<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6077693976780833028\x26blogName\x3dNabelle+Marion+Elsveta\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nabellemarion.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nabellemarion.blogspot.com/\x26vt\x3d-4581477069342913430', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
profile journal tagboard affiliates credits
Disclaimer

I'm currently 13 years old


Belle's Diary


Dear Diary ♫

Memorable Stories

Contents

Belle's Bio ♫
Surat Tahun Pertama ♫
Kontrak Sihir ♫
Seleksi Asrama ♫
On A Rollercoaster Ride ♫
Berburu Naga Kerdil ♫
Half Alive ♫
It's Fun, Huh? ♫
I Want My DRAGON ♫
She's a Pedophilia Virus ♫
Pieces of Memory ♫

Archives

Recent Posts
Another Universe versi preman
Another Universe (MENGGILA MODE)
Orkes Dangdut Keliling
Unperfect
Money Tree?
Kelas Sejarah Sihir
Hasil Karya Belle -Om Banshee-
It's Fun, huh!?
Halaman - Tek Dunk: MAU PETASAN?
Registrasi Klub Musik


Date back by month
November 2009
Desember 2009
Januari 2010
Februari 2010
Mei 2010
Juni 2010
Jumat, 13 November 2009 @ 23.20
`Berburu Naga Kerdil

NABELLE

Naga.

Dragon.

Ryuu.


Kau tahu betapa besar rasa ingin tahu gadis kecil bernama Nabelle Marion Elsveta ini terhadap makhluk sihir yang disebut Naga? Iya, naga yang ada di buku-buku dongeng anak-anak dan juga di film-film kartun. Naga yang gagah, besar dan bisa menyemburkan api itu. Sangat besar. Yeah, sangat besar rasa ingin tahu gadis itu. Terutama sejak ia mengetahui bahwa di dunia sihir benar-benar ada naga sungguhan, gadis kecil ini seringkali bermimpi bertemu dengan naga. Ditambah lagi, saat dia membeli tongkat sihirnya di Diagon Alley, dia mendapat tongkat sihir dengan inti nadi Naga Kerdil. Sampai saat ini pun, gadis kecil itu sungguh penasaran dengan wujud asli seekor Naga Kerdil. Dia pikir semua naga itu besar seperti dinosaurus. Tapi ternyata ada yang kecil juga. Benar-benar seperti ayam. Ada yang besar dan ada yang kate—meski ukurannya nggak beda-beda jauh, sih.

Seharusnya Naga Kerdil itu lebih besar dari Pod—Miniatur Naga milik senior Devin. Mungkin seukuran anak anjing?

Karena itulah, saat ini gadis kecil itu kini berada di balik rak-rak buku tinggi di perpustakaan Hogwarts. Perlahan-lahan menyusuri barisan buku-buku dengan jemari kurusnya. Astronomi Populer, Ramalan Bintang, Cara Membuat Ramuan Cinta (?), Sejarah Quidditch. Kedua permata kembarnya sibuk mencari-cari buku yang mengisahkan tentang naga yang tak juga berhasil dia temukan. Perpustakaan itu sangat luas. Penuh dengan ratusan rak buku yang besar-besar. Gadis itu jadi ragu, bisakah ia menemukan rak yang penuh dengan buku tentang naga hari ini juga? Dia tak tahu dimana rak yang tepat berada, meski sudah bertanya pada petugas perpustakaan sebelumnya.

Gadis itu belum hendak menyerah. Meski ia cukup kesulitan untuk melihat judul-judul buku pada bagian atas rak. Seperti perpustakaan pada umumnya, di sana juga disediakan tangga beroda untuk memudahkan mereka yang hendak mengambil buku pada rak bagian atas. Gadis itu perlahan memanjat tangga tersebut. Penasaran hendak mengambil sebuah buku tebal berwarna merah di atas sana. Debu menyambutnya begitu tiba di atas. Permukaan punggung buku itu dilapisi debu yang cukup tebal, pertanda tak banyak orang yang meminjamnya. Gadis itu membersihkan buku tersebut dengan sapu tangannya. Kini terlihatlah goresan tinta emas yang tertulis disana. Ensiklopedia Naga. Ah! Ini buku yang ia cari-cari. Demi Merlin, akhirnya dia berhasil menemukannya. Dengan bersemangat, ia menarik buku tersebut keluar dari rak. Berat, keras, buku itu sepertinya terjepit begitu kuat oleh buku-buku lain di sampingnya. Gadis itu menggunakan kedua tangannya dan menarik buku tersebut sekuat tenaga. PONG! Berhasil. Buku itu kini ada di tangannya. Tak disadarinya bahwa berat buku itu membuat pijakannya di tangga jadi tak seimbang. Buku itu mengayun ke bawah, mendorong tubuh gadis itu ke belakang tanpa bisa ditahan.

GUBRAKKK!!

Gadis itu terjatuh dan dengan sukses membenturkan kepalanya pada rak buku di belakangnya. Semoga saja tidak membuat buku-buku disana terjatuh atau tamatlah riwayatnya.

"Ouch"

Buku tebal yang tadi diambilnya terlempar mengenai kaki seseorang. Ups, maaf.

*****
ARSHAVIN

Demi setiap potong diksi yang pernah mengalir, demi setiap perkamen yang pernah bertoreh deret-deret kalimat pewadah ilmu, dan demi setiap momen ketika konversasi serupa kenangan berarti dengan seseorang, aroma di sana terlalu ia kenal.

Arshavin Windstroke menyusuri lapisan ubin yang kental dengan selimut debu, melayangkan pandang sesekali pada kubik-kubik segi panjang berpetak teratur yang di dalamnya berpucukkan sampul-sampul tebal penuh sepuhan pengetahuan, lalu pandangan sewarna langit musim panas itu berpaling sejenak pada jendela berbingkai kayu di sampingnya. Terlalu banyak detik yang tersisa di balik lapisan transparan itu, rupanya. Sejauh lapisan teduh itu memandang, senja masih sangat jauh. Mungkin tertidur pada permukaan garis horizon yang samar-samar terpetakan langit, mungkin bahkan sudah mengintip di sisi bawah jendela dan sedang menunggu momen paling tepatnya untuk muncul tiba-tiba. Tidak peduli, sebenarnya. Kerlingan saja yang menjadi pembatas gesturnya, sampai garis imajiner yang tadinya bertumbukkan dengan permukaan mengilap jendela berbingkai eboni tersebut dibelokkan, kembali pada jalurnya semula.

Lurus, dan masih menjumpai sepi yang sama. Karena ini bukan tempat dimana kau bisa melontarkan canda dan kikikan ringan, karena ini bukan lahan stereotip tempat kau bisa mengisi perut ataupun mencurahkan pikiran secara verbal di antara sepuluh kepala, maka kebanyakan menghindarinya. Cukup manusiawi, memang. Lalu, apakah itu berarti bahwa yang memilih untuk menatah diri di dalamnya telah kehilangan insting kemanusiaannya? Tidak. Sama sekali tidak. Ini hanya masalah pilihan. Ada jutaan probabilitas yang tersedia untuk satu menit saja waktu luang, dan di antara tebaran tersebut, sang Windstroke muda memilih perpustakaan sebagai opsi tunggalnya. Terlampau sering. Ha. Entah apa ia membutuhkan cibiran ataupun rangkai pujian atas pemikiran bersudut pandang sempitnya itu, Arshavin memilih untuk mengalihkan atensinya pada alasan ia berada di sini. Langkahnya terajut lagi setelah membuang beberapa detik untuk memilih arah, ia kini menetapkan destinasinya pada suatu spot yang berjarak tiga rak dari tempatnya berdiri. Random.

Tadinya.

Dua detik ia terdiam, lalu kelopak matanya terpicingkan turun. Namun bukan karena menjumpai kebosanan di sana, bukan karena ia sedang bertumbukkan dengan momentum serupa anomali adegan. Itu, adalah perwakilan dari ekspresinya. Ya. Kakinya yang mendapatkan peran utama, sekarang—menerima bongkahan tambahan yang resmi membuat langkahnya terhenti dan alisnya berjengit. Tsk. Roman wajah yang samar menjengahkan emosi itu refleks berpaling pada benda asing yang tiba-tiba tersungkur ke arahnya tersebut, alisnya berkerut lebih dalam. Sebuah buku. Ketebalannya hampir mencapai setengah penggaris, sampulnya menjadi penarik selanjutnya bagi tubuh sang Ravenclaw muda sehingga ia kini merunduk; memungutnya, namun sebuah suara yang dilatari sopran khas anak perempuan membuat mata biru langitnya berpindah haluan. Erat-erat, ia menjumpai satu sosok asing di hadapan. Rambutnya pirang, tubuhnya kecil mungil, penanda lintangan usia yang terpaut jauh. Junior, mungkin. Sang pelaku?

Yang jelas buku ini tidak turun dari langit ataupun tersesat dari peraduan sebenarnya. Benar?

Ha.

Arshavin perlahan menggamit buku yang sudah menghabiskan detik-detik bersama buaian dingin lantai itu, menggamitnya erat selagi langkah pendeknya membawa tubuh berlapis jubah yang lisnya sebiru laut tersebut menuju satu titik; yang masih tersungkur berlatarkan sampul buku berbagai warna. Hitungan detik, ia tiba. Berhadapan. Aliran darah kehidupan milik sang Windstroke muda masih dingin di balik nadi, deras dalam kekonstanan yang membosankan bagaimanapun jenis emosi yang terwujud dalam otaknya, dan telapaknya yang kurus terulur perlahan dalam sekon selanjutnya.

Berdiri, Nona.

Hanya dalam benak, semua itu ternyatakan. Ia tidak terlalu pintar membuang-buang aksara, sayang sekali.

*****
NABELLE


Terakhir kali Belle terjatuh seperti ini adalah saat dia sedang belajar keseimbangan dengan Ms. Leona. Tiga buah buku tebal diletakkan di puncak kepalanya dan dia diharuskan turun dari tangga tanpa membuat buku-buku tersebut terjatuh. Pelajaran yang sangat sulit, bukan karena gadis kecil itu tidak mampu, tapi lebih karena bobot buku-buku yang diletakkan di kepalanya itu terlalu berat. Sepertinya Ms. Leona lupa bahwa Belle saat itu masih seorang bocah berusia 9 tahun. Alhasil, bukan hanya bukunya saja yang terjatuh—Belle pun dengan sukses ikut terjatuh bersama buku-buku tersebut, menggelinding sampai ke dasar tangga. Ajaibnya, gadis kecil itu sama sekali tidak terluka. Namun kali ini, Belle tidak seberuntung itu.

Lapisan debu yang berjatuhan bersama buku-buku korban bencana jatuhnya Belle itu membuat gatal indera penciumannya. Belle bersin beberapa kali sebelum akhirnya debu-debu itu tidak lagi menghujani dirinya. Bintang-bintang imajiner berputar-putar saat gadis kecil itu mencoba membuka mata, seolah-olah kedua matanya ditempeli kaleidoskop yang berputar-putar tanpa akhir. Belle mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya, sebelah tangannya bergerak memegang belakang kepalanya yang terbentur keras. Jemari kurusnya mengusap bagian kepalanya yang sakit, sebuah benjolan yang cukup besar kini hadir di disana memberikan rasa nyeri yang cukup membuat senewen.

"Sssh..." Gadis itu mendesis saat jemarinya tak sengaja menyentuh benjolnya. Puncak benjolannya itu sepertinya terluka, jemarinya merasakan sedikit lembab disana. Benar saja, ada sedikit noda darah di ujung telunjuknya saat ia melihatnya. Sial. Dia pasti terlihat sangat konyol dengan buku-buku menyelimuti bagian atas tubuhnya ini.

Tap tap tap—

—indera pendengarannya menangkap suara langkah kaki di dekatnya, semakin lama semakin dekat. Gadis kecil itu mengarahkan kristal abu-abu mudanya pada sosok pemuda yang kini berdiri di hadapannya dalam diam. Entah pemuda itu memang irit bicara atau memang bisu. Belle tidak tahu dan tidak hendak berkomentar. Apalagi dia mengulurkan tangan pada Belle. Itu artinya dia berbaik hati mau menolong, bukan? Gadis itu berasumsi kalau pemuda di hadapannya itu pasti adalah seniornya di Ravenclaw. Setidaknya dia merasa pernah melihatnya dan juga ada lis biru di jubahnya. Perlahan, gadis itu menyambut uluran tangan kurus seniornya itu. Mencoba menumpukan berat badan pada pegangan tangannya dan perlahan menapakkan kaki kanannya untuk berdiri. Hanya satu detik sebelum rasa nyeri yang amat sangat tiba-tiba menyerang kaki kanannya dan membuatnya berjengit kesakitan lalu kembali jatuh terduduk dengan wajah pucat. "Kakiku sepertinya terkilir." Gadis kecil itu menatap pemuda di hadapannya dengan senyum miris.

"Kakak tahu tentang naga?" Gadis kecil itu akhirnya memutuskan untuk membuka pembicaraan untuk memulihkan suasana kaku yang aneh antara mereka. Jari telunjuknya menunjuk pada buku-tebal-penyebab-bencana di genggaman sang senior.



*****
ARSHAVIN

Seperti serbuk bunga yang kali ini memilih untuk mengubur diri sampai musim mereka tiba, debu-debu di sana seakan beralih fungsi menjadi tebaran lembut tersebut. Ringan. Berpendar keemasan saat diterpa cahaya matahari dan mulai menghiasi udara sebagai tembok rapuh, mencari sudut-sudut kosong kayu jendela yang belum terjamah, mengikuti setiap langkah yang menyisir mereka dalam satu derap saja, dan bersikap begitu lemah ketika helaian dingin udara kembali memeluk butir-butirnya. Ruangan bersudut empat ini, sama. Disepuhi seremoni gemerlap yang familiar, dengan eksistensi pararelnya yang terlampau sempurna, merambati penglihatannya perlahan. Ya. Arshavin Windstroke dapat melihat sungai keemasan milik debu mulai berulir dan menjalin suatu pola anyaman di atas pucuk kepala sang gadis, melatari penuh-penuh keberadaan dua orang dengan jubah bersepuh warna biru yang masih terpakukan dalam pemikiran masing-masing—mengiringi lamunan, yang mungkin sama-sama tak berujung itu.

Ia tidak peduli.

Desibel-desibel suara di sekitarnya seolah kehilangan kemampuan untuk mengujarkan tugas mereka, sehingga hanya denging-denging milik sunyi yang ia jumpai dalam pemikiran satu arahnya. Bukan. Memang bukan waktunya ia terpaku dan mengulurkan tangan hanya karena refleks yang enggan bekerja sama. Ini juga bukan waktu yang tepat untuk menebarkan simpati tanpa alasan. Seharusnya. Dan alisnya turut naik perlahan setelah tangan sang gadis menggenggam telapaknya; mempertanyakan gaya tarik yang tiba-tiba memperkuat diri dan membuat punggungnya ikut turun secara refleks. Benaknya mencibir sejenak, tepat ketika ia berlutut di hadapan gadis berambut pirang itu, sedikit merasakan tautan rasa tak nyaman karena lagi-lagi pemikiran realisnya terseret pada sirkumtansi merepotkan yang tak pernah ia harapkan. Ck. Arshavin menarik telapak tangannya yang sempat menggenggam jemari mungil gadis Ravenclaw tersebut, sudut mata biru langitnya membaca deret kecil nama yang tertera pada jubah milik sosok di hadapan.

Nabelle Elsveta.

“Terkilir?” Kini frekuensi suara seolah mulai bermunculan kembali, saling tumpang tindih dalam ketergesaan yang berlebih, menghidupkan lagi pelataran di sana bersamaan dengan tutur kata datar milik sang Ravenclaw muda. Mata biru langitnya menatap lurus Elsveta sesaat, sampai kata-kata selanjutnya terdengar menerabas udara bersama intonasinya yang enggan berubah. “Bangkit dan cari Madam Pomfrey, kalau begitu.” Bibirnya terkatup rapat setelah kalimat tanpa nada itu. Dan yang Arshavin lakukan selanjutnya hanya mengulurkan buku bersampul keras yang sedari tadi ia genggam, bersiap untuk bangkit kembali sampai sebuah pertanyaan membuat lutut itu tetap bertumbukan dengan permukaan dingin lantai perpustakaan. Menahannya, dan tanpa sadar mata sewarna langit musim panas itu kini terpicingkan.

“…Naga?”

Satu gumaman pelan. Tatapan Arshavin kemudian berpindah pada sampul buku yang sedari awal ia genggam, memindai foil keemasan yang mematri judul tebal di sana—dan dua kakinya perlahan bersila di depan Elsveta. Ada dua frasa yang tanpa sadar ia batinkan dalam pikirannya, sebelum pada akhirnya sang Windstroke muda mengangkat dagu dan kembali menatap binar abu-abu muda milik sang junior yang bermahkotakan surai pirang tersebut. Ensiklopedia Naga. Ha.

“Sebegitu ingin tahunya—sampai mencelakakan diri sendiri?”

*****
NABELLE


Senior di depannya ini sepertinya tipe anak laki-laki yang irit bicara dan irit berekspresi—mungkin juga irit bergerak. Well—setidaknya itulah yang ditangkap oleh pikiran polos seorang gadis kecil bernama Nabelle Marion Elsveta itu. Sedari tadi Belle amati, senior bernama Arshavin Windstroke itu hanya mengangkat alisnya perlahan tanpa ekspresi, mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri lalu berlutut di hadapannya. Permata biru langitnya yang indah itu pun seolah segan menuturkan kalimat-kalimat yang mengalir dari sungai hatinya.

"Terkilir?"

Pertanyaan seperti itu seharusnya diucapkan dalam ekspresi penuh kecemasan, bukan? Bukan dengan nada datar seperti yang keluar dari bibir senior di hadapannya ini. Apalagi yang terjatuh adalah seorang anak perempuan mungil berambut pirang berombak seperti boneka ini *narsis plakk*. Permata biru langitnya menatap Belle sesaat sebelum kemudian menyuruhnya bangkit dan mencari Madam Pomfrey—masih dengan nada datar yang sama.

Huff—berdiri dibantu kakak saja aku tak mampu. Apalagi mencari Madam Pomfrey?

Gadis kecil itu menghela napas dan hanya tersenyum menatap seniornya, kristal abu-abu mudanya membalas tatapan sang biru langit seolah ingin mengatakan ketidakmampuannya melakukan apa yang diusulkan pemuda itu. Lagipula, dia masih ingin menyelidiki isi dari buku yang kini ditatap oleh senior Arshavin—Ensiklopedia Naga. Pemuda itu perlahan duduk bersila di depan Belle. Duduk berarti dia bersedia menemani Belle mencari info tentang Naga, bukan? Hore—

“Sebegitu ingin tahunya—sampai mencelakakan diri sendiri?”

Cengiran di wajah gadis kecil itu semakin lebar sekarang meski ekspresi senior Arshavin masih tetap datar-datar saja saat menanyakan soal keingintahuannya itu. Belle yakin—meski wajah senior Arshavin seperti orang kram—senior Arshavin adalah orang yang memiliki kehangatan yang tulus. Buktinya dia tidak meninggalkan Nabelle sendirian di tengah tumpukan buku-buku dan debu. Diam-diam gadis kecil itu bersyukur yang ada di hadapannya sekarang bukanlah senior jahat seperti prefek ular rambut bulu kucing itu.

"Belle memang ingin tahu tapi tak berniat mencelakakan diri sendiri, kok. Bagian terjatuh itu tidak termasuk dalam rencana, Kak," ujar Belle panjang lebar dengan mata berbinar-binar, "Kakak tahu tidak, naga itu hewan sihir yang luar biasa gagah. Buktinya, di dongeng-dongeng dalam buku-buku cerita muggle, naga selalu dikisahkan sebagai hewan keramat atau pahlawan. Selama ini, Belle kira naga itu tidak benar-benar ada, lho. Sampai akhirnya Belle diberi tongkat sihir dengan inti nadi Naga Kerdil Islandia ini." Gadis kecil itu mengacungkan tongkat sihirnya dengan kebanggaan yang jelas terlihat di binar matanya.

"Tongkat sihir kakak, intinya apa? Sesuatu dari Naga juga? Kakak pernah melihat Naga secara langsung, tidak? Jinak atau tidak? Bisa ditunggangi seperti di dalam dongeng?" Pertanyaan mengalir bertubi-tubi dari bibir mungil si pemilik surai keemasan. Harap maklum, Belle benar-benar terobsesi dengan naga dan segala keajaibannya. Tanpa sadar, gadis kecil itu semakin mencondongkan wajahnya mendekati wajah senior Arshavin dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

*****
ARSHAVIN

Segenggam debu terasa menyebar dan menyaputi bayangan di sekitarnya, dengan tendensi yang biasa menggelitik beberapa indera penciuman para awam, namun ia tidak. Sudah cukup terbiasa dengan jutaan mikroskopis itu, Arshavin menghela nafasnya ringan; seolah ia sedang berada pada suatu sirkumtansi dimana hanya ada oksigen sebagai atmosfer utama, sedikit menyesap lagi bau apak jamur yang bercampur dengan bau khas kertas kekuningan di sana sementara matanya masih lurus menatap sang lawan bicara. Biru langit itu menggulir naik sejenak pada detik selanjutnya, teralihkan oleh anyaman keemasan yang terbentuk pada udara di atas mereka. Sungai debu itu kemudian terkoyak oleh sepoi tipis bentukan angin musim gugur, membuat tebaran-tebarannya hinggap pada ujung bahu dan terserpihkan sedikit di balik surai kecokelatannya, membawa serta atensinya untuk turun kembali saat binar mata cemerlang menghujani penglihatan Ravenclaw muda tersebut.

Hening. Arshavin hanya menanggapi penjelasan Elsveta dengan satu anggukan yang nyaris terlihat sama samarnya dengan kisik angin di sekitarnya, tidak terlalu peduli dengan bahan pembicaraan awal mereka yang bahkan sudah mulai membuyar di dalam sudut pengingat pada otaknya. Entahlah. Ia bahkan tidak tahu alasan mengapa langkahnya terhentikan dan bersila pada lantai yang debunya mulai menyamarkan garis pemeta ubinnya, yang jelas biru langit itu terpakukan absolut pada sampul tebal di dalam rengkuhan tangan. “Buku ini… milikmu?” kata-kata tanpa nada mulai bertemperasan menimpa frekuensi hening yang melingkupinya, ia mendengarkan setiap penjelasan sang gadis yang tiba lebih dulu—rupanya semua, memang bermuara di titik yang sama seperti judul berfoil perak di hadapan mata.

“Hm. Taring naga hitam Swedia.” Ia menarik kasual serutan kayu hitam dari balik saku jubahnya, mengibaskannya singkat di hadapan Elsveta dan menaruh lintingan berkilap itu di sampingnya dengan tatapan yang berpindah cepat; kembali pada bentangan deret-deret kecil tulisan dalam genggaman. Menelusurinya, membalik halaman-halamannya begitu ia sampai pada catatan kaki. “Keberadaan Naga selalu dijaga, dalam sangkar yang kuat, juga dalam penangkaran yang ditangani banyak ahli. Tidak akan mudah untuk kau jumpai.” Ada ilustrasi yang terpindai oleh matanya ketika jemarinya membalik helaian rapuh buku tersebut. Tangan Arshavin terhenti di sana. Ya. Naga hijau Wales, sisiknya seperti nama yang ia sandang, sementara percik api tergambarkan mulus melewati moncongnya yang tajam. Taring kecil disaputkan tinta sang pelukis dengan detil yang cukup menakjubkan, impresi anggun digambarkan sempurna lewat sapuan cat yang membentuk sepasang sayap lebar pada punggung naga tersebut. Tanpa sadar pandangan antusias lolos pada binar beku itu, walau redup.

“Ini. Spesies paling jinak, yang paling ramah terhadap manusia.”

Arshavin mengangkat dagunya, menyadari binar antusias yang lolos lebih kentara dari mata abu-abu Elsveta, dan mendorong sedikit buku tersebut ke sisi sang gadis Ravenclaw. “Tidak bisa kau tunggangi, tentu saja. Seramah apapun naga ini, ia akan menghabisimu dalam satu tarikan nafas—jika kau menyentuh satu inci saja sisiknya.” Ha. Mungkin juga, sebagai metode penghilangan nyawa paling efisien, mengingat satu cakar naga saja bisa mencabik jantungmu sampai otot-otot terkecilnya. Hm, apapun. Sang Windstroke muda menarik ujung dari halaman buku itu, menyingkapnya hingga halaman lanjutan terpampang. Ada suntikan rasa ingin tahu yang membuat pemuda berambut cokelat itu terus mengikatkan tatapan pada helaian yang ujungnya sudah mulai menguning tersebut. Rinai datarnya kembali mengudara, dengan sorotan lurus yang masih tertunduk pada bentangan sarat tulisan dan ilustrasi di sela-sela jemarinya. “Bukan pahlawan seperti dalam dongeng-dongeng tak-berdasar itu.”

Ia, Ravenclaw muda yang kini mendapati benaknya sedang mengulas satu garis senyum skeptis, mulai mematahkan mimpi. Yang memang tak pernah ada. Tak seharusnya ada. Benar?

*****
NABELLE

Tenang.

Sunyi.

Memang di dunia manapun, baik itu dunia sihir ataupun dunia muggle, tempat yang diberi label perpustakaan selalu merupakan tempat yang tenang dan sunyi. Itu sebabnya, banyak anak murid yang memanfaatkan ketenangan tersebut untuk belajar atau sekedar membaca buku. Meski lebih banyak lagi yang memilih opsi tambahan dari manfaat sebuah ketenangan; untuk beristirahat dan memejamkan mata—sebut saja, tidur.

Namun, di sebuah sudut di dalam perpustakaan besar milik sekolah sihir Hogwarts, dua orang anak elang terlihat sedang asyik membahas sesuatu di tengah serakan buku-buku yang berdebu. Si pemuda dengan jalinan aksara bertuliskan Arshavin L. Windstroke pada jubahnya tengah memangku sebuah buku besar yang tebal. Buku itu terbuka lebar, memperlihatkan berbagai informasi dan lukisan beragam jenis Naga di dunia. Gairah membuncah dari gerak tubuh pemuda itu meski ekspresinya sedatar batu pualam. Sementara si gadis kecil—Nabelle—dengan mata berbinar dan gestur yang jelas menunjukkan antusiasme, sibuk melontarkan pertanyaan demi pertanyaan pada pemuda yang duduk bersila di hadapannya.

Gadis kecil itu tak jarang mengeluarkan desah kekaguman setiap kali halaman demi halaman buku tersebut dibalik oleh jemari Arshavin—memperlihatkan lukisan sosok Naga yang selalu membuat gadis kecil itu terpesona.

"Buku ini milikmu?" Arshavin melontarkan pertanyaan dalam nada datar yang akhirnya tenggelam begitu saja dalam rentetan pertanyaan beruntun dari si gadis kecil. Seolah dalam kepala gadis kecil itu hanya ada Naga, Naga dan Naga saja.

"Hm. Taring Naga Hitam Swedia," ujar Arshavin kemudian, menanggapi pertanyaan Belle mengenai inti tongkat sihirnya. Dikibaskannya tongkat berkayu hitam itu di hadapan kristal abu-abu muda Belle yang masih berbinar semangat, lalu meletakan tongkat hitam tersebut di sampingnya. Sorot abu-abu muda si gadis kecil dengan bersemangat mengikuti ke mana tongkat hitam tersebut diletakkan dan memantekkan pandangannya kesana sembari tetap menyimak untaian kalimat yang mengalir dari bibir sang pemuda.

Perlahan, gadis kecil itu meletakkan tongkat sihir miliknya yang berwarna putih di hadapan tongkat hitam Arshavin—menyentuhkan ujung tongkatnya dengan ujung tongkat hitam si pemuda. Gadis kecil itu tertawa renyah—entah apa yang ada dalam pikirannya. Bisa kau tebak?

"Ini spesies paling jinak, yang paling ramah terhadap manusia."

Atensinya seketika teralih pada halaman yang ditunjuk oleh Arshavin. Kristal abu-abu mudanya menangkap satu sosok bersisik hijau yang anggun dan menakjubkan disana. Terpesona dengan sayap lebar yang begitu indah pada punggung makhluk ajaib tersebut.

"Hm, terlalu besar untuk dipelihara, Kak," ujar Belle menimpali. "Apakah bisa ditunggangi?"

Arshavin mendorong sedikit buku tersebut ke sisi Belle, seolah menyadari keinginan si gadis kecil untuk melihat lebih jelas. Risih dengan posisi duduk mereka, Belle beringsut pelan—menggeser kakinya yang terkilir untuk memindahkan posisinya ke samping Arshavin lalu menarik buku tersebut ke hadapan mereka. "Begini lebih nyaman bacanya, kan." Gadis kecil itu tersenyum memperlihatkan gigi-gigi putihnya pada sosok tanpa ekspresi di sampingnya.

"Tidak bisa kau tunggangi, tentu saja. Seramah apapun naga ini, ia akan menghabisimu dalam satu tarikan nafas—jika kau menyentuh satu inci saja sisiknya. Bukan pahlawan seperti dalam dongeng-dongeng tak berdasar itu."

Belle terdiam menyimak kata demi kata yang tertutur dari bibir Arshavin—mulutnya ternganga. Nada antusias sejenak terdengar dari intonasi suara pemuda itu meskipun samar—membuat Belle tersenyum lebar sekalipun kalimat akhir sang biru langit mematahkan mimpinya. Sedikit. Bukan Belle jika hal sepele seperti itu saja membuatnya sedih atau kecewa berlebihan. Gadis itu menghela nafas sambil menatap lukisan Naga bersisik hijau tersebut.

"Sayang sekali, ya. Padahal Belle ingin mencoba terbang dengan menunggang Naga, lho. Pasti akan terlihat keren! Oh ya, Belle pernah baca buku tentang seorang pengurus Naga. Orang itu hebat sekali ya, berani berdekatan dengan Naga yang begitu besaaaarrr," ujar Belle panjang lebar sembari merentangkan kedua tangannya ke atas untuk menunjukkan besarnya ukuran Naga dalam imajinasinya.

Gadis kecil itu terdiam sesaat, membiarkan angin yang berhembus masuk dari jendela di dekatnya mengayunkan surai keemasannya. Belle teringat pada sesuatu yang tiba-tiba terbersit di benaknya, alasan sesungguhnya mengapa gadis kecil itu bisa berada di ruangan tersebut bersama dengan Ensiklopedia Naga yang membuatnya terkilir.

"Ahhh.. berarti Belle tak bisa meminta hadiah Naga pada papa Silver Claymer, dong," gumamnya dengan volume cukup keras sambil menggigit ujung jari telunjuknya. Keningnya sedikit berkerut. Perlahan sorot abu-abu mudanya kembali menatap kristal biru langit di sampingnya dengan ekspresi penasaran. Gadis kecil itu memonyongkan bibirnya.

"Kak Arshavin, memangnya tak bisa ya, Naga dibonsai seukuran anak anjing?"

Seringai nakal nan polos kini terlukis di wajah mungil yang dibingkai oleh surai keemasan itu, menanti jawaban dari pemuda berwajah datar di hadapannya. "Hehe."

*****

ARSHAVIN

Pada akhirnya, ia memang menikmati jengkal tipis kontemplasi itu. Setiap helaian buku yang tersibak oleh jemarinya menjadi pusat dari atensinya yang sebenarnya nyaris terlihat kosong karena dominasi tatapan biru redupnya, suaranya yang seolah kehilangan determinasi untuk sekedar mengungkapkan ekspresi bahkan kadang meloloskan sedikit antusiasme lewat paparan kata yang sedikit bernada. Tadi, keganjilan tersebut menyeruak. Dan masih. Arshavin Windstroke setidaknya masih memiliki cukup alasan untuk tetap berada di sana, mengesampingkan fakta bahwa tujuan awalnya terlupakan sempurna, namun paparan ilustrasi dan deret-deret kecil penjelasan di bawah kotak bersepuh warna klasik yang menguntai gambar berbagai entitas bersisik kokoh, dengan sukses menjadi pengikat bagi langkahnya.

Tirai debu masih menjadi dinding kasat mata yang rapuh di antara jarak pandang sang Windstroke muda. Kilap-kilapnya seperti tercerabutkan dari bola cahaya matahari yang jauh mengawang di atas kepala mereka; menyepuhkan titik-titik sewarna emas di udara, lalu jatuh perlahan, memeluk garis-garis ubin yang dingin sementara pandangannya tak melintangkan perhatian yang berarti akan itu semua. Sejak awal mungkin ia memang tidak pernah peduli. Seperti apa pelataran yang tertangkap sorot biru langitnya, atau seperti apa garis senja yang mengintai di balik jendela sekarang—keberadaannya di perpustakaan, terlingkupi oleh deret-deret eboni yang dibentuk sebagai rak hitam bersaput debu dan terjejali penuh oleh literatur pada sekat-sekatnya, dengan buku bersampul kulit tebal dalam genggaman, seolah sudah lebih dari cukup untuk membuat rantai perhatiannya terbelitkan untuk jam-jam yang tak-terhitung. Well. Ini memang bukan perpustakaan keluarganya yang beratapkan kubah sihir dan dijejali oleh enam puluh tiga bahasa pengiring di balik raknya. Tidak ada jilid tebal perkamen yang menjabarkan hasil penelitian Ptolemy dalam bahasa Yunani, tidak ada helai kekuningan yang di dalamnya berpatri rapalan mantra pemanggil entitas sihir dan ilustrasi pentacle-pentacle berseni. Sama sekali.

Namun, justru kenihilan dari sesuatu yang biasa baginya—pada akhirnya akan menciptakan sesuatu yang baru, benar?

Dan kali ini, warna hitam, ekor-berduri Hungaria, jemari Arshavin tertahan di sana.

“Mungkin kau bisa menunggangi Naga—” ia masih tidak sendiri, suara itu kini berada di sampingnya dan menjadi salah satu pusat interaksi sang pemuda, sementara tatapannya bergeming pada inci-inci sepuhan kuas yang membentuk roman klasik dari hentakan sayap besar; membingkai punggung kokoh dari sang Naga hitam dalam ilustrasi. “—kalau kau bersama-sama dengan pengurus Naga. Hmn, entahlah. Kurasa memang seharusnya mereka yang paling kompeten di bidang itu.” Kadang kenaifan Elsveta membuatnya mencibir dalam hati, sekaligus tak lebih berarti untuk mengenyahkan atensinya terhadap pertanyaan-pertanyaan sang gadis. Ketidaktahuan membuat Arshavin ingin menyelesaikannya… seperti ketika naïf mendominasi konversasi, atau seperti ketika kebodohan menggelegakkan darah di ujung telinganya—ha, yang berlaku dalam sirkumtansi kali ini, juga deret-deret waktu selanjutnya, adalah pernyataan pertama; tentu.

“Di…bonsai?” Jeda. Kata diuntai dengan tingkat kecepatan pengejaan yang terdegradasi, benaknya menggulirkan sarkastik yang lebih pekat dari apapun ketika tanda titik mengakhiri, sementara rahangnya di luar sana hanya mengeras ketika pada akhirnya sang Ravenclaw muda mengangkat kepalanya dan kembali menatap Elsveta.

“Hei…”

Hening untuk detik-detik yang terasa sangat mikro.

“Naga itu berbeda dengan anak anjing, Nona.”

Dan pada fragmen selanjutnya, sebuah senyuman tipis lolos, memecahkan beku dalam roman wajah Arshavin Windstroke sejenak, sebagai manifestasi paling samar dari setiap apresiasi dangkalnya terhadap kepolosan sang gadis. Ya. Kau akan menemukan jarak yang tipis antara penghinaan dan sedikit penghargaan, sekarang. Entah memakai dasar macam apa, benaknya tak ingin berputar-putar lebih lanjut untuk sekedar menganalisis sesuatu yang singgah hanya sepersekian detik dalam ceruk pemikirannya itu. Hmph. “Kurasa, makhluk sihir tidak akan pernah bisa digugat oleh apapun.” Garis yang membingkai letupan api milik Naga ekor-berduri itu kini menjadi arah tatapannya lagi. Lalu, spasi kosong pada udara menyeruak pelan, yang kemudian merantai dengan gumamnya sendiri. “Tapi—tanyakan pada kenalanmu saja, Claymer itu.”

*****
NABELLE

Tahu tidak?

Terlalu banyak membaca dan menonton kisah dongeng anak-anak sepertinya membawa dampak pada kehidupan nyata. Atau, dongeng tersebut justru diambil dari kenyataan yang ada sehingga mereka saling berkaitan? Mungkin opsi yang kedua adalah yang paling masuk akal, dongeng itu hasil karya manusia, bukan? Fantasi-fantasi itu seharusnya berasal dari khayalan manusia yang berakar dari kejadian-kejadian nyata. Entahlah.

Yang pasti saat ini, pemandangan yang tersaji di hadapan si gadis kecil Elsveta membuatnya teringat pada sebuah adegan dalam dongeng-dongeng yang menghadirkan pangeran tampan di dalamnya. Gadis itu tak menyangka bahwa pertanyaannya mengenai kemungkinan seekor Naga dibonsai malah membuat pemuda di hadapannya tersenyum. Memang hanya sebuah senyuman tipis tapi senyum itu berhasil memberikan ekspresi pada wajah tampan Arshavin yang biasanya terlihat datar. Ditambah lagi dengan titik-titik debu yang berkilau tertimpa sinar sang raja cahaya, beterbangan di antara kedua entitas muda itu dan membuat ilusi pada pandangan Belle sehingga gadis kecil itu melihat wajah Arshavin dikelilingi cahaya yang hangat saat tersenyum. Sekelilingnya terasa sunyi tiba-tiba, indera pendengarannya seolah ditulikan selama beberapa detik. Tanpa sadar, gadis kecil yang naif itu ternganga dalam pesona selama beberapa saat sebelum kemudian dia menyunggingkan senyum lebar dan serta merta memberi pelukan singkat pada pemuda di hadapannya.

"Kakak kalau tersenyum terlihat seperti Pangeran!" ujarnya kemudian masih dengan senyum lebar. "Belle suka kakak, deh!"

Gadis kecil itu melontarkan pujian spontan yang begitu saja tersirat dalam benaknya tanpa memikirkan reaksi dan pendapat dari si pemuda atas tingkah lakunya barusan. Belle hanya melakukan apa yang dia inginkan secara spontan. Lagipula, siapa yang tak suka dipuji ataupun diberi pelukan hangat?

Gadis kecil itu kembali mengalihkan perhatiannya pada halaman buku yang kini menunjukkan lukisan seekor Naga dengan sisik keemasan dan bertubuh montok dengan tinggi kira-kira dua kali ukuran tubuh manusia dewasa. Sayap kecil yang terlihat timpang dengan ukuran tubuhnya melekat di punggung Naga tersebut. Kedua kristal kembarnya memperhatikan untaian aksara yang tertulis rapi di atas lukisan tersebut, Naga Kerdil Islandia. Belle sekali lagi terpesona, jemarinya menelusuri bentuk tubuh sang Naga dalam lukisan dan menatap penuh rasa kagum. Perlahan bibirnya bergerak menggumamkan terimakasih pada sang Naga yang mungkin saja telah memberikan nadi untuk tongkat sihirnya. "Terimakasih, Tuan Naga Kerdil."

Tatapan kedua kristal kembarnya kini kembali menatap langit milik Arshavin dengan binar-binar kepuasan. Dikecupnya sekilas pipi kiri si pemuda yang duduk di sampingnya sebagai ucapan terimakasih karena telah menemani dirinya lalu membisikkan sebaris kalimat naif yang bagi si gadis kecil adalah sebuah rahasia besar yang selalu disimpannya dalam hati, "Karena kakak sudah berbuat baik padaku, Belle beritahu sebuah rahasia. Silver Claymer itu bukan cuma kenalan Belle. Kalau Belle sudah besar nanti, Belle mau jadi istrinya. Kakak jangan bilang siapa-siapa, ya."

Dengan wajah memerah, gadis kecil itu menutup buku tebal bersampul merah yang sejak tadi menjadi pusat atensi dirinya dan Arshavin. Belle ingin meminjam buku itu dan membacanya lagi di kamar, nanti. Hari kini sudah mulai petang, waktu makan malam sebentar lagi tiba dan Belle tak mau terlambat ke Aula Besar. Apalagi dia harus terlebih dahulu ke tempat Madam Pomfrey untuk mengobati kepala dan kakinya yang terkilir. Sekali lagi, gadis kecil itu menatap pada Arshavin, "Kak, tolong bantu Belle ke tempat Madam Pomfrey, ya."

*****
ARSHAVIN

Sebuah pelukan.

Sebuah pelukan singkat menjadi awal dari perubahan roman ekspresinya yang kini sedikit memaparkan keterkejutan samar. Senyumannya menjadi citraan yang buram hanya dalam beberapa detik. Arshavin Windstroke sekarang hanya tercenung dalam kontemplasinya yang hampir tergoyahkan ketika lingkupan hangat dari lengan Elsveta menyelimuti sisi lehernya. Dan selanjutnya, yang terbentang di sana selain tirai debu dan bau apak perkamen adalah hening. Ia tidak membalas apapun. Ia tidak menunjukkan reaksi apapun selain katupan bibir yang melekat rapat dan mata biru langitnya yang memicing lambat. Dua tangannya masih menggenggam sisi tebal dari buku ensiklopedi yang kini tergolek kaku di antara lengan kurusnya, sementara sang gadis Ravenclaw melontarkan sebuah… pujian, mungkin. Atau semacam itu. Apapun. Ravenclaw muda itu tidak mengerti. Tidak ingin mengerti dan peduli, namun mau tak mau ia mengangguk samar tepat ketika rengkuhan tersebut menyingkir dari tubuhnya. Masih ada jeda-jeda yang tak ingin menjelaskan, masih ada rangkaian kata yang enggan menyingkir dari ujung lidahnya, sebenarnya.

Ragu.

Kadang sang Windstroke muda sama sekali tidak mendapatkan alasan apapun untuk menjabarkan setiap motif dari tindakan suatu entitas bernama wanita. Tidak pernah. Seperti kali ini, seperti ketika sebuah rasa suka terucapkan dan seolah melekat dalam membran telinganya…entahlah. Ia tidak mampu menemukan apapun yang menjadi alasan dari kata-kata Elsveta itu, sehingga pada akhirnya Arshavin hanya terdiam. Memilih untuk turut memindai lembaran-lembaran yang kini sudah berganti tuan—Elsveta terlihat memancarkan sebentuk atensi yang cukup pekat ketika jemarinya singgah pada suatu titik. Naga Kerdil Islandia; inti utama dari sang tongkat berwarna putih yang masih bersentuhan dengan tongkatnya. Literatur itu asing. Dan rasa asing dalam ketidaktahuan, entah sejak kapan, selalu membuat Arshavin berusaha beberapa kali lebih keras untuk mengatasinya.

Well.

Hogwarts berbeda dengan jejaring berdebu yang biasa ia jumpai pada sebuah ruangan yang lengkung atapnya berkubahkan langit seperti di kantor utama Blackhawk. Ia tidak menemukan sepuhan buku yang memuat jampi terlarang dan pengikat jin yang kuat di sini. Ia tidak pernah menemukan judul-judul berbahasa selain Inggris, ia tidak pernah menemukan deret-deret beraksara mungil yang memuat teori dasar penciptaan roh dan sebangsanya—dan baginya itu bukanlah suatu kekurangan. Ada hentakan buku yang mengatur diri seolah punggungnya bersaputkan sayap imajiner, ada rangkaian teori yang menjadi dasar dari suatu sejarah para penyihir dan berisi faham-faham ringan bercetak rapi—selalu ada sesuatu yang bisa ia ambil dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Mungkin hari ini, juga. Sama. Selalu seperti itu, bagaimanapun sirkumtansinya.

Pandangannya masih tersita pada lembaran yang memuat ilustrasi bersaput warna kuning keemasan itu, stagnan seolah merajut garis yang tidak terpatahkan, sesekali siluet jemari Elsveta tertangkap oleh mata biru langitnya ketika ia menurunkan dagunya, dan sebuah sentuhan pada pipinya menjadi satu-satunya alasan bagi Arshavin untuk mengangkat kepalanya perlahan. Lagi-lagi. Lagi-lagi sebuah sensasi yang familiar menauti perasaannya. Membuatnya teringat dengan seseorang; seseorang yang juga pernah mendaratkan kecupan pada suatu hari bersalju. Ya. Salju itu sendiri. Tsk. Matanya kembali memicing walau tak kentara, roman wajahnya tak berubah saat sebuah bisikan tiba dan menerpa gendang telinganya. Pikirannya jauh, menerabas keping yang mulai rapuh dalam ingatan. Pudar. Keping itu berwarna putih, hampir kelabu, dihiasi percik-percik secitra kapas yang jatuh dari langit.

Ah.

Sudah lama.

“Mm-hm. Baiklah.”

Hanya itu. Hanya itu jawaban paling nyata dari sang pemuda yang teriring bersama anggukan tipisnya. Arshavin perlahan meluruskan dua kakinya yang sudah cukup lama tertekuk. Beberapa detik kemudian ia sudah berdiri tegak, sedikit menepis beberapa debu mikroskopis yang singgah pada spasi-spasi hitam jubahnya. Lalu dagunya turun, terarah tepat pada sang sumber suara yang meminta bantuan. Ensiklopedi bersampul megah sudah tersegel oleh lingkupan lengan Elsveta. Seolah hari ini berakhir dengan bunyi kertas yang saling bertumpuk, namun tidak. Sama sekali.

Dan satu tangan kemudian terulur sebagai respon. Hampir identik, dengan suatu fragmen acak, ketika awal dari sebuah narasi digulirkan.

“Ayo.”

FIN

Label: