tetapi sekarang sudah tidak kehilangan lagi. Ibunya selalu berada disampingnya kapan pun ia mau. Ya, kapan pun ia mau.

Steve bisa melihat Prefek itu berbisik kepada Elsveta namun ia tak bisa mendengar apa yang ia bisikkan. Jadi Steve masih tetap berjongkok disitu sambil memandang keduanya yang kini terlihat seperti sedang berpelukan. "Cornwell, dan... Siapapun namamu, ke kastil. Sekarang. Cepat." prefek itu mengkomando mereka. Steve berdiri sambil berkata kepada prefek itu. “Aku—Steven Anderson,”ujarnya. Yeah—tak yakin juga Prefek itu akan peduli. Meski sudah diperintah seperti itu, bocah laki-laki itu tak bergerak. “Ke Pomfrey bersama—“ ujarnya sambil menunjuk Elsveta dengan ekspresi datar. “—kubantu,”lanjutnya lagi. Yah sebenarnya tak yakin juga apakah ia bisa membantu. Namun jika ada masalah seperti ini sebaiknya mereka bersama-sama kan. Siapa tahu ditengah jalan terjadi sesuatu dengan Elsveta atau Prefek itu, jika ada orang lain yang bersamanya pasti akan lebih baik.

Jadi, Steve menunggu langkah dan perintah selanjutnya dari sang Prefek.


CALVIN CORNWELL


Cinta, kalau kau bicara tentang itu, apa yang ada di bayanganmu?

Orang-orang lebih sering mengaitkan dengan kekasih, dua orang yang saling mencintai, bertepuk sebelah tangan, ciuman, pelukan, blablabla. Sayangnya, Calvin belum pernah benar-benar merasakan hal itu. Dan ia bukan termasuk orang yang percaya hal itu. Para kekasih yang saling memadu perasaan itu hanyalah bahan tertawaannya. Berkata saling mencintai, ingin memiliki, tidak ingin terpisah, melakukan apa saja demi memerjuangkan cinta mereka, dan berbagai hal lainnya yang menurut Calvin bisa luntur perlahan-lahan. Para muda-mudi menurutnya kadang agak sedikit buta. Kadang tidak bisa membedakan antara cinta dan suka. Kadang tidak bisa membedakan antara mengasihi dan menyalurkan nafsu. Jadi, kalau kau datang pada Calvin dan mengatakan kau mencintainya dan ingin memilikinya, maka Calvin akan terkikih dalam hati karena sulit baginya untuk percaya hal itu.

Kalau ada cinta yang ia percayai, saat ini hanya satu baginya: cinta kedua orang tuanya.

Percaya atau tidak, ia menganggap itu sebagai suatu kasih sayang yang murni. Sebagai suatu cinta yang tidak menuntut. Mungkin orang tuamu meminta sesuatu padamu—menjadi anak yang baik, sekolah baik-baik, dan lain sebagainya, tetapi menurut Calvin permintaan itu tidak sepadan dengan apa yang Calvin dapatkan. Kasih yang mereka berikan begitu tulus, dan karena mereka tidak pernah menuntut berlebihan pada Calvin, maka anak lelaki berambut pirang itu semakin ingin untuk berbuat sesuatu untuk mereka. Semakin ingin membalas kasih mereka. Ia sayang mereka, sungguh. Amat sayang dengan mereka. Cintanya pada mereka mungkin tidak sepadan dengan cinta yang mereka berikan pada Calvin sejak lahir, tetapi setidaknya mereka adalah orang yang paling Calvin sayangi di muka Bumi ini, bukan?

Maka, kalau kau bicara tentang orang tua, itu adalah topik yang sedikit sensitif untuk anak lelaki itu.

Dan ketika gadis itu mengeluarkan kata ‘Dad’ dari mulutnya, ia agak tercengang.

Matanya ia terkejap beberapa kali, melihat ke arah gadis yang memohon itu. Apakah gadis itu rindu pada ayahnya? Apakah ayahnya pergi jauh? Refleks ia menelan ludahnya, tiba-tiba bibirnya jadi kelu. Maksudnya, kalau masalahnya seperti itu ia amat memaklumi kalau gadis itu menangis. Oh, tolong, mungkin kalau Calvin seorang perempuan mungkin ia akan menitikan air mata. Ah, tetapi tidak. Calvin bukan anak yang cengeng. Pandangannya hanya sedikit menggelap, terdiam melihat gadis itu. Prefek Artois mungkin berusaha menenangkannya—ah, ia dan anak lelaki ini harus ke kastil, sebaiknya ia menurut saja.

Ngomong-ngomong, entah kenapa ia jadi ingin bertemu kedua orang tuanya, padahal musim panas kemarin mereka bertiga sempat berjalan-jalan bersama.

Mengangguk pelan ke arah seniornya. Ketika ia baru ingin angkat kaki, anak lelaki bernama Anderson itu menawarkan diri untuk membantu gadis itu pergi ke madam Pomfrey. Ia menghela nafas pelan. Sungguh, Calvin salut dengan kemuliaanhatimu untuk membantu, tetapi maaf kalau kenyataan menolak keinginanmu yang tulus, Nak.

“Andersen,” ia menghela nafas, “sebaiknya kita kembali ke Kastil. Rasanya Prefek Artois bisa melakukannya sendiri, dan apabila kamu turut mengantar, justru itu akan membawa masalah. Maksudnya, ini sudah malam dan sebentar lagi waktunya makan malam. Tugas prefek salah satunya untuk memastikan murid yang bisa hadir untuk hadir, bukan?”

Tidak yakin, sih. Calvin juga tidak tahu banyak tentang tugas prefek.

“Atau setidaknya murid biasa tidak berkeliaran di malam hari.”

Dan seharusnya ia sudah kena detensi. Untunglah kejadian Elvesta membuat prefek itu mungkin tidak ingin mempermasalahkan hal ini. Tangannya sedikit menepuk di bahu anak lelaki itu, berusaha membuat senyum ramah.

“Sebaiknya kita ke kastil dulu dan kurasa hal itu sangat membantu prefek Artois. Mungkin nanti kita bisa menjenguknya kalau agak baikan.”

Calvin baik? Tentu. Sejak kapan Calvin jahat? Ia memang suka meracau sana-sini, tetapi sungguh, ia anak baik. Dan membantu pun rasanya percuma, mereka tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyembuhkan gadis itu. Serahkan pada prefek Artois dan Madam Pomfrey, baik? Tidak perlu bersikap sok baik (atau benar-benar baik) kalau misalnya itu hanya membawa masalah.

Menunggu anak lelaki itu untuk bergerak—kalau masih tidak mau, ia akan menyeretnya. Atau mungkin membiarkannya. Maksudnya, siapa anak lelaki itu dan siapa Calvin? Dan siapa gadis di gendongan itu dan siapa Calvin?

Ah.

Hujannya tambah deras, ngomong-ngomong.



NABELLE M. ELSVETA



Those happy hours I spent with you
That lovely afterglow
Most of all I miss you so

Your sweet caresses, each rendezvous
Your voice so soft and low
Most of all I miss you so


"Daddy... jangan tinggalin Belle," gadis itu terus meracau, antara sadar dan tidak. Demamnya semakin meninggi. Keringat mulai menampakkan diri di permukaan kulitnya.

Kembali benak gadis itu terlempar ke masa lalu. Saat ia bersama orangtuanya pergi ke sebuah taman hiburan. Di sana si kecil Belle yang baru berusia 5 tahun entah bagaimana terpisah dari kedua orangtuanya. Tersesat. Tubuh mungilnya terhalang oleh orang-orang yang besar di matanya. Ia tak bisa menemukan orangtuanya. Tangis pun merebak. Dan tak lama, sang ayah menemukannya. Menggendong dan menciumnya dengan linangan air mata.

"Jangan khawatir. Aku disini."

Dad?

Bisikan lembut di telinganya membuat gadis kecil itu tenang. Ayahnya ada di sampingnya, setidaknya itu yang ada di pikiran anak itu sekarang. Dia tak lagi sendirian. Perlahan, anak itu menyenandungkan lagu dalam suara yang lemah, tersendat-sendat. Isi hati yang selama ini ia pendam pada sang ayah yang begitu ia kasihi. Berusaha ia tumpahkan segala rindu yang telah memenuhi di hatinya --nyaris meluber.


Papa, can you hear me?

Belle mendengarmu, Dad--

Papa, can you see me?

Belle tak bisa melihatmu.

Papa, can you find me in the night?

Temukan Belle seperti saat di Taman Hiburan dulu, Dad--

Papa, are you near me?

I need you, Daddy--

Papa, can you hear me?

Papa, can you help me not be frightened?

Belle takut. Belle mau Daddy disini--

Looking at the skies, I seem to see a million eyes

Which ones are yours?

(terdiam)
Samar-samar, gadis kecil itu teringat pada suatu malam saat gadis kecil itu kembali menuntut kehadiran sang ayah, ibunya pernah bercerita. Mereka yang telah meninggal tidak sungguh-sungguh pergi meninggalkan mereka yang masih hidup di dunia. Raganya mungkin sudah tak dapat dilihat tapi roh mereka berubah menjadi bintang-bintang yang gemerlap di langit malam --serupa ribuan mata yang memperhatikan orang-orang yang mereka kasihi di bumi.

Yang mana bintangmu, Dad? Tunjukanlah dirimu padaku--

Papa, please forgive me

Try to understand me

Maafkan Belle. Maaf--

Papa, don't you know I had no choice?

Tahukah Dad, Belle tak bisa memilih tujuan yang ingin Belle pilih--
Maaf dan jangan tinggalkan Belle lagi--
Please..


Tiba-tiba gadis itu terdiam. Matanya kembali terpejam. Semburat pink di pipinya kini hilang sama sekali --wajah mungil gadis kecil itu kini pucat seperti kertas. Lengan yang sejak tadi memeluk anak lelaki yang ia kira ayahnya kini terkulai lemas --jatuh menjuntai ke tanah. Kegelapan kembali menyelimuti benak si gadis --memerangkap kesadarannya. Kesadarannya perlahan menghilang. Dengung samar terdengar sesaat di telinganya kemudian hilang sama sekali dalam ketiadaan. Gadis kecil itu pingsan.



Zavala C. Artois


Oh, please.

Mau jadi knight in shining armor, tuan?

Buliran chestnutnya terpejam lamat-lamat, pening. Pening dengan segala tanggung jawab yang terpapar, berputar-putar dan tertawa mengejek dalam batinnya. Tiba-tiba sistem alat gerak bagian atasnya serasa tidak ada, serasa kebas, terlalu terbeban dengan anak manusia yang terkulai lemas di papahan kedua tangan kurusnya. Ujung matanya mengerling ke arah dua cucu Adam yang masih saja berkeras-kepala dan tetap diam, salah satunya dengan polosnya merespon dengan ingin membantu. Oh, pernahkah Zavala beritahu kalau dia sangat benci orang yang keras kepala? Yeah, kalau kau ingin tahu, bujang tanggung itu bahkan membenci dirinya sendiri.

Menit kesepuluh. Habis sudah kesabaran si bujang tanggung.

"Teserah saja jika ingin ikut ke Madam Pomfrey, tapi—"

Zavala menghela nafas, mengatur emosinya sendiri.

"—cepat ke kastil. Sekarang."

Nah'ah, jika Zavala berkata sekarang, domba manis, artinya benar-benar sekarang. Sepasang sneakers putihnya yang sudah menemaninya sepanjang hidupnya itu mulai melangkah meninggalkan koordinat yang sudah dihapalnya diluar kepala, setengah berlari untuk membawa anak tahun pertama dalam papahannya itu ke tempat yang lebih baik sebelum terjadi sesuatu yang lebih gawat.

Panas, ngomong-ngomong.

Bukan, bukan suhu udaranya, tapi suhu tubuh bocah yang terkulai lemas dalam papahannya. Mendengus, bujang tanggung itu hanya bisa membiarkan seluruh tubuhnya tersiram air hujan, membiarkan tetes demi tetes tabir langit itu membasahi setiap jengkal tubuhnya. Membiarkan rambutnya yang semula mencuat tidak beraturan ke atas menjadi turun, dan tetes air yang sempat singgah ke rambut coklat gelapnya itu menetes perlahan melewati pelipisnya, jatuh ke pipinya.

—imperviusnya gagal.

Tertegun, pandangan matanya yang semula memandang lurus bermanuver ke gadis dalam papahannya, memastikan apakah mantra yang semua dirapalnya pada raga gadis itu berhasil atau tidak. Tidak, cucu Hawa itu bisa terbilang cukup kering. Langkahnya berhenti, memandang raga dua cucu Adam di belakangnya, masih bergeming. Matanya memicing, memperhatikan anak tahun pertama yang sempat Ia mantrai dengan mantra yang sama; kering. Menghela nafas lega, Zavala tersenyum tak kentara. Setidaknya hanya dirinya yang basah. Setidaknya dua domba kecil itu tidak.

Menit ketiga-belas, dan mereka belum beranjak.

"AKU. BILANG. SEKARANG."

Menyalak ke dua bocah yang belum juga mulai berjalan dari koordinat tempat mereka berdiri tiga menit yang lalu, melempar tatapan tajam pada dua junior yang terpaut jarak cukup jauh darinya itu. Sekilas, prefek baru itu merasa ingin tidak pernah ada disitu, ingin membuang lencana prefeknya, ingin tidak pernah bertemu dengan dua domba kecil itu, ingin tidak ada di Hogwarts, ingin pulang, ingin mati.

Ef-yu-si-kei.

Mungkin begini perasaan senior Qualfrey dalam mengatur semua bocah itu? Merasa bertanggung-jawab jika domba-domba kecil yang tersesat adalah anak asramanya? Merasa malu jika yang membuat kesalahan memiliki lis biru seperti pada seragamnya? Membuang muka, Zavala beranjak, membawa Elsveta secepatnya ke kastil.




Calvin Cornwell

Kau tahu, kan, kalau Calvin benci sekali yang namanya hukuman? Benci juga terlihat buruk di mata orang lain—yah, walau ia tidak bisa menebak jalan pikiran seseorang, tetap saja apa yang ia tangkap dari seorang Artois adalah seperti itu. Emosi. Panik, mungkin. Bagaimana, ya? Orang itu prefek, lalu sekarang sedang menggendong salah satu anak dari asramanya, anak itu sakit, dan dua orang murid biasa berkeliaran di malam hari—bukankah itu keren? Sempurna sekali, kan, untuk membuat mood orang memburuk?

Ketika ia berteriak, Calvin refleks memejamkan mata. Sungguh. Bahkan untuk melawan pun tidak berani. Kondisi orang itu sedang buruk dan Calvin memperburuknya. Ia sedikit ngeri, sungguh. Karena ada kemungkinan terkena detensi? Ya, itu salah satu penyebabnya. Penyebab lain? Aduh, sudah sewajarnya kamu merasa takut ketika ada seseorang yang marah, bukan? Seseorang yang berteriak kencang padamu. Atau sekedar merasakan perasaan tidak nyaman.

Dan ia tertegun ketika prefek itu berteriak untuk kedua kalinya. Basah, ia bisa lihat. Untuk menawarkan bantuan—Merlin, ia tidak berani berkata. Manusia sangat mengerikan ketika mereka tidak dalam kontrol mereka. Ketika mereka panik. Ketika mereka dikuasai oleh emosi. Ketika mereka tidak dapat berpikir untuk berbuat. Jalan paling aman adalah diam, menurut, dan tidak melakukan apa-apa. Tidak membantah. Ia tidak mau—bukan detensi lagi—katakan dilempar Stupefy, begitu?

Dan mereka berlalu. Sepenuhnya berlalu. Meninggalkan seorang Calvin Cornwell dengan anak Ravenclaw yang bernama Anderson itu. Matanya menatap ke anak lelaki itu, ke jubahnya yang ditarik olehnya, sebelum menghela nafas dengan pelan.

“Anderson,” sedikit berjongkok, hanya untuk membuat tinggi wajah mereka sama, “gadis itu akan baik-baik saja, percayalah padaku. Prefek Artois itu baik dan ia hanya sedikit panik. Kita tidak membuatnya marah, kok.”

Tersenyum dengan lemah. Mungkin setengah dari kata-katanya adalah untuk menenangkan dirinya sendiri. Sedikit menepuk bahu anak lelaki itu, kini berdiri dengan tegak sambil sejenak menatap pada langit. Iya, ia tahu langit tidak bersalah karena hujan. Langit hanya ingin membagi berkahnya. Alam tidak pernah bersalah pada manusia—mereka hidup dengan siklusnya, dengan aturannya, dan kita manusia yang mengusik. Akal tidak bersalah, sama sekali tidak. Kalau manusia hanya hidup dengan akal, mereka pasti cukup cerdas untuk tidak mengusik alam.

Emosilah yang bersalah. Emosi yang menciptakan ambisi, emosi yang menciptakan keinginan, emosi yang menciptakan rasa berkuasa. Di lain pihak, emosi juga yang menolong alam, emosi memberikan rasa iba, dan emosi menggerakan seseorang itu membantu. Apakah emosi itu baik atau buruk? Ah, emosi itu pedang bermata dua. Kalau kau menggunakannya dengan baik, itu adalah hal yang baik. Kalau kau menggunakannya dengan buruk, itu hal yang buruk. Bagaimana kita tahu hal itu baik atau buruk karena ketika engkau beranjak dewasa, perbedaan dua hal itu begitu tipis? Bahkan nyaris tidak ada?

Bukankah tugas kita sebagai manusia untuk belajar mengenai hal itu?

“Ayo kembali ke kastil.”

Berjalan menuju ke arah Kastil, diikuti dengan anak lelaki bernama Anderson itu. Pantaskah ia memperdebatkan mana hal yang baik dan buruk? Bukankah pandangan tiap orang itu berbeda? Bukankah apa yang ia percayai baik belum berarti baik bagi orang lain? Biarkan ia dengan kepercayaannya, dan orang lain dengan kepercayaan mereka. Mungkin, mungkin karena Calvin mengetahui hal ini ia tidak berani mendebat. Mungkin karena itu ia bisa membenarkan semua hal. Karena semua ada alasannya. Karena manusia selalu beralasan.

Bukankah karena itu manusia menjadi suatu sosok yang unik untuk diamati?

Label: