<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6077693976780833028\x26blogName\x3dNabelle+Marion+Elsveta\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nabellemarion.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nabellemarion.blogspot.com/\x26vt\x3d-4581477069342913430', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
profile journal tagboard affiliates credits
Disclaimer

I'm currently 13 years old


Belle's Diary


Dear Diary ♫

Memorable Stories

Contents

Belle's Bio ♫
Surat Tahun Pertama ♫
Kontrak Sihir ♫
Seleksi Asrama ♫
On A Rollercoaster Ride ♫
Berburu Naga Kerdil ♫
Half Alive ♫
It's Fun, Huh? ♫
I Want My DRAGON ♫
She's a Pedophilia Virus ♫
Pieces of Memory ♫

Archives

Recent Posts
The Last Puzzle (1st Person PoV)
The Last Puzzle
The Prince and The Flower Fairy; 1986
Pieces of Memory (Belle's PoV)
She's a Pedophilia Virus
Transfigurasi Kelas 2
Herbologi kelas 2
Harmonika Gisell
Gerbong 5 : Kompartemen #13
I Want My DRAGON! (Belle Pov)


Date back by month
November 2009
Desember 2009
Januari 2010
Februari 2010
Mei 2010
Juni 2010
Minggu, 10 Januari 2010 @ 01.44
`Pieces of Memory (Belle's PoV)

In my memory
I can still see that face
In my memory
I can still hear the voice
I remember talkin' with you
You were the light for me to see
You were the sky that covered me
In my memory, I remember you still
...Daddy



Langit sore itu terlihat cantik dengan semburat pink berpendar dari balik gumpalan awan yang serupa gulali. Seorang gadis kecil terlihat sedang bermain-main dengan seekor bayi kucing di tengah-tengah hamparan mawar putih. Rambut pirangnya diikat ke atas membentuk cepol yang manis. Musim semi memang selalu membawa suasana ceria pada semua makhluk hidup di Bumi. Tapi, lihatlah ekspresi gadis kecil itu. Senyum cerianya yang biasa seolah hilang dari wajahnya, berganti dengan senyum lesu yang keluar dari wajah mungilnya yang pucat. Air mukanya terlihat lelah, lingkaran hitam membayang di sekeliling mata sipitnya. Tubuhnya yang terbalut sweater longgar merah bata dan celana jeans pendek, berbaring tengkurap di atas hamparan rumput hijau yang terpetak melingkar di tengah-tengah kebun mawar putih. Tangan kirinya menjadi bantal untuk menopang dagunya, sementara tangan kanannya sibuk mengusili bayi kucingnya. Sesekali ujung jari telunjuknya menyentuh hidung si bayi kucing yang dikiranya seekor naga jejadian. Sesekali dia tertawa saat bayi kucingnya bersin karena ulahnya—sedikit kecewa karena bayi kucingnya tidak mengeluarkan semburan api saat bersin.

"Boris masih bayi, sih. Jadi belum keluar api dari hidungmu, ya?" ujarnya polos sembari meniup-niup hidung si bayi kucing dengan lembut—membuat si bayi kucing menggosok-gosok hidungnya kegelian. Sebelah tangan gadis kecil itu terulur dan dengan telapak tangannya, dia mengusap-usap punggung si bayi kucing. Dengkuran samar terdengar, tanda bahwa bayi kucing itu merasa senang dan nyaman dengan perlakuan si gadis kecil. Si Bayi kucing melangkah mendekati wajah mungil nonanya, mengangkat sebelah kakinya dan menempelkannya ke bibir gadis kecil itu seolah ingin berkata, "Nona Nabelle berhentilah meniup hidungku." Gadis kecil itu terkekeh pelan. Perlahan dia mengangkat kepalanya, membiarkan tangan kirinya bebas lalu dengan kedua tangannya dia memegangi tubuh si bayi kucing. Gadis itu memutar tubuhnya ke posisi terlentang dan meletakkan si bayi kucing di atas dadanya.

"Boris, Belle kangen Daddy," ujar gadis kecil itu lirih. Kristal peraknya kini menatap ke langit. Dia ingin menunggu hingga bintang-bintang mulai bermunculan di langit lalu mencari bintang yang bersinar paling terang di matanya. Konon, bintang yang paling terang itu adalah tempat tinggal orang-orang yang sudah meninggal. Gadis kecil itu merindukan ayahnya. Gadis kecil itu tak mengerti kenapa ibunya, kakek dan neneknya, bahkan Zeus, menghindar setiap kali dia menanyakan perihal kematian ayahnya. Mereka bersikeras mengatakan bahwa imaji yang muncul tentang saat-saat terakhir ayahnya itu hanya imajinasi belaka dan bukanlah sebuah kenyataan. Mereka bersikeras bahwa dia tak ada di tempat yang sama ketika ayahnya pergi untuk selamanya. Padahal, gadis kecil itu sudah cukup usia untuk mengerti bahwa ingatannya yang hilang telah berangsur-angsur kembali. Jika potongan impresi yang muncul tentang Zeus dibenarkan, lantas kenapa imaji yang timbul tentang ayahnya tidak?


Daddy, I could see your face. I could feel your touch.
And I could smell your blood.
It was so real.
It was a piece of my memory about you.



"Kenapa mereka membohongi Belle?" Gadis kecil itu mulai terisak, kedua tangannya memeluk si bayi kucing yang kini tidur dengan nyaman di dadanya. Buliran kristal bening mulai mengalir dari sudut matanya, membasahi kedua pipinya. Dia marah. Dia kesal. Tapi dia tak tahu harus berbuat apa selain menunggu potongan memorinya yang lain datang dan melengkapi susunan puzzle yang terhilang dalam ingatannya.


But when?



Penampilan Belle

Label:






@ 01.36
`She's a Pedophilia Virus

Paras gadis kecil itu terlihat pucat. Kilau yang biasa terlihat pada surai-surai keemasannya kini seolah redup tanpa semangat. Di bagian bawah kedua matanya terlihat bayang kehitaman karena nyaris tidak tidur selama beberapa hari sejak pertemuan pertamanya dengan Zeus, kakak sepupunya. Meski gadis kecil itu tak bilang apa-apa pada Zeus, sejak hari itu dia sulit tidur. Kesunyian malam selalu membuatnya ingin berpikir dan berpikir—menelusuri jaring-jaring ingatan dalam kepalanya yang tak lagi sempurna. Rasa ingin tahunya yang besarlah yang membuat gadis kecil itu keras kepala untuk memaksa ingatannya kembali. Hal itu selalu membuat kepalanya sakit setiap malam dan melemahkan tubuhnya hari lepas hari.

Belle, begitulah dia disapa oleh semua orang yang mengenalnya. Sore itu ia berjalan menyusuri pekarangan Hogwarts yang luas dengan kaki-kaki mungilnya yang terbalut boots putih kesayangannya. Tubuhnya terlindungi oleh sweater pink sebatas pinggul dan rok lipit putih selutut. Beberapa hari ini, kepalanya selalu dihiasi dengan topi kupluk untuk menutupi keningnya. Terlalu malu untuk menunjukkan deretan aksara sewarna darah yang tertulis di kening mungilnya. Sampai hari ini pun, Belle tetap merasa bahwa tante erumpent itu tidak adil karena telah memberinya hukuman yang kejam seperti itu padahal dia berniat untuk membantu orang lain dengan merapal mantra di luar sekolah. Jika tulisan itu hanya beberapa hari saja bertengger, Belle masih bisa terima dengan sukarela. Tapi ini, PERMANEN! Anak perempuan mana yang rela di dahinya tertulis kata-kata memalukan seumur hidup? Langkahnya kini menghentak-hentak karena kesal.

Di punggungnya, tersampir sebuah case gitar berwarna putih. Tentu saja ada gitar di dalamnya. Gitar pink kesayangannya dengan lubang berbentuk hati di tengah-tengahnya, Heart. Yep, sore itu pun, Belle hendak menyegarkan pikiran dengan bersantai di pinggir danau, bermain gitar dan bernyanyi. Kegiatan yang hampir setiap hari dia lakukan sejak bersekolah di Hogwarts. Bedanya tahun ini, dia hampir selalu ditemani oleh Zeus.

Zeus panjang umur. Baru saja gadis kecil itu teringat padanya dan sekarang dia melihat kakak sepupunya itu sedang sibuk melakukan push-up di depan dua orang gadis kecil. Salah satunya dia kenali sebagai sepupu dari Silver, sedangkan yang satu lagi, yang sedang memeluk boneka itu sepertinya juniornya di Ravenclaw. Anak yang manis. Belle pun mempercepat langkahnya menghampiri mereka.

"Hai, Emmy. Masih ingat aku?" sapanya ramah dan, "Halo, adik kecil. Siapa namamu? Aku Belle. Kelas 2, Ravenclaw. Kalau tak salah kamu di Ravenclaw juga, kan?"

Kemudian gadis kecil itu berjongkok di samping Zeus yang masih push-up dengan gemetar, "Zeus sedang apa? Sudah gemetaran begitu," dan matanya terbelalak ketika melihat darah mengalir deras dari luka di lengan anak laki-laki itu. Gadis kecil itu buru-buru menarik tubuh Zeus dan jatuh terduduk ketika bobot tubuh anak laki-laki itu menimpa tubuh mungilnya, "Zeus bodoh! Luka di lenganmu terbuka dan berdarah, kenapa masih push-up! Demi Merlin! Dari dulu Zeus selalu saja meremehkan luka!"

Eh? Tunggu. Tadi Belle bilang 'dari dulu'?

******

Gadis bersurai keemasan itu hanya terdiam ketika Emmy menceletuki kata-katanya dan Calnera mengancam tak mau mengenal Zeus lagi. Gadis kecil itu terdiam karena dia terkejut dengan sebuah impresi masa lalu yang hadir begitu saja, begitu mendadak dalam benaknya. Bukankah dia tak ingat sedikitpun tentang Zeus? Lalu, bagaimana dia bisa tahu bahwa kakak sepupunya itu sejak dulu selalu meremehkan lukanya? Darimana dia tahu bahwa kakak sepupunya itu adalah seorang anak laki-laki yang serampangan? Tanpa sadar dia mengigit jemari kanannya. Termenung.

Nampaknya, Zeus pun menyadari keganjilan pada kata-katanya barusan karena tiba-tiba saja anak laki-laki itu mengangkat tubuhnya dan berbisik padanya. "Belle, kau sudah ingat? Kau tadi bilang dari dulu aku selalu meremehkan luka! Kau sudah ingat?" Anak laki-laki itu menatapnya tersenyum. Senyuman penuh harap yang nampaknya tak terkabulkan saat ini.

Gadis kecil itu menatap iris perak Zeus dengan tatapan bingung. Perlahan gadis kecil itu menggeleng. "Tidak. Belum. Belle tak ingat apa-apa. Hanya tiba-tiba tahu. Belle tak ingat apa-apa, belum." Gadis kecil itu mulai kebingungan. Namun kali itu, dia berusaha untuk tetap tenang dan tidak histeris ketakutan. Dia mulai terbiasa dengan segala keganjilan yang mengerikan itu. Usapan jemari Zeus di pipinya membuatnya merasa lebih rileks. Gadis kecil itu berusaha tersenyum. "Setidaknya, sudah mulai ingat sedikit demi sedikit."

“Sakitnya kurang? Mau kutambah sakitnya, eh?” ujar Emmy tiba-tiba sambil berdiri—Belle menggulirkan kristal perak kembarnya menatap gadis itu dengan heran. Gadis tomboy itu menggosok kedua tangannya dan melakukan stretching. Nampak siap menghajar Zeus, sepertinya. “Sudah siap? Atau mau berhenti?”

"Tak perlu begitu, Emmy. Zeus sudah berhen—"

BRUKK

Kata-katanya terputus ketika Zeus tiba-tiba saja ambruk tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, terlalu banyak darah yang keluar dari luka di lengannya.

"ZEUS!! Demi Merlin!" pekik gadis kecil itu sembari mengeluarkan selembar sapu tangan dari saku sweaternya dan mengusap lengan Zeus yang masih mengeluarkan darah. Dan lagi-lagi bayangan masa lalu menamparnya. Kedua telapak tangan kecilnya berlumuran darah. Bau amis darah tercium pekat dan teriakan-teriakan ilusioner mulai berdengung di telinganya. Gadis kecil itu memejamkan mata, berusaha menenangkan diri. Teriakan ibunya, teriakan almarhum ayahnya dan teriakan dirinya sendiri terdengar demikian jelas. Sosok Zeus yang pingsan kini berganti menjadi sosok ayahnya yang terkapar berlumuran darah di benaknya. Ayahnya masih hidup dan membelai wajahnya saat itu sebelum akhirnya kedua matanya tertutup untuk selamanya.

Daddy?

Kristal cair bening mulai mengalir dari sudut matanya. Gadis kecil itu tahu bahwa yang barusan berkelebat di benaknya adalah kenangan saat kematian ayahnya. Dia ada disana menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saat ayahnya menghembuskan nafas terakhir. Entah kenapa, Teresa dan yang lainnya membohongi dia dengan mengatakan bahwa ayahnya meninggal dalam tugas.

Siapa yang bunuh Daddy?

Gadis kecil itu cepat-cepat menggigit bibirnya dengan keras ketika menyadari bahwa saat ini Zeus perlu bantuannya. Dia tak boleh tenggelam dalam ingatan yang tiba-tiba datang sekarang. Dia menggelengkan kepalanya dengan keras, berusaha mengusir segala impresi dan gambaran yang memaksanya untuk mengingat. Tidak. Tidak sekarang. Dihapusnya airmata yang membasahi wajahnya. Dia harus tegar.

"Emmy, bisa tolong bersihkan lukanya? Zeus bilang, selama ini Emmy yang merawat lukanya. Belle mau coba bangunkan dia dengan, "Belle merogoh ke dalam sakunya, mengeluarkan sebuah botol kaca berwarna pink, "minyak wangi ini."

"Calnera, bantu aku basahi sapu tangan ini dengan air danau, ya," ujarnya lembut pada gadis kecil yang sedang menggendong boneka. Dia berusaha tenang meski jantungnya sekarang berdebar keras. Gadis kecil itu menggeser duduknya, mendekati kepala Zeus. Air matanya kembali mengalir, sosok Zeus saat ini benar-benar mengingatkannya pada hari kematian ayahnya.

Apakah Zeus akan mati juga?

Perlahan diangkatnya kepala Zeus dan diletakkan di pangkuannya. Gadis kecil itu cemas setengah mati. Untung saja, sebelum ini dia sudah pernah menghadapi kejadian yang hampir sama sehingga sekarang dia selalu membawa-bawa botol minyak wangi kemana-mana. Dibukanya botol minyak wangi tersebut dan didekatkannya ke hidung Zeus agar anak laki-laki itu bisa menghirup aroma pekat minyak dan terbangun. Sementara tangan kirinya memegang botol parfum, tangan kanannya mengelus-elus kening Zeus dengan lembut. "Zeus bodoh. Jangan mati karena hal konyol begini! Hiks."

Label:






Rabu, 06 Januari 2010 @ 05.07
`Transfigurasi Kelas 2

Lagi-lagi gadis kecil itu melewatkan malam dengan tidur yang gelisah. Bagaimana bisa tidur jika kelebatan-kelebatan imaji masa lalu yang terpotong-potong muncul dalam benak tanpa berhenti. Membuat Belle semakin penasaran untuk terus menggali dan menggali meski hasilnya selalu nihil. Sejauh ini, dia baru teringat sedikit tentang Zeus. Itu pun terjadi secara kebetulan ketika terkejut melihat kakak sepupunya itu berdarah-darah. Impresi bahwa Zeus adalah seorang anak yang suka meremehkan luka dan potongan gambaran saat-saat terakhir kehidupan ayahnya.

Belle duduk dalam diam di kelas. Memperhatikan Profesor McGonagall menjelaskan pelajaran mereka hari itu. Transfigurasi selalu menjadi pelajaran yang dia sukai karena dia bisa merasakan sihir secara langsung bukan hanya melalui buku. Kedua matanya terbuka lebar—tertarik mendengarkan kata-kata yang diucapkan profesornya. Kali ini mereka akan mengubah tikus menjadi cangkir dengan mantra Vera Verto yang akan mengubah hewan apa saja menjadi benda mati. Katanya, inti dari transfigurasi kali ini adalah konsentrasi. Hal yang mudah bagi gadis kecil itu bila saja kondisi tubuhnya tidak sedang dalam keadaan drop seperti saat ini. Kepalanya cukup pusing karena rasa lelah dan kantuk.

Gadis kecil itu menggosok-gosok matanya lalu mengambil tikus yang diletakkan di bawah mejanya. Belle tidak takut pada tikus, apalagi tikus putih yang cantik seperti yang sekarang ada dalam genggaman tangannya. Wajah tikus itu imut, Belle jadi tidak tega mengubahnya menjadi cangkir. Apakah tikus itu akan mati jika nanti diubah menjadi cangkir? Apakah ada cara supaya tikus itu tetap hidup? Heu—

"Tuan tikus, maafkan Belle ya. Ini tugas sekolah, sih," ujar gadis kecil itu seraya meletakkan tikus putihnya di atas meja. Gadis kecil itu menarik nafas dan mengeluarkan tongkat sihirnya dari dalam saku jubahnya. Konsentrasi. Bayangkan tikus itu menjadi cangkir putih yang cantik. Cangkir putih yang memiliki pegangan antik dengan ukiran bunga-bunga di permukaannya. Konsentrasi. Pusatkan pikiran.

"Vera Verto!"

Menunggu...

....

.......

.............

Plop!

Yes! Tikus putih itu berubah persis seperti cangkir yang ada dalam bayangan Belle. Cangkir yang cantik. Gadis kecil itu mengangkat cangkir yang terbuat dari tikus putih itu dan terkejut setengah mati ketika didapatinya ekor si tikus masih bergerak-gerak di salah satu permukaan cangkir.

"Euh. Cuma berhasil 90%."

Label:






@ 04.43
`Herbologi kelas 2

Rasanya hari itu dia tak mampu tersenyum ataupun berkonsentrasi. Dia hanya berdiri di depan mejanya, memandangi sebuah baki dan pot yang terletak disana—untuk keperluan praktek Herbologinya hari ini. Tak seperti dia yang biasanya selalu tersenyum dan terlihat bersemangat menjalani pelajaran apapun yang disuguhkan sekolahnya. Padahal dia menulis surat di secarik perkamen untuk Zeus sebelum masuk kelas hari ini, berisikan pesan supaya kakak sepupunya itu tidak membolos kelas karena kelas herbologi begitu menarik. Menyemangati orang lain saat diri sendiri tak bersemangat, rasanya munafik. Gadis kecil itu menghela nafas. Memberikan senyum simpul tak bersemangat pada teman-teman yang menyapanya.

Semalam, dia lagi-lagi bermimpi, sosok ayahnya yang sekarat tengah membelai pipinya dengan jemarinya yang penuh darah. Telapak tangannya sendiri penuh dengan darah. Darah ayahnya. Dan kemudian berakhir dengan hembusan nafas terakhir dan teriakan dirinya sendiri yang terbangun dengan keringat dingin mengucur deras dari pelipisnya. Saat-saat kematian ayahnya menerornya setiap malam. Gadis kecil itu kesal, marah, karena potongan ingatan yang kembali itu tidak membukakan tabir tentang siapa pembunuh ayahnya. Gadis kecil itu menggigit bibir. Berusaha berkonsentrasi mendengarkan Profesor Sprout menjelaskan.

”Karena kurasa kalian sudah membaca cukup banyak tentang Mandrake, maka aku tidak perlu lagi berbicara panjang lebar akan tanaman yang serupa bayi dengan rupa yang tak terlalu rupawan ini, kan? Kalian hanya perlu memindahkan Mandrake-mandrake tersebut pada pot yang lebih besar setelah pot tersebut kalian isi dengan humus yang telah kusediakan. Namun sebelum memulai, ada baiknya kalian memerhatikan bagaimana caraku melakukannya.”

Mandrake?

Ya, Belle sudah membaca cukup banyak tentang Mandrake. Tanaman aneh dengan akar berbentuk bayi jelek seperti tuyul yang menangis dan meronta saat dikeluarkan dari dalam tanah. Konon, tangisan mandrake yang lebih dewasa bisa membunuh manusia.

“Kenakan penutup telinga kalian sekarang, selagi aku memberi contoh. Semua, tidak terkecuali, nak!”

Perlahan, dia mengambil penutup telinga dan memakainya rapat-rapat menutupi telinganya. Di saat seperti ini, dia tak ingin berlaku ceroboh dan mencelakai diri sendiri. Tidak disaat dia belum mengetahui siapa pembunuh ayahnya. Jika memang dia ada di sana saat kematian Boris, seharusnya dia melihat dengan mata kepala sendiri wajah pembunuhnya. Gadis kecil itu mendengus lesu, berusaha untuk tidak kembali melamun. Kedua kristal peraknya dia paksa untuk memperhatikan bagaimana Profesor Sprout memberi contoh cara memindahkan mandrake ke dalam pot yang lebih besar. Kelihatannya mudah kalau Profesor Sprout yang melakukannya. Dia pun membuka penutup telinganya ketika Profesor Sprout menjetikkan jari.

”Nampak mudah memang. Namun jangan lupa untuk berhati-hati menghadapi tangisan serta rontaan mereka yang sama sekali tidak dapat disepelekan. Kuingatkan sekali lagi, bagi mereka yang ngotot melepas penutup telinga di tengah jalan, sebelum kelas ini usai, jeritan mandrake berpotensi besar membuat kalian pingsan di tempat. Untungnya karena tanaman Mandrake ini masih bayi, suara tangisan mereka belum cukup kuat untuk membunuh kalian, tambahnya cukup panjang dan lebar agar para muridnya terhindar dari luka yang tak diinginkan. Sekarang, kenakan lagi penutup kuping kalian. Aku akan memberi isyarat kepada kalian begitu waktu kita habis untuk kelas ini. Nah, ayo mulai sekarang! Aku akan ada di sini untuk memantau kemajuan pekerjaan kalian.”

Gadis kecil itu pun menurut dan memakai lagi penutup telinganya dalam diam. Tak berkomentar atau pun mengeluarkan desah kagum seperti biasanya. Dia hanya ingin menyelesaikan tugasnya dengan cepat dan mencari Zeus. Dia ingin bertanya lebih banyak tentang kejadian hari itu. Tak peduli meski Zeus selalu mengganti topik dan menghindar dari pertanyaan tersebut. Zeus tahu siapa pembunuh ayahnya, tapi anak laki-laki itu bersikeras menutupinya dari Belle.

Belle mengambil humus yang telah disediakan dan mengisinya ke dalam pot yang lebih besar, yang nanti akan menjadi pot baru untuk mandrakenya. Dan dengan cekatan, gadis kecil itu mencabut mandrakenya dari pot asalnya. Tidak mudah, karena mandrake itu meronta-ronta dan menangis. Wajah mandrake itu lebih jelek daripada yang dia lihat dari buku dengan kepala bagian belakang memanjang, seperti alien. Dengan susah payah, Belle berusaha memasukkan mandrakenya ke dalam pot yang baru. Lengah sesaat ketika melihat Xuxa jatuh pingsan dan mandrake itu menggigit pergelangan tangannya dengan keras. Gadis kecil itu berteriak kesakitan dan spontan melempar mandrakenya sehingga menabrak punggung seseorang di sebelahnya.

Heu—

Label: