<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6077693976780833028\x26blogName\x3dNabelle+Marion+Elsveta\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nabellemarion.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nabellemarion.blogspot.com/\x26vt\x3d-4581477069342913430', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
profile journal tagboard affiliates credits
Disclaimer

I'm currently 13 years old


Belle's Diary


Dear Diary ♫

Memorable Stories

Contents

Belle's Bio ♫
Surat Tahun Pertama ♫
Kontrak Sihir ♫
Seleksi Asrama ♫
On A Rollercoaster Ride ♫
Berburu Naga Kerdil ♫
Half Alive ♫
It's Fun, Huh? ♫
I Want My DRAGON ♫
She's a Pedophilia Virus ♫
Pieces of Memory ♫

Archives

Recent Posts
The Last Puzzle (1st Person PoV)
The Last Puzzle
The Prince and The Flower Fairy; 1986
Pieces of Memory (Belle's PoV)
She's a Pedophilia Virus
Transfigurasi Kelas 2
Herbologi kelas 2
Harmonika Gisell
Gerbong 5 : Kompartemen #13
I Want My DRAGON! (Belle Pov)


Date back by month
November 2009
Desember 2009
Januari 2010
Februari 2010
Mei 2010
Juni 2010
Jumat, 20 November 2009 @ 21.30
`Kelas Terbang

Hari ini kelas terbang. Tentu saja, terbang dengan sapu terbang dong. Itu ciri khas penyihir, bukan? Setidaknya, itu yang diketahui oleh gadis kecil berusia 11 tahun itu soal terbang. Terbang itu kelihatannya menyenangkan, jujur saja dia kadang merasa iri dengan kupu-kupu atau burung-burung yang bebas terbang di angkasa menggunakan sayap mereka yang cantik. Pasti rasanya luar biasa jika bisa terbang seperti mereka. Gadis kecil itu belum pernah diajari terbang oleh Kakek Russia-nya maupun oleh almarhum ayahnya. Hal yang aneh karena mereka telah memperkenalkan sihir-sihir dasar pada gadis itu sejak dini, kecuali terbang—membahasnya pun hampir tidak pernah. Bahkan gadis itu juga belum pernah melihat anggota keluarganya yang manapun terbang menggunakan sapu terbang. Mungkin karena mereka tinggal di dunia muggle? Bisa jadi.

Seperti biasanya, gadis kecil itu melangkah ringan sembari bersenandung. Kali ini kedua kaki kecilnya mengayun bergantian menuju lapangan Quidditch. Sebuah permainan olahraga dunia sihir yang sepertinya merupakan gabungan dari basket, baseball dan sepakbola milik muggle. Menarik, gadis itu sudah membaca beberapa buku mengenai Quidditch meski ia tidak berminat untuk menjadi atlitnya. Gadis itu tidak punya bakat berolahraga, sih. Terbang saja belum jelas dia bisa atau tidak. Lihat saja nanti apakah dia bisa sukses mengendarai sapu terbang atau malah jungkir balik di udara.

Di lapangan Quidditch sudah berkumpul beberapa teman-teman sekelasnya. Beberapa wajah belum terlalu dia kenal, hanya tahu wajah istilahnya. Sambil lalu ia menyapa satu persatu teman-teman yang ia kenal. Mulai dari Faye, Blackrose, White dan Weasley yang dikenalnya pada insiden jatuh beruntun di Diagon Alley. "Hai, teman-teman."

Kemudian perhatiannya teralih pada sesosok anak perempuan berambut pirang yang sedang asyik berselonjor ria di atas rumput sambil berdandan dan minum jus labu. Malah anak itu hendak berbagi jus labu rupanya. Gadis kecil berambut pirang itu tertawa kecil karena tiba-tiba saja ia teringat pada Orateli. Gadis gonjreng itu belum datang, ya? Lucu juga jika membayangkan Orateli dan anak perempuan ini duduk bersanding berdua. Entah akan beradu mulut atau malah akrab bukan main? Sepertinya mereka bisa cocok.

"Hey. Sedang piknik?" sapa gadis kecil itu pada anak perempuan yang memang lebih pantas dibilang sedang piknik ketimbang menunggu kelas terbang dimulai.

*****

Lapangan Quidditch semakin ramai dipenuhi anak-anak tahun pertama yang sibuk berbincang satu dengan lainnya. Beberapa anak terlihat sangat antusias dan tak sabar ingin mencoba pengalaman terbang pertamanya sedangkan beberapa anak yang lain terlihat agak takut dan risih melihat sapu-sapu terbang yang kini berbaris di dekat mereka.

Belle tertawa kecil saat melihat seorang anak perempuan tanpa sengaja terlontar bersama sapu terbang yang dipegangnya—untung saja anak itu tidak apa-apa. Kristal abu-abu mudanya kemudian sibuk memandangi teman-temannya yang asyik mengobrol, tertarik ingin bergabung dan mencoba sapu terbang milik sekolah. Belle benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya terbang dengan sapu. Akhirnya gadis kecil itu melangkahkan kaki-kaki kecilnya untuk bergabung dengan teman-teman yang lain setelah terlebih dahulu berpamitan dengan Mortenson yang sepertinya masih asyik berdandan.

Gadis kecil itu pernah bermimpi sedang terbang bersama seekor burung elang. Dia hanya perlu merentangkan tangannya dan tubuhnya melayang begitu saja diangkat oleh sang angin—seperti tokoh Peter Pan. Semilir angin yang menyapu wajahnya saat terbang terasa demikian nyata, rasanya tubuhnya jadi begitu bebas dan ringan. Gadis kecil itu terbang berputar-putar di angkasa bersama sang elang, melakukan roll di udara, menikmati hembusan angin yang meniup helaian rambut pirangnya yang panjang. Benar-benar sebuah mimpi yang menyenangkan meski berakhir dengan mengerikan. Kenapa? Karena di akhir mimpi itu, tiba-tiba Belle kehilangan kemampuan terbangnya dan terjun bebas dengan sangat cepat ke tanah. Gadis kecil itu terbangun sebelum tubuhnya benar-benar tergeletak dengan nafas terengah-engah dan keringat membanjiri wajahnya.

Jika mengingat akhir mimpi itu, terasa agak menakutkan untuk mencoba sapu terbang. Jantungnya jadi sedikit berdebar-debar. Apalagi dia tak punya pengalaman sama sekali. Seandainya saja dulu orang tuanya memperkenalkan dia dengan sapu terbang, pasti dia takkan merasa sebodoh sekarang. Tapi, hampir semua teman-temannya disini pasti sama seperti dia bukan? Maka dari itu ada kelas terbang, kan? Take it easy, baby. Lagipula, keinginan gadis kecil itu untuk merasakan terbang secara nyata jauh lebih besar dari rasa takutnya. Memikirkannya saja sudah membuat adrenalin dalam tubuh Belle berpacu cepat. Senyum kembali terlukis di wajah mungilnya.

Dengan semangat, Belle menghampiri anak lelaki berambut merah yang terlihat sedang asyik membahas soal sapu dengan temannya—setelah mengambil salah satu sapu terbang milik sekolah untuk dipakainya. "Hey, apa kalian pernah mencoba terbang dengan benda ini? Apakah aman? Aku sudah tak sabar ingin mencoba terbang dengannya." ujar Belle pada teman-teman di kelompok tersebut sambil mengacungkan sapu terbang di genggamannya. Rasanya masih janggal membayangkan sebuah sapu jelek dengan ranting disana-sini yang biasa digunakan sebagai alat bersih-bersih itu benar-benar bisa membawa dirinya terbang seperti penyihir-penyihir dalam buku dongengnya. Tapi, ini dunia sihir bukan? Apapun bisa saja terjadi.

Tiba-tiba kristal abu-abu mudanya terpaku menatap ke tempat Madam Hooch berdiri. Ada seseorang yang menghampiri wanita itu, seseorang dengan rambut paling jelek yang pernah dilihatnya, seseorang dengan perilaku paling jahat yang pernah dikenalnya. Mau apa si kakak-tak-berperike-kucing-an itu di sini? Bukankah ini kelas terbang untuk tahun pertama?

Oh, sepertinya kelas ini takkan semenyenangkan dugaannya.

****

Well, anak baik tidak boleh terlalu lama larut dalam kekesalan—itu yang selalu diucapkan Ms.Leona kalau dia sedang kesal. Apalagi ini kelas terbang pertamanya yang seharusnya menjadi kelas yang menyenangkan. Belle menatap prefek Sirius sekali lagi—mendengus lalu membuang muka. Dia takkan biarkan kakak-tak-berperike-kucing-an itu merusak moodnya hari ini. Anggap saja orang itu tidak ada—beres. Pokoknya, hari ini Belle akan bersenang-senang dan terbang melayang bersama sapu layaknya penyihir.

Dialihkannya kembali kedua kristal abu-abu mudanya ke arah Charlie Weasley yang kini sedang berbicara panjang lebar padanya—meresponi sapaannya tadi. Gadis kecil itu menyunggingkan senyum dan mendengarkan setiap perkataan Charlie dengan seksama.

“Belum pernah coba. Dan yah, aku juga. Sepertinya keren. Masalah aman atau tidak, kupikir aman-aman saja kalau sudah bisa menaikinya—”

Gadis kecil itu mengangguk-angguk. Kalau banyak berlatih, pasti akan cepat mahir, bukan? Lagipula ada Madam Hooch yang pasti akan menjaga keselamatan para murid. Dan juga kedua prefek yang ada di depannya itu. Kalaupun nanti dia mungkin akan butuh bantuan, jangan sampai dia terpaksa minta bantuan pada prefek rambut bulu kucing itu.

“—atlit Quidditch menghabiskan hidupnya di lapangan dengan sapu dan mereka baik-baik saja. Jadi kurasa ini aman."

Quidditch? Belle tahu tentang olahraga itu dari buku yang dipinjamnya di perpustakaan, sepertinya itu merupakan olahraga yang menarik dengan enam buah tiang gawang dan empat buah bola terbang ditambah dengan 14 orang pemain. Ingin sekali gadis kecil itu melihat langsung permainannya bahkan mungkin mencoba menjadi salah satu pemainnya. Mungkin saja di kelas hari ini mereka akan belajar sedikit tentang Quidditch. Mudah-mudahan.

"Kecuali kau sengaja membengkokkannya sebelum digunakan."

Oh, please. Orang gila macam apa yang sengaja membengkokkan sapu terbangnya sendiri?

"Mungkin remnya akan terhalang, dan gasnya menjadi terlalu cepat. Itu baru berbahaya. Atau remnya menjadi berfungsi ekstra, dan gasnya tidak bisa dipakai. Itu berbahaya.”

Rem?

Gas?


Gadis kecil itu memandangi sapu di tangannya dengan tatapan heran. Di sebelah mana ada remnya? Di sebelah mana gasnya? Apakah ranting-ranting mencuat itu merupakan pengganti rem dan gas? Tanpa sadar dia menggigit kuku jari telunjuknya—bingung. Saat gadis itu memutar otak mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri, Charlie meladeni seseorang yang sepertinya pemilik sapu kepleset yang melayang ke arah mereka.

“Kira-kira kapan dimulainya, ya?” ujar Charlie saat dia kembali mengalihkan perhatiannya dari si pemilik sapu kepleset itu.

"Entahlah," jawab Belle seraya menaikkan kedua bahunya. "Charlie, memangnya sapu terbang punya rem maupun gas? Yang mana?" tanya Belle sambil menunjuk ke batang sapu terbangnya. Ekspresi bingung tergambar jelas di wajah mungilnya lalu melemparkan senyum untuk menyapa seorang anak laki-laki yang baru saja bergabung dengan mereka.


****

Sepertinya tak ada waktu lagi untuk bercakap-cakap dan mencari tahu seputar sapu terbang dalam genggamannya ini karena seorang senior yang juga adalah ketua murid dari asrama Gryffindor telah mengambil alih seluruh perhatian murid-murid kelas satu yang ada di lapangan Quidditch. Akhirnya kelas dimulai juga, pikir Belle tersenyum. Genggamannya pada batang sapu terbang mengeras sesaat sebelum akhirnya dia letakkan di atas hamparan rumput tipis.

“Yo, pagi semua. Selamat datang di Kelas Terbang. Aku Nazeline Windstroke, tahun ketujuh, salah satu dari asisten kelas terbang Madam Hooch selain tiga kapten Quidditch lainnya.”

Ho... jadi kakak-tak-berperike-kucing-an itu kapten tim Quidditch Slytherin? Belle mengerling sekilas pada Prefek Sirius.

“Ng—hari yang cerah untuk terbang, kan? Kalau begitu, yang berminat untuk melakukan praktek langsung, ayo mulai. Siap semua? Berdiri di samping sapu masing-masing. Perhatikan gerakan dan kata-kataku. Pelajaran pertama adalah… Rentangkan tangan di samping sapumu—dan katakan, ‘naik!’”

Belle menyimak setiap kata yang diucapkan oleh KM Windstroke, iya dia tahu seniornya itu memiliki surname yang sama dengan Arshavin—mungkin mereka bersaudara, pikir Belle. Tapi sekarang bukan waktunya memikirkan soal hubungan keluarga orang lain, sekarang waktunya untuk belajar terbang. Belle berdiri tegap di samping sapu yang tadi dia letakkan di samping kakinya lalu merentangkan tangan seperti yang dilakukan oleh senior di depannya. Dengan jantung berdebar-debar, Belle mengucapkan, "Naik!"

Tak ada yang terjadi, sapunya tidak naik ke dalam cengkeramannya. Belle menoleh pada sapu terbangnya dan melemparkan tatapan memohon, "Kumohon... Naik!" Sapu terbangnya bergetar sesaat di atas rumput sebelum akhirnya melompat ke dalam cengkeraman Belle yang tersenyum puas. "Thank you, sapu."

Bagaimana? Sudah berhasil, semua? Yang sudah berhasil—boleh melakukan praktek selanjutnya. Naik ke atas sapu kalian, dan cobalah untuk mengendalikannya—untuk menukik naik. Ya, terbang. Tidak lebih dari… Hm, lima meter dari atas tanah. Kalian boleh mulai, sekarang. Tunggu apalagi?”

Sekali lagi, Belle meniru gerakan yang dilakukan KM Windstroke, mengangkat sapunya lalu melangkahkan sebelah kakinya sehingga batang sapu itu sekarang melintang di antara kedua kakinya. Waktunya terbang, kawan. Belle menjejakkan kakinya di tanah dan mendorong tubuhnya ke atas sambil berpegangan pada ujung batang sapu yang kini membawanya naik ke langit.

Belle terbang! Dia benar-benar terbang dengan sapu terbang seperti penyihir-penyihir yang dibacanya dalam buku cerita. Binar antusias terlihat jelas di matanya saat gadis kecil itu menatap ke bawah dan melihat orang-orang terlihat semakin kecil. Hembusan angin terasa menyusup di sela-sela surai keemasannya. Menyenangkan sekali. Eh? Sepertinya gadis kecil itu terbang terlalu tinggi. Belle memegang erat batang sapu dan memberikan gerakan membelok, sapu itu menuruti kendalinya dan melakukan putaran halus sebelum akhirnya gadis kecil itu mengarahkan sapunya untuk turun kembali ke daratan.

"Waaahh... terbang itu asyik!" ujarnya riang pada teman-temannya saat kembali ke daratan.

Label:






@ 21.28
`Half Alive

Pakaian Belle.



Pagi ini saat sarapan di aula besar, Belle mendapatkan kiriman surat dari Nenek Rusia-nya beserta sebuah paket besar dalam kotak berwarna hijau muda—warna kesukaan Belle. Gadis kecil itu belum sempat membuka paket dan membaca suratnya karena kelas dimulai 10 menit setelah sarapan. Karena itulah, Belle menunggu hingga semua pelajaran selesai supaya dia dapat lebih leluasa membaca surat dan membongkar isi paketnya. Gadis kecil itu tak sabar, dia benar-benar penasaran dengan apa yang dikirimkan oleh Nenek Rusianya. Belle suka sekali hadiah dan paket besar itu terlihat seperti hadiah di matanya. Karena itulah, dia berusaha mengerjakan semua tugas-tugas yang diberikan di kelas agar dia bisa cepat kembali ke asrama dan memuaskan hasratnya.

Langkah-langkahnya tak terhenti meski sesekali berbenturan dengan bahu seseorang saat gadis kecil itu berlari naik ke menara Ravenclaw. Wajahnya penuh dengan senyum. Dia benar-benar sudah tidak sabar untuk membuka kotak hijau muda tersebut. Dia tak peduli pada pandangan orang-orang yang memperhatikan kelakuannya dan malah melemparkan senyum lebar dan sapaan basa-basi pada mereka.

Mata gadis kecil itu berbinar-binar saat kotak besar itu sudah ada di pangkuannya. Jemarinya perlahan merobek kertas pembungkus paket itu dengan rapi—memikirkan kemungkinan untuk menggunakan kertas pembungkus itu sebagai sampul buku. Dengan cepat ia melipat kertas pembungkus yang sudah terlepas sepenuhnya dari kotak kardus coklat yang ada di dalamnya kemudian melihat isi dari kotak itu—sebuah jumpsuit berbahan katun berwarna hijau muda seperti kertas pembungkusnya, lengkap dengan bando berbentuk pita dengan warna senada. Belle yakin, jumpsuit itu pasti jahitan Nenek Rusia sendiri. Meski Nenek Rusia masih keturunan bangsawan, beliau sangat mahir menjahit. Beberapa pakaian Belle adalah hasil jahitannya. Nenek Rusia bilang, menjahit dengan metode muggle lebih menantang ketimbang menggoyangkan tongkat sihir. Lucu juga, ya. Banyak orang suka dengan hal yang serba praktis, Nenek Rusia-nya malah terbalik. Gadis kecil itu tersenyum lalu melanjutkan pembongkaran paket tersebut. Di dalam kotak itu ternyata masih ada berkotak-kotak cokelat kodok, sekantong penuh bom kotoran (Nenek Rusia bisa becanda juga rupanya), dan beberapa kotak brownies coklat super lezat buatan Nenek Rusia. Puas membongkar paketnya, Belle menyimpan semuanya itu di kolong ranjangnya setelah menyisakan satu kotak brownies untuk dijadikan cemilannya sembari membaca surat nenek. Gadis kecil itu berniat membacanya di halaman.

Dengan cepat, Belle mengganti jubah Ravenclaw-nya dengan jumpsuit yang baru saja diterimanya—merapikan rambutnya dan memasang bando hijau mudanya di kepala (memang dimana lagi?). Gadis kecil itu lalu memilih menggunakan sepasang ballet shoes berwarna putih yang manis untuk membalut kaki mungilnya.

PERFECT—

Gadis itu membawa keranjang kecil berisi sekotak brownies, sebotol air mineral, sweater putih, Banana, Lemon dan tak lupa surat dari Nenek Rusia dia masukkan ke dalam kantong bajunya. Waktunya untuk berpiknik di halaman. Dengan riang gadis itu mengayunkan kedua kaki mungilnya ke halaman.

Cuaca musim gugur memang cenderung dingin, tapi sore itu sepertinya cuaca sedang bersahabat dengan gadis kecil berambut pirang yang sedang melompat-lompat kecil di hamparan karpet hijau sang bumi. Daun-daun berwarna oranye dan coklat berjatuhan bagaikan hujan—menyelimuti beberapa bagian rerumputan yang masih hijau. Gadis itu menghampiri sebuah pohon maple yang cukup tinggi dan besar—berniat untuk berteduh di bawahnya. Namun tiba-tiba sebuah pikiran nakal terbersit di otaknya saat ia menengadah dan melihat bahwa pohon besar itu memiliki dahan-dahan yang kokoh dan mudah untuk dipanjat dan diduduki. Berpiknik di atas pohon sepertinya menyenangkan juga, pikir gadis kecil itu nyengir.

Pertama, gadis kecil itu meletakkan keranjangnya di dahan tertinggi yang bisa digapainya lalu berpegangan pada dahan tersebut dan menjejakkan kaki kanannya pada sebuah dahan pendek. Hup—Dipindahkannya lagi keranjangnya ke dahan yang lebih tinggi dan dijejakkannya sekali lagi kaki kanannya, begitu terus-menerus hingga dia sampai di dahan terpanjang di pohon itu—sekitar tiga meter dari atas tanah.

Gadis kecil itu bersandar pada batang pohon dan menjulurkan kakinya ke bawah, masing-masing di sisi kiri dan kanan. Keranjangnya dia letakkan di depannya. Gadis kecil itu kemudian membuka kotak berisi browniesnya dan mengambil satu potong besar. Perlahan dijejalkannya ke dalam mulut—nyam—brownies buatan Nenek Rusia memang paling lezat. Setelah itu Belle menepuk-nepuk kedua telapak tangannya, membersihkannya dari remah-remah brownies yang menempel. Jemarinya mengambil surat Nenek Rusia dari dalam keranjang kecilnya.

Saat dia menunduk, kristal abu-abu mudanya melihat seorang anak laki-laki menghampiri pohon tempatnya berpiknik dan duduk bersila di bawahnya. Biar saja, pikirnya. Lalu, saat dia membaca surat dari Nenek Rusia yang isinya kurang lebih menanyakan kabarnya dan menceritakan soal kakek Rusia-nya, tak lama terdengar olehnya suara sopran khas seorang perempuan di bawahnya. Rupanya, entitas yang bersantai di bawah bertambah satu orang. Gadis kecil itu mengambil satu lagi potongan brownies dan mengunyahnya sambil meneruskan membaca surat. Tak peduli dengan percakapan yang sedang terjadi di bawahnya.

'Apakah kau bisa mengikuti pelajaran-pelajaran yang diajarkan di Hogwarts? Sayang sekali kau tak diterima di Gryffindor, Marion. Kuharap kau tidak terlalu bersedih karenanya.'

Gadis kecil itu tersenyum dan berbisik perlahan, "Aku betah disini, Nek. Dan aku sudah tidak sedih soal asrama, aku merasa cocok di Ravenclaw." Marion. Sudah lama sekali dia tidak dipanggil dengan sebutan itu. Hanya Nenek dan Kakek Rusia yang memanggilnya dengan nama Marion, katanya itu karena nama tersebut adalah pemberian dari mereka. Panggilan itu membuatnya jadi rindu pada kastil di Rusia. Mungkin liburan nanti, dia akan mempertimbangkan untuk berlibur disana.

“Ionatte… Pitaku.”

Samar-samar terdengar olehnya suara sopran yang berbeda dengan yang pertama. Sepertinya semakin ramai saja yang berteduh di bawah pohonnya. Pita, katanya? Belle menyapukan pandangannya ke sekeliling dan terlihat olehnya sebuah pita perak tersangkut di ranting dahan yang ia duduki sekarang. Gadis kecil itu berpikir sebentar, mampukah dia mengambilkannya? Pita tersebut tersangkut di bagian paling ujung ranting. Apakah bagian depan dahan yang semakin mengecil itu kuat menahan bobotnya? Gadis kecil itu perlahan mengubah posisi duduknya, ia condongkan tubuhnya ke depan dan menaikkan kedua kakinya perlahan ke belakang—pose merangkak. Belle maju perlahan-lahan dengan sedikit gemetar.

Sedikit lagi, sedikit lagi—gadis kecil itu menyemangati dirinya sendiri. Ah, sampai. Gadis kecil itu menjulurkan tangannya dan ketika pita perak itu telah ada dalam genggamannya dengan aman, tiba-tiba dahan yang dia duduki berderak keras—patah dengan sukses. Gadis kecil itu tanpa bisa berbuat apa-apa terhempas ke tanah dengan menggenggam pita perak di tangan kanannya.

BRUKK!

Sesaat pandangannya gelap—pingsan beberapa saat, mungkin. Keningnya sakit, sepertinya terbentur sebuah batu kecil yang sedang berjemur di atas rumput saat jatuh tadi. Namun, ada sensasi lain yang aneh. Bagian dada hingga pahanya tidak bersentuhan dengan rumput yang lembab tapi seperti berada di atas sesuatu yang hangat dan empuk. Sambil mengusap keningnya yang terluka, gadis itu membuka kelopak matanya. Rupanya dia terjatuh tepat di atas pangkuan seseorang yang sedang duduk bersila di bawah pohon! Gadis kecil itu perlahan menggerakkan tulang lehernya, menatap si pemilik kaki bersila dengan wajah memerah.

"Kak Arshavin?"


****

Beberapa saat yang lalu dia masih berada di atas dahan pohon, menikmati brownies pemberian nenek sembari membaca surat dari pengirim yang sama sambil memandangi langit. Dan sekarang tubuhnya tertelungkup di atas kaki seseorang yang dikenalinya sebagai Kak Arshavin si kakak-minim-ekspresi. Permata abu-abu mudanya kini menatap pada langit yang lain.

“Kau…” ujar Arshavin dengan alis bertaut. Ekspresi keterkejutan yang sangat-sangat minim seperti biasanya, khas seorang Arshavin Windstroke. Belum sempat Arshavin melanjutkan kata-katanya, seseorang telah datang memotong kalimat yang masih tertahan di bibir Arshavin dengan kalimat panjang bernada menyindir.

"Daripada terdiam seperti itu, kenapa kau tidak cepat bangun saja dan meminta maaf karena sudah menimpa seseorang, hm?"

Belle perlahan mengarahkan pandangannya pada si pemilik suara yang rupanya adalah teman setingkat dan se-asrama dengannya, Saga. Keningnya berkerut sesaat sebelum kemudian gadis kecil itu memberikan cengiran malu sebagai tanggapan atas kalimat tersebut, cengiran yang kemudian menghilang seiring dengan rentetan pertanyaan lanjutan dari sosok yang sama.

"Atau mungkin, kau berniat berlama-lama merepotkan yang kau timpa, hm?"

Kali ini Saga melemparkan senyum meledek ke arahnya. Membuat Belle serta merta memonyongkan bibirnya—cemberut. Coba saja kau jatuh dari atas pohon sepertiku. Apa kau bisa cepat-cepat bangun dengan kepala sakit begini? Belle bergumam kesal.

“Gadis itu hanya terjatuh.” ujar Arshavin pada Saga sembari mengangkat tubuh Elsveta dari pangkuannya dengan sebuah rangkulan singkat. Belle kini duduk bersandar pada pohon yang telah menjadi saksi bisu kecerobohan dan kenekatannya tadi. Dipandangnya Arshavin dengan tatapan berterimakasih. Setidaknya kata-kata Arshavin menandakan bahwa dia tidak merasa direpotkan oleh Belle sehingga gadis itu bisa bernafas lega. Kak Arshavin memang baik hati, pikir gadis kecil itu, tersenyum senang.

Kemudian, seorang gadis kecil yang diyakininya sebagai pemilik pita perak dalam genggamannya datang menghampiri dengan wajah bersalah. Membuat Belle dengan spontan tersenyum lembut pada gadis itu. Suara 'ngiiing' dalam kepalanya yang masih sakit membuat Belle tak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh gadis yang kini mengulurkan tangan kepadanya itu. Entah meminta maaf atau berterimakasih, Belle tak tahu. Perlahan, Belle mengulurkan pita perak di tangannya ke atas telapak tangan gadis musang itu. "Jangan sampai terbawa angin lagi, ya. Aku tak menjamin bisa mengambilkannya lagi untukmu," ujar Belle bergurau agar si gadis musang merasa lebih baik.

Dirasakannya Arshavin yang duduk di sampingnya bangkit berdiri membuat beberapa helai rumput kecil berjatuhan ke sisi Belle. Langitnya menatap pada kening mungil Belle, “Keningmu terluka, Nona.” Informasi mengalir dari bibir sang langit dan lagi-lagi tanpa ekspresi baik di wajah ataupun pada intonasi suaranya.

"Oh," ujar Belle sembari mengusap bagian keningnya yang tadi berciuman dengan batu. Dilihatnya cairan merah kental menempel di sepanjang jari-jarinya saat dia mengangkat kembali jemarinya. Darah.

Tiba-tiba saja gadis kecil itu merasa mual ketika sensasi seperti de javu melanda benaknya. Dia merasa pernah mengalami kejadian yang sama saat memandang telapak tangannya. Sedetik dilihatnya telapak tangan itu berlumuran darah, sedetik kemudian hanya jari-jarinya yang ternoda dengan warna merah gelap tersebut. Bau amis darah imajiner tiba-tiba memenuhi indera penciuman Belle. Dan sekali lagi telapak tangan itu berlumuran cairan merah gelap. Rona wajah Belle memucat seperti kertas. Gadis kecil itu tak paham dengan apa yang sedang terjadi padanya. Dia yakin tak pernah melihat hal seperti itu sebelumnya. Tatapan kedua permata kembar Belle tetap terpaku pada telapak tangannya saat sedetik kemudian jeritan ketakutan melengking dari bibir mungil sang elang kecil.

"AAAAAAAAAAAAAAAAH..."

Label:






@ 21.27
`Om, ganteng deh. Jangan ya :)

Siang itu Nabelle cepat-cepat melangkah menuju menara. Bukan—dia bukan hendak kembali ke asrama Ravenclaw, tapi dia menuju kandang burung hantu. Untuk apa? Tentu saja untuk mengirim surat melalui burung hantu milik sekolah. Gadis kecil itu belum pernah mencoba mengirim surat dengan perantara hewan bernama burung hantu itu, rasanya aneh sekaligus menegangkan. Kata Nenek Rusia, sih, suratnya pasti akan sampai ke tangan penerima yang dituju. Lebih akurat ketimbang menggunakan pos muggle. Hari itu dia ingin mengirim surat balasan pada Nenek Rusia, sekaligus mengucapkan terimakasih atas kiriman paket browniesnya yang luar biasa nikmat.

Hidungnya spontan berjengit saat langkah pertamanya memasuki ruangan yang berbau khas burung hantu. Tidak lebih parah dari bau bom kotoran tapi tetap saja bau yang tidak enak, meski dalam beberapa saat indera penciumannya mulai terbiasa dengan aroma khas itu. Jujur saja, Belle belum pernah masuk ke sana dan tidak tahu yang mana burung hantu milik sekolahnya. Setahu Belle, di ruangan itu hampir semuanya adalah burung hantu milik murid-murid Hogwarts. Gadis kecil itu memperhatikan satu persatu burung hantu yang ada disana. Salah satu burung hantu berwarna seputih salju tiba-tiba ber-uhu-ria tepat di dekat lubang telinganya. Membuatnya terlompat kaget. Dipelototinya burung hantu usil itu dengan kedua kristal abu-abu mudanya. "Nakal, ya! Awas nanti paruhmu Belle kasih lem UHU biar kamu nggak bisa ber-uhu-uhu lagi."

Ruangan itu benar-benar berisi dengan begitu banyak jenis burung hantu. Ada yang besar, ada yang kecil dan ada tiga yang besar seperti manusia. Eh, itu sih manusia beneran. Belle mengamati ketiga sosok itu dari jauh. Dua dari tiga burung orang disana dikenalinya. Salah satunya adalah senior Cornwell yang magang di toko es krim, yang pernah menjenguknya di Hospital Wing. Satu lagi adalah si 'om' yang memberikan pelajaran menggambar tak jelas di kelas Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam. Sungguh, si 'om' itu wajahnya sungguh aneh bin ajaib—nyentrik. Semakin dilihat, wajah 'om' itu semakin mirip denganbanshee yang digambarnya di kelas PTIH. Yang satu lagi, Belle tak kenal. Seorang gadis cantik yang sepertinya adalah seniornya di Hogwarts.

Belle tidak tahu apa yang sedang terjadi di antara ketiga orang tersebut. Satu-satunya gadis yang ada di sana terlihat sedang marah-marah pada om bansheeyang malah terlihat acuh tak acuh. Sedangkan senior Cornwell terlihat kebingungan memandangi mereka berdua.

Jangan-jangan sedang terjadi pertengkaran berebut sang gadis? Wah, rupanya di Hogwarts pun ada kisah cinta yang rumit seperti ini. Sepertinya, si gadis itu pacarnya Senior Cornwell yang sedang selingkuh dengan si om banshee. Atau, Senior Cornwell dan om banshee sedang bermesra-mesraan di sini lalu tertangkap basah oleh si gadis? Makanya gadis itu marah-marah! Tsk—benar-benar di luar dugaan. Padahal Belle cukup menyukai Senior Cornwell, lho. Tapi kalau ternyata hatinya lebih memilih seseorang seperti om banshee, lebih baik Belle menyerah.

Ah! Surat. Suratnya masih digenggamnya. Hampir saja dia lupa dengan tujuan awalnya kemari gara-gara sinetron live di depannya. Tapi, dia kan tidak tahu yang mana burung hantu milik sekolah. Akhirnya, Belle memutuskan menghampiri ketiga sejoli (?) itu untuk mengganggu sebentar. Setelah urusannya selesai, Belle akan pergi, kok.

"Permisi. Burung hantu milik sekolah yang mana, ya? Belle mau kirim surat."

Label:






@ 21.26
`Kelas Ramuan Pertama

Pelajaran hari ini adalah Ramuan yang diadakan di salah satu ruang bawah tanah. Cuaca di sini lebih dingin daripada di atas, membuat Belle sedikit menggigil saat menjejakkan kakinya ke dalam ruang kelas. Gadis kecil itu memandangi seisi ruangan, menurutnya ruangan itu menakutkan tapi yang lebih membuatnya jijik adalah sederetan tabung-tabung berisi binatang-binatang yang diawetkan di sepanjang dinding. Belle berusaha untuk tidak memperhatikan pemandangan mengerikan itu meskipun sulit. Gadis kecil itu mengambil tempat duduk agak di tengah supaya dia tidak terlalu dekat dengan mayat-mayat binatang yang menjijikan. Belle suka binatang dan melihat binatang-binatang dalam keadaan diawetkan seperti itu sedikit membuatnya kesal. Masa, sih kami harus membuat ramuan menggunakan binatang-binatang itu?

Belle mengalihkan pandangannya, menatap Profesor Snape yang sepertinya memang bagian dari tempat itu. Belle belum pernah melihat seseorang dengan tatapan mata sedingin dan sekosong itu—seolah-olah dirinya bisa melihat sebuah lorong gelap di dalamnya. Entah apa yang membuat si Profesor menjadi seseorang yang terlihat seperti itu. Seseorang terbentuk dari apa yang pernah terjadi di masa lalunya, itu yang selalu dikatakan Teresa kepadanya. Namun, gadis kecil itu tak berniat menanyakan apa pun soal masa lalu si profesor. Biar orang lain saja yang lebih dekat dengannya yang mengambil tugas tersebut. Tugasnya sekarang adalah belajar dan memperhatikan apa yang dikatakan oleh Profesor Snape.

Gadis kecil itu harus benar-benar memperhatikan karena suara si profesor begitu pelan, nyaris seperti berbisik. Profesor Snape memberikan peringatan untuk datang tepat waktu dan memperhatikan saat ia menerangkan pelajaran, mengerjakan semua yang dia perintahkan dan kalau melanggar—detensi akan menjadi hadiahnya. Gadis kecil itu mengangguk pelan seolah Profesor Snape akan merasa lebih senang jika dia melakukan hal itu. Tenang saja, Belle anak yang tepat waktu dan penurut jika memang perlu.

Kemudian, Profesor Snape menjelaskan tugas untuk pelajaran ramuan hari ini. Dia ingin para murid membuat Ramuan Penyembuh Bisul. Gadis kecil itu mendengarkan dan mencatat apa yang dikatakan oleh Profesor Snape di atas perkamennya supaya tidak terjadi kesalahan saat dia mencoba membuat ramuan. Duri landak harus dimasukkan setelah memindahkan kuali dari atas api. Gadis itu menggarisbawahi catatannya menandakan bahwa bagian itu adalah yang terpenting. Buktinya Profesor Snape sampai repot-repot menegaskan segala. Profesor Snape mengeluarkan tongkat sihirnya dan tiba-tiba saja di atas meja telah ada peralatan serta bahan-bahan ramuan yang diperlukan. "Wow."

Gadis kecil itu segera mulai mengerjakan tugasnya dengan sedikit bingung. Dia belum pernah memasak sendiri tanpa didampingi ibunya. Mudah-mudahan saja semuanya berjalan dengan baik. Gadis kecil itu menyalakan api untuk memanaskan kuali lalu merebus siput tanduknya sementara ia menimbang jelatang kering dan bubuk taring ular. Kemudian Belle mencampurkan jelatang kering dan bubuk taring ular ke dalam kuali bersama rebusan siput tanduknya. Asap hijau berbau asam dan suara desis keras memenuhi ruangan kelas itu. Belle mengernyitkan hidung, berharap dia membawa penyumbat hidung kemari. Perlahan gadis kecil itu mengangkat kualinya dari atas api dan ia letakkan di atas tatakan kain di atas meja. Dia menunggu sebentar lalu memasukkan campuran yang terakhir ke dalam ramuannya—duri landak.

Ramuan bau seperti ini bisa mengobati bisul? Belle memandangi hasil kerjanya yang kini berwarna hijau. Dia suka warna hijau, tapi hijau yang ditatapnya sekarang entah kenapa terasa menjijikkan. Mudah-mudahan saja dia melakukan prosedur yang diminta Profesor Snape dengan benar. Dan semoga saja ramuan di hadapannya ini benar-benar menjadi Ramuan Penyembuh Bisul dan bukannya Ramuan Penyebab Bisul. Gadis kecil itu duduk kembali di kursinya, menunggu yang lain selesai membuat ramuannya masing-masing.

Label:






Rabu, 18 November 2009 @ 08.14
`Event Halloween Ball part 3

Gadis kecil itu sebenarnya masih ingin menikmati dansanya dengan pangeran imajiner dan bayangan ayahnya. Rasanya lebih nyaman daripada harus berdansa dengan orang asing yang tidak dikenalnya. Tak peduli meski pasangan-pasangan yang lain saling mencari, Belle lebih suka disini. Dia memang tidak begitu betah dengan keramaian. Tapi karena kini di hadapannya ada seorang anak laki-laki dengan kemeja putih beraksen dasi model pita, dilengkapi coat hitam panjang dan topeng hitam—dengan terpaksa keasyikannya dihentikan sementara. Jika disapa harus menjawab, begitulah yang diajarkan Ms. Leona.

"Illusory prince and dad?" anak lelaki itu mengulangi jawabannya dengan heran. "Two people at once, eh? That's good; you must be an expert in dancing, if I may guess?"

Entah kenapa pertanyaan yang berupa ulangan dari jawabannya itu sedikit membuat Belle malu. Ya, anak lelaki itu pasti menganggapnya sudah gila sekarang—tanpa sadar tangan kanannya menggaruk pelan pipinya yang tidak gatal, grogi. Berdansa sendirian dengan pangeran imajiner dan bayangan ayahnya memang menyenangkan hatinya tapi pasti terlihat aneh di mata orang lain. Belle tahu itu. Tapi, ya sudahlah. Sudah terlanjur mau bagaimana lagi. Parahnya lagi, ternyata anak lelaki yang menangkap basah dirinya sedang melakukan hal bodoh tersebut ternyata adalah pasangan dansanya. Lengkaplah sudah. Rasanya ingin sekali Belle melompat ke dasar Danau Hitam dan bermain-main dengan tuan gurita raksasa. Bayangkan saja, anak laki-laki itu malah tertawa saat dia menyodorkan kertas bernomor 85 tersebut. Untung saja wajahnya tertutup separuh, dengan tulus Belle berterimakasih pada topeng yang menyelamatkan harga dirinya. "Mereka bergiliran, kok—I mean, my illusory prince and my dad. Dan aku tidak terlalu ahli berdansa karena pasangan dansaku selama ini hanya almarhum Daddy dan kakekku. But, I like to dance," jawab Belle sambil tertunduk malu.

"By any chance, do I know you, Miss?"

Tentu saja tidak karena satu-satunya anak laki-laki bermata belang yang Belle kenal adalah Kak Thanatos yang ganteng sekaligus seram. Belle bergidik mengingat kejadian saat Pesta Awal Tahun, tatapan matanya itu lho—menusuk. Seram sekali hingga membuat gadis kecil itu melakukan hal bodoh dengan—ah, lupakan. Hal memalukan seperti itu tak perlu dibahas. Sekarang yang terpenting adalah meladeni pasangan dansa yang ada di hadapannya ini. Mudah-mudahan anak laki-laki itu tidak terlalu lama menganggapnya sebagai gadis gila.

"No, Sir. We haven't met before," jawab gadis itu sembari menyunggingkan senyum. Kali ini, dia takkan mempermalukan dirinya lagi, "Keberatan kalau aku ambil minuman dulu? Aku agak haus."

*****

Pasangan dansanya sepertinya tipe orang yang acuh tak acuh dan itu membuatnya agak sedikit rileks. Gadis itu kini menggenggam segelas cairan berwarna semerah darah, meneguknya perlahan dan memuaskan kerongkongannya yang sejak tadi terasa kering. Sekarang, Belle merasa lebih segar. Indera pendengarannya tiba-tiba menangkap suara ribut-ribut yang berasal tak jauh darinya. Gadis kecil itu dengan cepat membalikkan tubuhnya dan memperhatikan beberapa senior yang terlibat dalam keributan tersebut. Ada satu wajah yang tak disukainya disana yang sepertinya telah memotong poin dari asrama Gryffindor. Gadis itu menggeleng perlahan lalu melangkah kembali ke tempat pasangannya berada dan dia tidak menemukannya.

Kristal abu-abu mudanya mencari-cari sosok tersebut dan akhirnya melihatnya sedang mendekati sebuah piala dengan bentuk pegangan seperti naga di dekat gramafon. Anak laki-laki itu memasukkan sesuatu ke dalam piala tersebut yang kemudian memantulkan cahaya api biru membakar sesuatu yang dimasukkan olehnya. Gadis kecil itu bertanya-tanya dalam hati, untuk apa gerangan anak laki-laki tersebut melakukan hal itu. Ini pesta pertamanya di Hogwarts, wajar bila dia tak tahu teknis tentang pesta disana. Anak laki-laki tersebut sekarang sedang melangkah kembali ke tempatnya sambil tersenyum kecil.

"So, enjoying the ball, yet? Have you vote for the Queen and King of the Ball?"

Oh, jadi untuk memilih Raja dan Ratu Pesta, toh. Belle mengangguk-angguk pelan lalu menatap pasangannya dengan senyum, "Tidak terlalu menikmati, sejujurnya. Aku tidak terlalu suka keramaian. Dan belum, aku belum memilih siapapun. Karena aku hampir tidak kenal siapa-siapa yang kurasa cocok menjadi pilihan." Gadis itu terdiam, berusaha mengingat-ingat siapa yang sudah dia kenal dan cocok untuk menjadi Raja dan Ratu Pesta. Gadis itu kembali menggeleng, "Rasanya aku tidak akan memilih tahun ini."

Dia takkan di detensi hanya karena tidak memasukkan pilihannya, bukan? Seandainya dia sudah mengenal banyak orang disana, dia akan lebih mudah memilih. Tapi untuk saat ini, gadis kecil itu benar-benar tidak tahu harus memilih siapa. Ah! Tiba-tiba di kepalanya seolah ada lampu menyala. "Oh, aku tahu!" Gadis itu cepat-cepat menulis di atas perkamen dan berlari mendekati piala besar, melemparkan perkamen yang sudah dilipat-lipat ke dalam nyala api biru yang membakarnya. Kemudian gadis itu berlari kembali ke tempat pasangannya berada. Rasa hangat karena berlari menjalari tubuhnya yang sejak tadi kedinginan, membuat pipi gadis kecil itu berwarna kemerahan.

"Hm," gadis kecil itu menatap pasangan dansanya, perlukah ia mengajak anak laki-laki itu berdansa? "Kau mau berdansa?" tanya gadis kecil itu akhirnya meski ia sudah ingin cepat-cepat pergi dari tempat yang semakin bising itu.


TEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTT!


Suara terompet yang memekakkan telinga tiba-tiba terdengar tepat setelah gadis kecil itu menyelesaikan kalimatnya. Dan instruksi di langit menyebutkan bahwa mereka harus berganti pasangan. Gadis itu menatap pasangannya dengan wajah miris, "Ups, kurasa waktunya sudah habis. Maaf kau jadi tak sempat berdansa. Kurasa aku akan meninggalkan tempat ini, terlalu bising. Kalau kau mau ikut, terserah."

Gadis kecil itu mengayunkan kakinya, meninggalkan pasangan dansanya di belakang dan keluar melalui gerbang masuknya tadi. Dia lelah. Tempat yang terlalu bising memang melelahkan.

Label:






@ 01.58
`The Tale of Macturian

Nama : Michika Matsukaze
Status : Anak pelayat dari Jepang
Umur : 3 tahun
Foto-foto : Penampilan Michika || Michika nyengir || Ekspresi Michika
Keterangan : mencari papa mama yang tersesat, kalau sedang tidak bicara selalu menggembungkan pipi seperti ini.




"Michika."

"Siapa Michika?"

"Kamu."

"Bukan. Aku Nabelle."

"Bodoh. Ini dunia mimpi dan sekarang namamu Michika!"

"Siapa Michika?"

"Seorang anak pelayat dari Jepang."

"Oh, boleh juga jadi gadis Jepang yang manis sesekali."

"Umurmu tiga tahun dan kamu sedang tersesat di dalam istana."

"Jangan bercanda. Ini mimpiku, terserah aku dong?"

"Jangan banyak cingcong. Sana cari orangtuamu!"



Dan disinilah dia sekarang, di sebuah ruangan super besar entah terdiri dari berapa ribu tatami yang berbulu dengan banyak sekali orang-orang berdiri di depannya. Semuanya terlihat seperti raksasa dalam penglihatan bocah kecil berusia tiga tahun itu—menyeramkan ih. Papa dan mama yang mengajaknya kesini, sekarang entah ada dimana. Mungkinkah mereka tersesat? Michi harus mencari mereka kalau begitu. Padahal sejak turun dari pesawat terbang tadi, Michi terus-terusan menggandeng mereka supaya mereka tidak menghilang. Ternyata ukuran tubuh Michi yang kecil kontet nan lucu itu tidak efektif menjadi penjaga orangtua.

Bocah kecil itu menyapu seluruh ruangan dengan permata hitam pekatnya, berusaha mencari-cari dimana papa dan mamanya berada. Seharusnya tidak jauh dari sana, bukan? Kaki-kaki kecilnya yang dibalut kaos kaki putih berenda-renda dan sepatu mungil berwarna pink mengayun perlahan—kepalanya tetap tengok kiri kanan dengan pipi menggembung.

"Ga' keyiatannnn," seru bocah kecil itu sambil memonyongkan bibirnya—kesal. Semua orang terlihat seperti tiang listrik baginya. Yang terlihat jelas hanya celana atau roknya saja. Setiap kali menengadah yang terlihat hanya bagian bawah dagu dan dua lubang hidung yang mengundang untuk dicolok dengan jari mungilnya. Bocah kecil itu mendengus kesal—pipinya semakin digembungkan. Dia kembali berjalan berputar-putar di tempat yang sama—meski merasa sudah berjalan sangat jauh dan lama sekali. Sesekali dia memanjat kursi yang cukup rendah dan berdiri di atasnya mencari-cari sosok yang mirip dengan papa dan mamanya.

Bocah kecil itu bingung, untuk apa orang-orang sebanyak ini berada di satu ruangan. Membuatnya semakin susah mencari papa dan mamanya yang tersesat. Bagaimana kalau mereka nanti menangis mencarinya? Kasihan, kan. Michi nanti jadi harus susah payah menghibur mereka supaya berhenti menangis. Melelahkan.

Bocah kecil itu tiba-tiba berhenti di depan meja yang penuh dengan kue-kue kecil, menatap dengan terpesona dan setitik liur mengintip di sudut bibirnya. Dia langsung lupa akan tugasnya mencari papa dan mamanya. Dengan kedua kaki mungilnya dan sedikit bantuan tangannya, dia memanjat menaiki sebuah kursi yang ada di dekat meja tersebut.Hup—

—kini kue-kue itu bisa dengan mudah diambilnya. Dengan girang diambilnya sebuah kue penuh krim strawberry dan langsung dilahapnya dengan rakus. "Eny'aakk..." Wajah lucunya itu kini belepotan dengan krim strawberry. Dia mengambil lagi sebuah kue dengan lapisan selai coklat tebal yang terlihat sangat menggiurkan. Hap—kue itu dengan sukses masuk ke mulutnya dan menambah noda di wajah dan tentu saja di tangannya. Dia melahap kue-kue itu satu persatu dengan wajah sangat bahagia. Namanya juga anak-anak. Setelah perutnya kenyang, dia teringat lagi pada papa dan mamanya. Bocah kecil itu segera turun dari kursi tempatnya berdiri tadi sambil menjilati jari-jarinya yang penuh krim dan kembali melangkah mencari papa dan mamanya.

"Meonggg"

Meong? 'ucing? Michi cuka!

Tiba-tiba indera pendengarannya menangkap suara seekor kucing dan sekali lagi, lupalah dia pada tugasnya. Bocah kecil itu menoleh ke arah suara dan melihat beberapa orang besar sedang berkumpul disana. Dua laki-laki yang ada disana berambut hitam dan tampak seperti papanya dari belakang. Bocah kecil itu juga melihat seekor kucing tengah digendong-gendong bergantian oleh mereka.

Papa main sama 'ucing?

Michi dengan riang berlari dengan langkah-langkah yang mungkin terlihat goyah di mata orang dewasa—ke arah orang yang diduga adalah papanya. Pluk. Dengan cepat bocah kecil itu memeluk erat kaki salah satu dari kedua lelaki itu yang dianggap paling menyerupai papanya. Wajah dan tangannya yang belepotan dengan sukses menodai celana orang itu. "Papa! Michi mau! 'ucing! Michi mau 'ucing!"

Label:






Senin, 16 November 2009 @ 08.44
`Event Halloween Ball part 2

Malam semakin menunjukkan dirinya. Bulan pun semakin terang bercahaya menghiasi langit malam bersama bintang-bintang. Memberikan cahaya yang menaungi para manusia yang tengah berpesta di hamparan bumi hijau. Cahayanya berpadu dengan cahaya dari lentera-lentera berwajah seram yang terbuat dari labu, memberikan warna hangat—mengalihkan hawa dingin yang mulai terasa menusuk.

Putri, pangeran, pesta dansa dan istana. Semua itu sekarang tersaji di Hogwarts. Bagi anak-anak gadis seusia Nabelle, hal tersebut adalah sebuah kesenangan tersendiri. Every girls wannabe a princess, wanna be treat as a princess. Dan tanpa adanya seorang pangeran, sebuah dongeng takkan pernah terasa lengkap. Kakinya masih bergerak seirama dengan musik, berdansa waltz dengan seorang pangeran imajiner. Gadis kecil itu tumbuh dalam lingkungan bangsawan sehingga ia akrab dengan pesta dansa, meski pasangan dansanya selama ini adalah ayah dan kakeknya sendiri.

Gadis kecil itu tak ambil pusing dengan sekelilingnya yang mungkin saja menatap dirinya dengan pandangan aneh. Dia terus berdansa dan mulai bersenandung mengikuti irama yang keluar dari mulut sang gramofon. Setidaknya mereka takkan mengenali wajahnya yang tertutup topeng. Pikirannya mulai melayang pada pesta-pesta dansa yang dihadirinya di kastil Russia milik kakeknya. Saat-saat berdansa dengan almarhum ayah yang masih begitu dirindukannya. Bagaimana sang ayah akan menggendongnya begitu lagu selesai diputar dan memberikannya kecupan yang berarti ia sudah harus tidur—sementara para orang dewasa melanjutkan pestanya.

Langkahkan kakimu seirama dengan musik, Belle—

Yes, Daddy.

—jangan kaku. Santailah dan biarkan musik mengalir di tubuhmu.

Okay. Like this?


Demikianlah yang selalu dikatakan sang ayah padanya pada awal-awal dia belajar berdansa. Ayahnya dengan sabar mengajari dia hingga mahir berdansa. Setidaknya untuk ukuran anak-anak seperti dia saat itu. Takkan pernah dia lupakan bahwa sang ayah akan menghadiahinya pelukan erat bila dia berhasil menguasai teknik dansa yang beliau ajarkan. Memang bukan hadiah berupa materi, namun jauh lebih berharga dari benda apapun yang ada di bumi. Terutama sejak kematian sang ayah. Hadiah-hadiah itu tentu takkan mungkin lagi didapatkannya.

Langkah-langkah kakinya sedikit berantakan sekarang. Rasa rindu yang amat dalam tiba-tiba menguasai benaknya untuk kesekian kalinya. Gadis kecil itu menengadahkan wajahnya ke langit, memandangi bintang-bintang. Gadis itu tersenyum kecil pada salah satu bintang yang bercahaya paling terang dan menggumamkan kerinduannya dalam bisikan lirih.

"Dancing with the invisible man, Miss?"

Suara berat.

Lelaki.

Kepala gadis kecil itu bergerak turun, tatapannya kembali menatap lurus sebelum kemudian ia menolehkannya pada asal suara yang menyapanya. Satu sosok tinggi bertopeng tengah menatap dirinya. Suasana yang remang-remang cukup membuat apa yang tampak di hadapannya menjadi sedikit misterius dan seram. Anak lelaki itu memiliki warna bola mata yang berbeda sehingga membuat gadis kecil itu sempat mengira kalau yang berdiri di hadapannya adalah Thanatos. Tapi anak lelaki ini lebih pendek dari Thanatos dan matanya yang satu berwarna coklat, bukan biru. Rambutnya juga tidak pirang. Gadis itu menyunggingkan seulas senyum manis pada anak lelaki tersebut.

"Yes. With my illution prince and my dad."

Gadis kecil itu kemudian mengambil nomor undiannya dari kursi yang tadi didudukinya—beruntung tak ada orang yang duduk di sana sehingga menghilangkan nomornya. Lalu ia menyodorkan kertas berisi nomor undian itu pada anak lelaki di hadapannya. 85.

"Apakah nomorku sama denganmu?"

Label:






Sabtu, 14 November 2009 @ 07.10
`Event Halloween Ball

Akhirnya hari ini tiba juga. Pesta dansa pertama gadis kecil itu selain pesta-pesta keluarga Russia-nya. Jujur saja, gadis kecil itu sangat bersemangat. Ibunya telah mengirimkannya gaun pesta yang sangat cantik berwarna dominan hijau muda ditambah sedikit warna kuning dan putih. Di pinggang kanannya disematkan bunga buatan dari kain yang mempermanis gaun tersebut. Ibunya juga mengirimkan dia sepasang sepatu berwarna hijau muda yang cocok dengan gaun tersebut. Nah, yang paling keren adalah satu koper kecil penuh dengan bunga anggrek putih dan alat-alat penata rambut yang telah diberi sihir oleh ibunya sehingga saat gadis itu mengucapkan "dandan", peralatan tersebut akan bergerak sendiri untuk menata rambutnya. Kalau dilihat-lihat keseluruhan gaunnya itu seperti kostum Tinker Bell. Pas sekali dipakai oleh gadis itu. Membuat rambut pirangnya terlihat semakin cerah dan permata abu-abu mudanya lebih hidup.

Setelah rambutnya selesai dijalin oleh peralatan ajaib itu, gadis kecil itu terlihat seperti putri dari negeri dongeng. Dia tersenyum sendiri melihat bayangannya di depan cermin. Seandainya yang jadi pasangan dansanya malam ini adalah Prefek Artois, pasti dia akan sangat senang. Tapi, semua orang akan pakai topeng hari ini, akan susah baginya untuk menebak yang mana Kak Artois. Kecuali keberuntungan sedang berpihak kepadanya. Serahkan pada Merlin.

Gadis kecil itu berjalan santai dari kastil menuju lokasi pesta, Dedalu Perkasa. Tempat itu menakutkan, pas sekali untuk Pesta Halloween. Sejujurnya, gadis kecil itu sedikit takut kesana. Makanya hingga detik ini, hanya tempat itulah yang belum diinjaknya. Setidaknya malam ini disana akan ada banyak orang dan pasti akan aman-aman saja. Sekarang gadis kecil itu sudah berdiri di depan dua pilar dengan replika labu dari kaca—pintu masuk ke tempat berlangsungnya acara. Gadis itu memandang ke dalam area yang dikelilingi tali. Takjub melihat banyak orang dengan gaun-gaun indah dan topeng-topeng yang cantik. Beberapa tampak agak menyeramkan. Gadis itu kemudian menghampiri replika labu dan mengambil sebuah nomor undian yang akan menentukan siapa pasangannya hari itu.

Nomor 85.

Siapa ya kira-kira anak lelaki dengan nomor yang sama dengannya? Bagaimana cara mereka saling bertemu nanti di tengah keramaian seperti ini. Gadis itu melangkah masuk ke dalam. Menyaksikan beberapa orang yang sepertinya adalah para Prefek sedang berdansa. Tiba-tiba seseorang menyenggol gadis itu sehingga hampir terjatuh. Orang itu bukannya minta maaf, malah berlalu begitu saja. Tempat pesta semakin padat. Suara musik yang mendayu begitu keras membuatnya agak sulit mendengar. Tiba-tiba saja, gadis itu merasa sangat kecil. Kecil—dan rapuh. Apa yang tadinya terlihat sebagai kerumunan orang-orang yang seperti karnaval, kini tampak seperti gerombolan yang mengancam. Seorang anak laki-laki menabraknya lagi. Membuat gadis kecil itu semakin kebingungan.

Kak Artois. Aku mau Kak Artois.

Gadis kecil itu tahu, tak mungkin mencari sang prefek di tempat seramai itu—di balik topeng pula. Gadis kecil itu cepat-cepat melangkah ke sebuah sudut yang agak sepi. Duduk di sebuah kursi yang ada di sana—memejamkan matanya sesaat. Bodoh, kenapa tiba-tiba dia merasa ketakutan seperti itu. Orang-orang yang ada disini adalah orang-orang yang sama yang selalu dilihatnya sehari-hari. Gadis kecil itu menyapu sekeliling tempat pesta dan melihat di sampingnya ada seorang anak laki-laki yang perawakannya mirip dengan prefek yang ia cari-cari sejak tadi. Tanpa sadar, tangannya telah menarik lengan kemeja laki-laki itu dan menyapanya. Berharap orang itu benar-benar orang yang ia cari.

"Kak Artois?"

*****

Musik mengalun lembut memenuhi seluruh area pesta, memanjakan telinga setiap insan yang menghargai musik. Semakin banyak orang-orang bertopeng yang datang bergandengan dengan pasangannya. Banyak juga anak-anak seusianya mencari-cari pasangan mereka dengan bingung di balik topeng-topeng mereka.

Dan dia hanya duduk diam di sebuah kursi di sebuah pojok yang tak begitu terlihat—menikmati alunan lembut dari sang gramofon. Gadis kecil itu enggan berbaur dengan keramaian yang memang tak begitu disukainya. Kak Artois sudah pergi meninggalkan dia dengan sebuah kata maaf kemudian menghampiri sosok seorang gadis di dekat gerbang masuk—menggandengnya ke tengah dan mereka kini berdansa dengan pasangan-pasangan prefek lainnya.

Kristal abu-abu mudanya terus memperhatikan kedua pasangan yang terlihat begitu nyaman bersama itu. Gadis kecil itu bisa melihatnya dari gestur yang ditunjukkan oleh sang prefek saat menggandeng dan memeluk gadisnya. Di matanya, kedua orang tersebut terlihat seperti Pangeran dan Putri dalam buku-buku dongengnya. Dia tersenyum kecil melihat gestur sang prefek yang menjadi begitu rileks di dekat gadisnya. Dalam diamnya, gadis kecil itu mendoakan kebahagiaan kedua sejoli itu.

Memang, dia tak tahu apa-apa soal cinta. Benak mudanya masih belum bisa mencerna segala partikel rumit yang terkandung dalam sebuah kata cinta. Yang dia tahu hanyalah, dia menyayangi sang prefek lebih dari seorang kakak tapi itu juga tak bisa disebut sebagai cinta. Beda dengan rasa sayangnya pada Challaza atau Rayearth. Mungkin karena momen yang dilewati gadis itu bersama sang prefek telah mengubah pandangannya terhadap sesuatu yang besar dalam hidupnya. Ya, dia bisa menerima keberadaannya di Ravenclaw berkat seorang Artois muda.

Dia masih bisa merasakan kehangatan lindungan yang diberikan oleh sang prefek saat menggendongnya dari danau menuju Hospital Wings, dia masih ingat semua kata-kata yang diucapkan Artois muda kepadanya. Dia masih ingat semuanya dan hal itu membuat dia semakin menghormati dan menyayangi sang prefek. Spesial. Mungkin itu kata yang tepat untuk menjelaskan arti seorang Artois muda bagi Belle kecil.

Sepi.

Bosan.


Gadis kecil itu tak tahu siapa pasangannya yang memegang nomor undian 85, dia juga tak berniat mencari. Dia masih asyik memperhatikan sang prefek kesayangannya berdansa. Perlahan gadis kecil itu berdiri—meletakkan nomor undiannya di atas kursi yang tadi ia duduki dan tanpa sadar mengikuti gerakan kedua sejoli yang sedang dilihatnya. Gadis kecil itu berdansa dengan 'pangeran' ilusinya sendiri. Sedikit berharap yang ada dalam pelukan sang prefek adalah dirinya. Dengan gemulai, kedua kakinya melangkah mengikuti irama musik, berputar dengan gerakan yang lembut. Setidaknya, rasa sepi dan bosan yang tadi ia rasakan sedikit menguap. Tidak buruk juga berdansa sendirian.



Penampilan Belle hari ini

Label:






Jumat, 13 November 2009 @ 23.20
`Berburu Naga Kerdil

NABELLE

Naga.

Dragon.

Ryuu.


Kau tahu betapa besar rasa ingin tahu gadis kecil bernama Nabelle Marion Elsveta ini terhadap makhluk sihir yang disebut Naga? Iya, naga yang ada di buku-buku dongeng anak-anak dan juga di film-film kartun. Naga yang gagah, besar dan bisa menyemburkan api itu. Sangat besar. Yeah, sangat besar rasa ingin tahu gadis itu. Terutama sejak ia mengetahui bahwa di dunia sihir benar-benar ada naga sungguhan, gadis kecil ini seringkali bermimpi bertemu dengan naga. Ditambah lagi, saat dia membeli tongkat sihirnya di Diagon Alley, dia mendapat tongkat sihir dengan inti nadi Naga Kerdil. Sampai saat ini pun, gadis kecil itu sungguh penasaran dengan wujud asli seekor Naga Kerdil. Dia pikir semua naga itu besar seperti dinosaurus. Tapi ternyata ada yang kecil juga. Benar-benar seperti ayam. Ada yang besar dan ada yang kate—meski ukurannya nggak beda-beda jauh, sih.

Seharusnya Naga Kerdil itu lebih besar dari Pod—Miniatur Naga milik senior Devin. Mungkin seukuran anak anjing?

Karena itulah, saat ini gadis kecil itu kini berada di balik rak-rak buku tinggi di perpustakaan Hogwarts. Perlahan-lahan menyusuri barisan buku-buku dengan jemari kurusnya. Astronomi Populer, Ramalan Bintang, Cara Membuat Ramuan Cinta (?), Sejarah Quidditch. Kedua permata kembarnya sibuk mencari-cari buku yang mengisahkan tentang naga yang tak juga berhasil dia temukan. Perpustakaan itu sangat luas. Penuh dengan ratusan rak buku yang besar-besar. Gadis itu jadi ragu, bisakah ia menemukan rak yang penuh dengan buku tentang naga hari ini juga? Dia tak tahu dimana rak yang tepat berada, meski sudah bertanya pada petugas perpustakaan sebelumnya.

Gadis itu belum hendak menyerah. Meski ia cukup kesulitan untuk melihat judul-judul buku pada bagian atas rak. Seperti perpustakaan pada umumnya, di sana juga disediakan tangga beroda untuk memudahkan mereka yang hendak mengambil buku pada rak bagian atas. Gadis itu perlahan memanjat tangga tersebut. Penasaran hendak mengambil sebuah buku tebal berwarna merah di atas sana. Debu menyambutnya begitu tiba di atas. Permukaan punggung buku itu dilapisi debu yang cukup tebal, pertanda tak banyak orang yang meminjamnya. Gadis itu membersihkan buku tersebut dengan sapu tangannya. Kini terlihatlah goresan tinta emas yang tertulis disana. Ensiklopedia Naga. Ah! Ini buku yang ia cari-cari. Demi Merlin, akhirnya dia berhasil menemukannya. Dengan bersemangat, ia menarik buku tersebut keluar dari rak. Berat, keras, buku itu sepertinya terjepit begitu kuat oleh buku-buku lain di sampingnya. Gadis itu menggunakan kedua tangannya dan menarik buku tersebut sekuat tenaga. PONG! Berhasil. Buku itu kini ada di tangannya. Tak disadarinya bahwa berat buku itu membuat pijakannya di tangga jadi tak seimbang. Buku itu mengayun ke bawah, mendorong tubuh gadis itu ke belakang tanpa bisa ditahan.

GUBRAKKK!!

Gadis itu terjatuh dan dengan sukses membenturkan kepalanya pada rak buku di belakangnya. Semoga saja tidak membuat buku-buku disana terjatuh atau tamatlah riwayatnya.

"Ouch"

Buku tebal yang tadi diambilnya terlempar mengenai kaki seseorang. Ups, maaf.

*****
ARSHAVIN

Demi setiap potong diksi yang pernah mengalir, demi setiap perkamen yang pernah bertoreh deret-deret kalimat pewadah ilmu, dan demi setiap momen ketika konversasi serupa kenangan berarti dengan seseorang, aroma di sana terlalu ia kenal.

Arshavin Windstroke menyusuri lapisan ubin yang kental dengan selimut debu, melayangkan pandang sesekali pada kubik-kubik segi panjang berpetak teratur yang di dalamnya berpucukkan sampul-sampul tebal penuh sepuhan pengetahuan, lalu pandangan sewarna langit musim panas itu berpaling sejenak pada jendela berbingkai kayu di sampingnya. Terlalu banyak detik yang tersisa di balik lapisan transparan itu, rupanya. Sejauh lapisan teduh itu memandang, senja masih sangat jauh. Mungkin tertidur pada permukaan garis horizon yang samar-samar terpetakan langit, mungkin bahkan sudah mengintip di sisi bawah jendela dan sedang menunggu momen paling tepatnya untuk muncul tiba-tiba. Tidak peduli, sebenarnya. Kerlingan saja yang menjadi pembatas gesturnya, sampai garis imajiner yang tadinya bertumbukkan dengan permukaan mengilap jendela berbingkai eboni tersebut dibelokkan, kembali pada jalurnya semula.

Lurus, dan masih menjumpai sepi yang sama. Karena ini bukan tempat dimana kau bisa melontarkan canda dan kikikan ringan, karena ini bukan lahan stereotip tempat kau bisa mengisi perut ataupun mencurahkan pikiran secara verbal di antara sepuluh kepala, maka kebanyakan menghindarinya. Cukup manusiawi, memang. Lalu, apakah itu berarti bahwa yang memilih untuk menatah diri di dalamnya telah kehilangan insting kemanusiaannya? Tidak. Sama sekali tidak. Ini hanya masalah pilihan. Ada jutaan probabilitas yang tersedia untuk satu menit saja waktu luang, dan di antara tebaran tersebut, sang Windstroke muda memilih perpustakaan sebagai opsi tunggalnya. Terlampau sering. Ha. Entah apa ia membutuhkan cibiran ataupun rangkai pujian atas pemikiran bersudut pandang sempitnya itu, Arshavin memilih untuk mengalihkan atensinya pada alasan ia berada di sini. Langkahnya terajut lagi setelah membuang beberapa detik untuk memilih arah, ia kini menetapkan destinasinya pada suatu spot yang berjarak tiga rak dari tempatnya berdiri. Random.

Tadinya.

Dua detik ia terdiam, lalu kelopak matanya terpicingkan turun. Namun bukan karena menjumpai kebosanan di sana, bukan karena ia sedang bertumbukkan dengan momentum serupa anomali adegan. Itu, adalah perwakilan dari ekspresinya. Ya. Kakinya yang mendapatkan peran utama, sekarang—menerima bongkahan tambahan yang resmi membuat langkahnya terhenti dan alisnya berjengit. Tsk. Roman wajah yang samar menjengahkan emosi itu refleks berpaling pada benda asing yang tiba-tiba tersungkur ke arahnya tersebut, alisnya berkerut lebih dalam. Sebuah buku. Ketebalannya hampir mencapai setengah penggaris, sampulnya menjadi penarik selanjutnya bagi tubuh sang Ravenclaw muda sehingga ia kini merunduk; memungutnya, namun sebuah suara yang dilatari sopran khas anak perempuan membuat mata biru langitnya berpindah haluan. Erat-erat, ia menjumpai satu sosok asing di hadapan. Rambutnya pirang, tubuhnya kecil mungil, penanda lintangan usia yang terpaut jauh. Junior, mungkin. Sang pelaku?

Yang jelas buku ini tidak turun dari langit ataupun tersesat dari peraduan sebenarnya. Benar?

Ha.

Arshavin perlahan menggamit buku yang sudah menghabiskan detik-detik bersama buaian dingin lantai itu, menggamitnya erat selagi langkah pendeknya membawa tubuh berlapis jubah yang lisnya sebiru laut tersebut menuju satu titik; yang masih tersungkur berlatarkan sampul buku berbagai warna. Hitungan detik, ia tiba. Berhadapan. Aliran darah kehidupan milik sang Windstroke muda masih dingin di balik nadi, deras dalam kekonstanan yang membosankan bagaimanapun jenis emosi yang terwujud dalam otaknya, dan telapaknya yang kurus terulur perlahan dalam sekon selanjutnya.

Berdiri, Nona.

Hanya dalam benak, semua itu ternyatakan. Ia tidak terlalu pintar membuang-buang aksara, sayang sekali.

*****
NABELLE


Terakhir kali Belle terjatuh seperti ini adalah saat dia sedang belajar keseimbangan dengan Ms. Leona. Tiga buah buku tebal diletakkan di puncak kepalanya dan dia diharuskan turun dari tangga tanpa membuat buku-buku tersebut terjatuh. Pelajaran yang sangat sulit, bukan karena gadis kecil itu tidak mampu, tapi lebih karena bobot buku-buku yang diletakkan di kepalanya itu terlalu berat. Sepertinya Ms. Leona lupa bahwa Belle saat itu masih seorang bocah berusia 9 tahun. Alhasil, bukan hanya bukunya saja yang terjatuh—Belle pun dengan sukses ikut terjatuh bersama buku-buku tersebut, menggelinding sampai ke dasar tangga. Ajaibnya, gadis kecil itu sama sekali tidak terluka. Namun kali ini, Belle tidak seberuntung itu.

Lapisan debu yang berjatuhan bersama buku-buku korban bencana jatuhnya Belle itu membuat gatal indera penciumannya. Belle bersin beberapa kali sebelum akhirnya debu-debu itu tidak lagi menghujani dirinya. Bintang-bintang imajiner berputar-putar saat gadis kecil itu mencoba membuka mata, seolah-olah kedua matanya ditempeli kaleidoskop yang berputar-putar tanpa akhir. Belle mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya, sebelah tangannya bergerak memegang belakang kepalanya yang terbentur keras. Jemari kurusnya mengusap bagian kepalanya yang sakit, sebuah benjolan yang cukup besar kini hadir di disana memberikan rasa nyeri yang cukup membuat senewen.

"Sssh..." Gadis itu mendesis saat jemarinya tak sengaja menyentuh benjolnya. Puncak benjolannya itu sepertinya terluka, jemarinya merasakan sedikit lembab disana. Benar saja, ada sedikit noda darah di ujung telunjuknya saat ia melihatnya. Sial. Dia pasti terlihat sangat konyol dengan buku-buku menyelimuti bagian atas tubuhnya ini.

Tap tap tap—

—indera pendengarannya menangkap suara langkah kaki di dekatnya, semakin lama semakin dekat. Gadis kecil itu mengarahkan kristal abu-abu mudanya pada sosok pemuda yang kini berdiri di hadapannya dalam diam. Entah pemuda itu memang irit bicara atau memang bisu. Belle tidak tahu dan tidak hendak berkomentar. Apalagi dia mengulurkan tangan pada Belle. Itu artinya dia berbaik hati mau menolong, bukan? Gadis itu berasumsi kalau pemuda di hadapannya itu pasti adalah seniornya di Ravenclaw. Setidaknya dia merasa pernah melihatnya dan juga ada lis biru di jubahnya. Perlahan, gadis itu menyambut uluran tangan kurus seniornya itu. Mencoba menumpukan berat badan pada pegangan tangannya dan perlahan menapakkan kaki kanannya untuk berdiri. Hanya satu detik sebelum rasa nyeri yang amat sangat tiba-tiba menyerang kaki kanannya dan membuatnya berjengit kesakitan lalu kembali jatuh terduduk dengan wajah pucat. "Kakiku sepertinya terkilir." Gadis kecil itu menatap pemuda di hadapannya dengan senyum miris.

"Kakak tahu tentang naga?" Gadis kecil itu akhirnya memutuskan untuk membuka pembicaraan untuk memulihkan suasana kaku yang aneh antara mereka. Jari telunjuknya menunjuk pada buku-tebal-penyebab-bencana di genggaman sang senior.



*****
ARSHAVIN

Seperti serbuk bunga yang kali ini memilih untuk mengubur diri sampai musim mereka tiba, debu-debu di sana seakan beralih fungsi menjadi tebaran lembut tersebut. Ringan. Berpendar keemasan saat diterpa cahaya matahari dan mulai menghiasi udara sebagai tembok rapuh, mencari sudut-sudut kosong kayu jendela yang belum terjamah, mengikuti setiap langkah yang menyisir mereka dalam satu derap saja, dan bersikap begitu lemah ketika helaian dingin udara kembali memeluk butir-butirnya. Ruangan bersudut empat ini, sama. Disepuhi seremoni gemerlap yang familiar, dengan eksistensi pararelnya yang terlampau sempurna, merambati penglihatannya perlahan. Ya. Arshavin Windstroke dapat melihat sungai keemasan milik debu mulai berulir dan menjalin suatu pola anyaman di atas pucuk kepala sang gadis, melatari penuh-penuh keberadaan dua orang dengan jubah bersepuh warna biru yang masih terpakukan dalam pemikiran masing-masing—mengiringi lamunan, yang mungkin sama-sama tak berujung itu.

Ia tidak peduli.

Desibel-desibel suara di sekitarnya seolah kehilangan kemampuan untuk mengujarkan tugas mereka, sehingga hanya denging-denging milik sunyi yang ia jumpai dalam pemikiran satu arahnya. Bukan. Memang bukan waktunya ia terpaku dan mengulurkan tangan hanya karena refleks yang enggan bekerja sama. Ini juga bukan waktu yang tepat untuk menebarkan simpati tanpa alasan. Seharusnya. Dan alisnya turut naik perlahan setelah tangan sang gadis menggenggam telapaknya; mempertanyakan gaya tarik yang tiba-tiba memperkuat diri dan membuat punggungnya ikut turun secara refleks. Benaknya mencibir sejenak, tepat ketika ia berlutut di hadapan gadis berambut pirang itu, sedikit merasakan tautan rasa tak nyaman karena lagi-lagi pemikiran realisnya terseret pada sirkumtansi merepotkan yang tak pernah ia harapkan. Ck. Arshavin menarik telapak tangannya yang sempat menggenggam jemari mungil gadis Ravenclaw tersebut, sudut mata biru langitnya membaca deret kecil nama yang tertera pada jubah milik sosok di hadapan.

Nabelle Elsveta.

“Terkilir?” Kini frekuensi suara seolah mulai bermunculan kembali, saling tumpang tindih dalam ketergesaan yang berlebih, menghidupkan lagi pelataran di sana bersamaan dengan tutur kata datar milik sang Ravenclaw muda. Mata biru langitnya menatap lurus Elsveta sesaat, sampai kata-kata selanjutnya terdengar menerabas udara bersama intonasinya yang enggan berubah. “Bangkit dan cari Madam Pomfrey, kalau begitu.” Bibirnya terkatup rapat setelah kalimat tanpa nada itu. Dan yang Arshavin lakukan selanjutnya hanya mengulurkan buku bersampul keras yang sedari tadi ia genggam, bersiap untuk bangkit kembali sampai sebuah pertanyaan membuat lutut itu tetap bertumbukan dengan permukaan dingin lantai perpustakaan. Menahannya, dan tanpa sadar mata sewarna langit musim panas itu kini terpicingkan.

“…Naga?”

Satu gumaman pelan. Tatapan Arshavin kemudian berpindah pada sampul buku yang sedari awal ia genggam, memindai foil keemasan yang mematri judul tebal di sana—dan dua kakinya perlahan bersila di depan Elsveta. Ada dua frasa yang tanpa sadar ia batinkan dalam pikirannya, sebelum pada akhirnya sang Windstroke muda mengangkat dagu dan kembali menatap binar abu-abu muda milik sang junior yang bermahkotakan surai pirang tersebut. Ensiklopedia Naga. Ha.

“Sebegitu ingin tahunya—sampai mencelakakan diri sendiri?”

*****
NABELLE


Senior di depannya ini sepertinya tipe anak laki-laki yang irit bicara dan irit berekspresi—mungkin juga irit bergerak. Well—setidaknya itulah yang ditangkap oleh pikiran polos seorang gadis kecil bernama Nabelle Marion Elsveta itu. Sedari tadi Belle amati, senior bernama Arshavin Windstroke itu hanya mengangkat alisnya perlahan tanpa ekspresi, mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri lalu berlutut di hadapannya. Permata biru langitnya yang indah itu pun seolah segan menuturkan kalimat-kalimat yang mengalir dari sungai hatinya.

"Terkilir?"

Pertanyaan seperti itu seharusnya diucapkan dalam ekspresi penuh kecemasan, bukan? Bukan dengan nada datar seperti yang keluar dari bibir senior di hadapannya ini. Apalagi yang terjatuh adalah seorang anak perempuan mungil berambut pirang berombak seperti boneka ini *narsis plakk*. Permata biru langitnya menatap Belle sesaat sebelum kemudian menyuruhnya bangkit dan mencari Madam Pomfrey—masih dengan nada datar yang sama.

Huff—berdiri dibantu kakak saja aku tak mampu. Apalagi mencari Madam Pomfrey?

Gadis kecil itu menghela napas dan hanya tersenyum menatap seniornya, kristal abu-abu mudanya membalas tatapan sang biru langit seolah ingin mengatakan ketidakmampuannya melakukan apa yang diusulkan pemuda itu. Lagipula, dia masih ingin menyelidiki isi dari buku yang kini ditatap oleh senior Arshavin—Ensiklopedia Naga. Pemuda itu perlahan duduk bersila di depan Belle. Duduk berarti dia bersedia menemani Belle mencari info tentang Naga, bukan? Hore—

“Sebegitu ingin tahunya—sampai mencelakakan diri sendiri?”

Cengiran di wajah gadis kecil itu semakin lebar sekarang meski ekspresi senior Arshavin masih tetap datar-datar saja saat menanyakan soal keingintahuannya itu. Belle yakin—meski wajah senior Arshavin seperti orang kram—senior Arshavin adalah orang yang memiliki kehangatan yang tulus. Buktinya dia tidak meninggalkan Nabelle sendirian di tengah tumpukan buku-buku dan debu. Diam-diam gadis kecil itu bersyukur yang ada di hadapannya sekarang bukanlah senior jahat seperti prefek ular rambut bulu kucing itu.

"Belle memang ingin tahu tapi tak berniat mencelakakan diri sendiri, kok. Bagian terjatuh itu tidak termasuk dalam rencana, Kak," ujar Belle panjang lebar dengan mata berbinar-binar, "Kakak tahu tidak, naga itu hewan sihir yang luar biasa gagah. Buktinya, di dongeng-dongeng dalam buku-buku cerita muggle, naga selalu dikisahkan sebagai hewan keramat atau pahlawan. Selama ini, Belle kira naga itu tidak benar-benar ada, lho. Sampai akhirnya Belle diberi tongkat sihir dengan inti nadi Naga Kerdil Islandia ini." Gadis kecil itu mengacungkan tongkat sihirnya dengan kebanggaan yang jelas terlihat di binar matanya.

"Tongkat sihir kakak, intinya apa? Sesuatu dari Naga juga? Kakak pernah melihat Naga secara langsung, tidak? Jinak atau tidak? Bisa ditunggangi seperti di dalam dongeng?" Pertanyaan mengalir bertubi-tubi dari bibir mungil si pemilik surai keemasan. Harap maklum, Belle benar-benar terobsesi dengan naga dan segala keajaibannya. Tanpa sadar, gadis kecil itu semakin mencondongkan wajahnya mendekati wajah senior Arshavin dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

*****
ARSHAVIN

Segenggam debu terasa menyebar dan menyaputi bayangan di sekitarnya, dengan tendensi yang biasa menggelitik beberapa indera penciuman para awam, namun ia tidak. Sudah cukup terbiasa dengan jutaan mikroskopis itu, Arshavin menghela nafasnya ringan; seolah ia sedang berada pada suatu sirkumtansi dimana hanya ada oksigen sebagai atmosfer utama, sedikit menyesap lagi bau apak jamur yang bercampur dengan bau khas kertas kekuningan di sana sementara matanya masih lurus menatap sang lawan bicara. Biru langit itu menggulir naik sejenak pada detik selanjutnya, teralihkan oleh anyaman keemasan yang terbentuk pada udara di atas mereka. Sungai debu itu kemudian terkoyak oleh sepoi tipis bentukan angin musim gugur, membuat tebaran-tebarannya hinggap pada ujung bahu dan terserpihkan sedikit di balik surai kecokelatannya, membawa serta atensinya untuk turun kembali saat binar mata cemerlang menghujani penglihatan Ravenclaw muda tersebut.

Hening. Arshavin hanya menanggapi penjelasan Elsveta dengan satu anggukan yang nyaris terlihat sama samarnya dengan kisik angin di sekitarnya, tidak terlalu peduli dengan bahan pembicaraan awal mereka yang bahkan sudah mulai membuyar di dalam sudut pengingat pada otaknya. Entahlah. Ia bahkan tidak tahu alasan mengapa langkahnya terhentikan dan bersila pada lantai yang debunya mulai menyamarkan garis pemeta ubinnya, yang jelas biru langit itu terpakukan absolut pada sampul tebal di dalam rengkuhan tangan. “Buku ini… milikmu?” kata-kata tanpa nada mulai bertemperasan menimpa frekuensi hening yang melingkupinya, ia mendengarkan setiap penjelasan sang gadis yang tiba lebih dulu—rupanya semua, memang bermuara di titik yang sama seperti judul berfoil perak di hadapan mata.

“Hm. Taring naga hitam Swedia.” Ia menarik kasual serutan kayu hitam dari balik saku jubahnya, mengibaskannya singkat di hadapan Elsveta dan menaruh lintingan berkilap itu di sampingnya dengan tatapan yang berpindah cepat; kembali pada bentangan deret-deret kecil tulisan dalam genggaman. Menelusurinya, membalik halaman-halamannya begitu ia sampai pada catatan kaki. “Keberadaan Naga selalu dijaga, dalam sangkar yang kuat, juga dalam penangkaran yang ditangani banyak ahli. Tidak akan mudah untuk kau jumpai.” Ada ilustrasi yang terpindai oleh matanya ketika jemarinya membalik helaian rapuh buku tersebut. Tangan Arshavin terhenti di sana. Ya. Naga hijau Wales, sisiknya seperti nama yang ia sandang, sementara percik api tergambarkan mulus melewati moncongnya yang tajam. Taring kecil disaputkan tinta sang pelukis dengan detil yang cukup menakjubkan, impresi anggun digambarkan sempurna lewat sapuan cat yang membentuk sepasang sayap lebar pada punggung naga tersebut. Tanpa sadar pandangan antusias lolos pada binar beku itu, walau redup.

“Ini. Spesies paling jinak, yang paling ramah terhadap manusia.”

Arshavin mengangkat dagunya, menyadari binar antusias yang lolos lebih kentara dari mata abu-abu Elsveta, dan mendorong sedikit buku tersebut ke sisi sang gadis Ravenclaw. “Tidak bisa kau tunggangi, tentu saja. Seramah apapun naga ini, ia akan menghabisimu dalam satu tarikan nafas—jika kau menyentuh satu inci saja sisiknya.” Ha. Mungkin juga, sebagai metode penghilangan nyawa paling efisien, mengingat satu cakar naga saja bisa mencabik jantungmu sampai otot-otot terkecilnya. Hm, apapun. Sang Windstroke muda menarik ujung dari halaman buku itu, menyingkapnya hingga halaman lanjutan terpampang. Ada suntikan rasa ingin tahu yang membuat pemuda berambut cokelat itu terus mengikatkan tatapan pada helaian yang ujungnya sudah mulai menguning tersebut. Rinai datarnya kembali mengudara, dengan sorotan lurus yang masih tertunduk pada bentangan sarat tulisan dan ilustrasi di sela-sela jemarinya. “Bukan pahlawan seperti dalam dongeng-dongeng tak-berdasar itu.”

Ia, Ravenclaw muda yang kini mendapati benaknya sedang mengulas satu garis senyum skeptis, mulai mematahkan mimpi. Yang memang tak pernah ada. Tak seharusnya ada. Benar?

*****
NABELLE

Tenang.

Sunyi.

Memang di dunia manapun, baik itu dunia sihir ataupun dunia muggle, tempat yang diberi label perpustakaan selalu merupakan tempat yang tenang dan sunyi. Itu sebabnya, banyak anak murid yang memanfaatkan ketenangan tersebut untuk belajar atau sekedar membaca buku. Meski lebih banyak lagi yang memilih opsi tambahan dari manfaat sebuah ketenangan; untuk beristirahat dan memejamkan mata—sebut saja, tidur.

Namun, di sebuah sudut di dalam perpustakaan besar milik sekolah sihir Hogwarts, dua orang anak elang terlihat sedang asyik membahas sesuatu di tengah serakan buku-buku yang berdebu. Si pemuda dengan jalinan aksara bertuliskan Arshavin L. Windstroke pada jubahnya tengah memangku sebuah buku besar yang tebal. Buku itu terbuka lebar, memperlihatkan berbagai informasi dan lukisan beragam jenis Naga di dunia. Gairah membuncah dari gerak tubuh pemuda itu meski ekspresinya sedatar batu pualam. Sementara si gadis kecil—Nabelle—dengan mata berbinar dan gestur yang jelas menunjukkan antusiasme, sibuk melontarkan pertanyaan demi pertanyaan pada pemuda yang duduk bersila di hadapannya.

Gadis kecil itu tak jarang mengeluarkan desah kekaguman setiap kali halaman demi halaman buku tersebut dibalik oleh jemari Arshavin—memperlihatkan lukisan sosok Naga yang selalu membuat gadis kecil itu terpesona.

"Buku ini milikmu?" Arshavin melontarkan pertanyaan dalam nada datar yang akhirnya tenggelam begitu saja dalam rentetan pertanyaan beruntun dari si gadis kecil. Seolah dalam kepala gadis kecil itu hanya ada Naga, Naga dan Naga saja.

"Hm. Taring Naga Hitam Swedia," ujar Arshavin kemudian, menanggapi pertanyaan Belle mengenai inti tongkat sihirnya. Dikibaskannya tongkat berkayu hitam itu di hadapan kristal abu-abu muda Belle yang masih berbinar semangat, lalu meletakan tongkat hitam tersebut di sampingnya. Sorot abu-abu muda si gadis kecil dengan bersemangat mengikuti ke mana tongkat hitam tersebut diletakkan dan memantekkan pandangannya kesana sembari tetap menyimak untaian kalimat yang mengalir dari bibir sang pemuda.

Perlahan, gadis kecil itu meletakkan tongkat sihir miliknya yang berwarna putih di hadapan tongkat hitam Arshavin—menyentuhkan ujung tongkatnya dengan ujung tongkat hitam si pemuda. Gadis kecil itu tertawa renyah—entah apa yang ada dalam pikirannya. Bisa kau tebak?

"Ini spesies paling jinak, yang paling ramah terhadap manusia."

Atensinya seketika teralih pada halaman yang ditunjuk oleh Arshavin. Kristal abu-abu mudanya menangkap satu sosok bersisik hijau yang anggun dan menakjubkan disana. Terpesona dengan sayap lebar yang begitu indah pada punggung makhluk ajaib tersebut.

"Hm, terlalu besar untuk dipelihara, Kak," ujar Belle menimpali. "Apakah bisa ditunggangi?"

Arshavin mendorong sedikit buku tersebut ke sisi Belle, seolah menyadari keinginan si gadis kecil untuk melihat lebih jelas. Risih dengan posisi duduk mereka, Belle beringsut pelan—menggeser kakinya yang terkilir untuk memindahkan posisinya ke samping Arshavin lalu menarik buku tersebut ke hadapan mereka. "Begini lebih nyaman bacanya, kan." Gadis kecil itu tersenyum memperlihatkan gigi-gigi putihnya pada sosok tanpa ekspresi di sampingnya.

"Tidak bisa kau tunggangi, tentu saja. Seramah apapun naga ini, ia akan menghabisimu dalam satu tarikan nafas—jika kau menyentuh satu inci saja sisiknya. Bukan pahlawan seperti dalam dongeng-dongeng tak berdasar itu."

Belle terdiam menyimak kata demi kata yang tertutur dari bibir Arshavin—mulutnya ternganga. Nada antusias sejenak terdengar dari intonasi suara pemuda itu meskipun samar—membuat Belle tersenyum lebar sekalipun kalimat akhir sang biru langit mematahkan mimpinya. Sedikit. Bukan Belle jika hal sepele seperti itu saja membuatnya sedih atau kecewa berlebihan. Gadis itu menghela nafas sambil menatap lukisan Naga bersisik hijau tersebut.

"Sayang sekali, ya. Padahal Belle ingin mencoba terbang dengan menunggang Naga, lho. Pasti akan terlihat keren! Oh ya, Belle pernah baca buku tentang seorang pengurus Naga. Orang itu hebat sekali ya, berani berdekatan dengan Naga yang begitu besaaaarrr," ujar Belle panjang lebar sembari merentangkan kedua tangannya ke atas untuk menunjukkan besarnya ukuran Naga dalam imajinasinya.

Gadis kecil itu terdiam sesaat, membiarkan angin yang berhembus masuk dari jendela di dekatnya mengayunkan surai keemasannya. Belle teringat pada sesuatu yang tiba-tiba terbersit di benaknya, alasan sesungguhnya mengapa gadis kecil itu bisa berada di ruangan tersebut bersama dengan Ensiklopedia Naga yang membuatnya terkilir.

"Ahhh.. berarti Belle tak bisa meminta hadiah Naga pada papa Silver Claymer, dong," gumamnya dengan volume cukup keras sambil menggigit ujung jari telunjuknya. Keningnya sedikit berkerut. Perlahan sorot abu-abu mudanya kembali menatap kristal biru langit di sampingnya dengan ekspresi penasaran. Gadis kecil itu memonyongkan bibirnya.

"Kak Arshavin, memangnya tak bisa ya, Naga dibonsai seukuran anak anjing?"

Seringai nakal nan polos kini terlukis di wajah mungil yang dibingkai oleh surai keemasan itu, menanti jawaban dari pemuda berwajah datar di hadapannya. "Hehe."

*****

ARSHAVIN

Pada akhirnya, ia memang menikmati jengkal tipis kontemplasi itu. Setiap helaian buku yang tersibak oleh jemarinya menjadi pusat dari atensinya yang sebenarnya nyaris terlihat kosong karena dominasi tatapan biru redupnya, suaranya yang seolah kehilangan determinasi untuk sekedar mengungkapkan ekspresi bahkan kadang meloloskan sedikit antusiasme lewat paparan kata yang sedikit bernada. Tadi, keganjilan tersebut menyeruak. Dan masih. Arshavin Windstroke setidaknya masih memiliki cukup alasan untuk tetap berada di sana, mengesampingkan fakta bahwa tujuan awalnya terlupakan sempurna, namun paparan ilustrasi dan deret-deret kecil penjelasan di bawah kotak bersepuh warna klasik yang menguntai gambar berbagai entitas bersisik kokoh, dengan sukses menjadi pengikat bagi langkahnya.

Tirai debu masih menjadi dinding kasat mata yang rapuh di antara jarak pandang sang Windstroke muda. Kilap-kilapnya seperti tercerabutkan dari bola cahaya matahari yang jauh mengawang di atas kepala mereka; menyepuhkan titik-titik sewarna emas di udara, lalu jatuh perlahan, memeluk garis-garis ubin yang dingin sementara pandangannya tak melintangkan perhatian yang berarti akan itu semua. Sejak awal mungkin ia memang tidak pernah peduli. Seperti apa pelataran yang tertangkap sorot biru langitnya, atau seperti apa garis senja yang mengintai di balik jendela sekarang—keberadaannya di perpustakaan, terlingkupi oleh deret-deret eboni yang dibentuk sebagai rak hitam bersaput debu dan terjejali penuh oleh literatur pada sekat-sekatnya, dengan buku bersampul kulit tebal dalam genggaman, seolah sudah lebih dari cukup untuk membuat rantai perhatiannya terbelitkan untuk jam-jam yang tak-terhitung. Well. Ini memang bukan perpustakaan keluarganya yang beratapkan kubah sihir dan dijejali oleh enam puluh tiga bahasa pengiring di balik raknya. Tidak ada jilid tebal perkamen yang menjabarkan hasil penelitian Ptolemy dalam bahasa Yunani, tidak ada helai kekuningan yang di dalamnya berpatri rapalan mantra pemanggil entitas sihir dan ilustrasi pentacle-pentacle berseni. Sama sekali.

Namun, justru kenihilan dari sesuatu yang biasa baginya—pada akhirnya akan menciptakan sesuatu yang baru, benar?

Dan kali ini, warna hitam, ekor-berduri Hungaria, jemari Arshavin tertahan di sana.

“Mungkin kau bisa menunggangi Naga—” ia masih tidak sendiri, suara itu kini berada di sampingnya dan menjadi salah satu pusat interaksi sang pemuda, sementara tatapannya bergeming pada inci-inci sepuhan kuas yang membentuk roman klasik dari hentakan sayap besar; membingkai punggung kokoh dari sang Naga hitam dalam ilustrasi. “—kalau kau bersama-sama dengan pengurus Naga. Hmn, entahlah. Kurasa memang seharusnya mereka yang paling kompeten di bidang itu.” Kadang kenaifan Elsveta membuatnya mencibir dalam hati, sekaligus tak lebih berarti untuk mengenyahkan atensinya terhadap pertanyaan-pertanyaan sang gadis. Ketidaktahuan membuat Arshavin ingin menyelesaikannya… seperti ketika naïf mendominasi konversasi, atau seperti ketika kebodohan menggelegakkan darah di ujung telinganya—ha, yang berlaku dalam sirkumtansi kali ini, juga deret-deret waktu selanjutnya, adalah pernyataan pertama; tentu.

“Di…bonsai?” Jeda. Kata diuntai dengan tingkat kecepatan pengejaan yang terdegradasi, benaknya menggulirkan sarkastik yang lebih pekat dari apapun ketika tanda titik mengakhiri, sementara rahangnya di luar sana hanya mengeras ketika pada akhirnya sang Ravenclaw muda mengangkat kepalanya dan kembali menatap Elsveta.

“Hei…”

Hening untuk detik-detik yang terasa sangat mikro.

“Naga itu berbeda dengan anak anjing, Nona.”

Dan pada fragmen selanjutnya, sebuah senyuman tipis lolos, memecahkan beku dalam roman wajah Arshavin Windstroke sejenak, sebagai manifestasi paling samar dari setiap apresiasi dangkalnya terhadap kepolosan sang gadis. Ya. Kau akan menemukan jarak yang tipis antara penghinaan dan sedikit penghargaan, sekarang. Entah memakai dasar macam apa, benaknya tak ingin berputar-putar lebih lanjut untuk sekedar menganalisis sesuatu yang singgah hanya sepersekian detik dalam ceruk pemikirannya itu. Hmph. “Kurasa, makhluk sihir tidak akan pernah bisa digugat oleh apapun.” Garis yang membingkai letupan api milik Naga ekor-berduri itu kini menjadi arah tatapannya lagi. Lalu, spasi kosong pada udara menyeruak pelan, yang kemudian merantai dengan gumamnya sendiri. “Tapi—tanyakan pada kenalanmu saja, Claymer itu.”

*****
NABELLE

Tahu tidak?

Terlalu banyak membaca dan menonton kisah dongeng anak-anak sepertinya membawa dampak pada kehidupan nyata. Atau, dongeng tersebut justru diambil dari kenyataan yang ada sehingga mereka saling berkaitan? Mungkin opsi yang kedua adalah yang paling masuk akal, dongeng itu hasil karya manusia, bukan? Fantasi-fantasi itu seharusnya berasal dari khayalan manusia yang berakar dari kejadian-kejadian nyata. Entahlah.

Yang pasti saat ini, pemandangan yang tersaji di hadapan si gadis kecil Elsveta membuatnya teringat pada sebuah adegan dalam dongeng-dongeng yang menghadirkan pangeran tampan di dalamnya. Gadis itu tak menyangka bahwa pertanyaannya mengenai kemungkinan seekor Naga dibonsai malah membuat pemuda di hadapannya tersenyum. Memang hanya sebuah senyuman tipis tapi senyum itu berhasil memberikan ekspresi pada wajah tampan Arshavin yang biasanya terlihat datar. Ditambah lagi dengan titik-titik debu yang berkilau tertimpa sinar sang raja cahaya, beterbangan di antara kedua entitas muda itu dan membuat ilusi pada pandangan Belle sehingga gadis kecil itu melihat wajah Arshavin dikelilingi cahaya yang hangat saat tersenyum. Sekelilingnya terasa sunyi tiba-tiba, indera pendengarannya seolah ditulikan selama beberapa detik. Tanpa sadar, gadis kecil yang naif itu ternganga dalam pesona selama beberapa saat sebelum kemudian dia menyunggingkan senyum lebar dan serta merta memberi pelukan singkat pada pemuda di hadapannya.

"Kakak kalau tersenyum terlihat seperti Pangeran!" ujarnya kemudian masih dengan senyum lebar. "Belle suka kakak, deh!"

Gadis kecil itu melontarkan pujian spontan yang begitu saja tersirat dalam benaknya tanpa memikirkan reaksi dan pendapat dari si pemuda atas tingkah lakunya barusan. Belle hanya melakukan apa yang dia inginkan secara spontan. Lagipula, siapa yang tak suka dipuji ataupun diberi pelukan hangat?

Gadis kecil itu kembali mengalihkan perhatiannya pada halaman buku yang kini menunjukkan lukisan seekor Naga dengan sisik keemasan dan bertubuh montok dengan tinggi kira-kira dua kali ukuran tubuh manusia dewasa. Sayap kecil yang terlihat timpang dengan ukuran tubuhnya melekat di punggung Naga tersebut. Kedua kristal kembarnya memperhatikan untaian aksara yang tertulis rapi di atas lukisan tersebut, Naga Kerdil Islandia. Belle sekali lagi terpesona, jemarinya menelusuri bentuk tubuh sang Naga dalam lukisan dan menatap penuh rasa kagum. Perlahan bibirnya bergerak menggumamkan terimakasih pada sang Naga yang mungkin saja telah memberikan nadi untuk tongkat sihirnya. "Terimakasih, Tuan Naga Kerdil."

Tatapan kedua kristal kembarnya kini kembali menatap langit milik Arshavin dengan binar-binar kepuasan. Dikecupnya sekilas pipi kiri si pemuda yang duduk di sampingnya sebagai ucapan terimakasih karena telah menemani dirinya lalu membisikkan sebaris kalimat naif yang bagi si gadis kecil adalah sebuah rahasia besar yang selalu disimpannya dalam hati, "Karena kakak sudah berbuat baik padaku, Belle beritahu sebuah rahasia. Silver Claymer itu bukan cuma kenalan Belle. Kalau Belle sudah besar nanti, Belle mau jadi istrinya. Kakak jangan bilang siapa-siapa, ya."

Dengan wajah memerah, gadis kecil itu menutup buku tebal bersampul merah yang sejak tadi menjadi pusat atensi dirinya dan Arshavin. Belle ingin meminjam buku itu dan membacanya lagi di kamar, nanti. Hari kini sudah mulai petang, waktu makan malam sebentar lagi tiba dan Belle tak mau terlambat ke Aula Besar. Apalagi dia harus terlebih dahulu ke tempat Madam Pomfrey untuk mengobati kepala dan kakinya yang terkilir. Sekali lagi, gadis kecil itu menatap pada Arshavin, "Kak, tolong bantu Belle ke tempat Madam Pomfrey, ya."

*****
ARSHAVIN

Sebuah pelukan.

Sebuah pelukan singkat menjadi awal dari perubahan roman ekspresinya yang kini sedikit memaparkan keterkejutan samar. Senyumannya menjadi citraan yang buram hanya dalam beberapa detik. Arshavin Windstroke sekarang hanya tercenung dalam kontemplasinya yang hampir tergoyahkan ketika lingkupan hangat dari lengan Elsveta menyelimuti sisi lehernya. Dan selanjutnya, yang terbentang di sana selain tirai debu dan bau apak perkamen adalah hening. Ia tidak membalas apapun. Ia tidak menunjukkan reaksi apapun selain katupan bibir yang melekat rapat dan mata biru langitnya yang memicing lambat. Dua tangannya masih menggenggam sisi tebal dari buku ensiklopedi yang kini tergolek kaku di antara lengan kurusnya, sementara sang gadis Ravenclaw melontarkan sebuah… pujian, mungkin. Atau semacam itu. Apapun. Ravenclaw muda itu tidak mengerti. Tidak ingin mengerti dan peduli, namun mau tak mau ia mengangguk samar tepat ketika rengkuhan tersebut menyingkir dari tubuhnya. Masih ada jeda-jeda yang tak ingin menjelaskan, masih ada rangkaian kata yang enggan menyingkir dari ujung lidahnya, sebenarnya.

Ragu.

Kadang sang Windstroke muda sama sekali tidak mendapatkan alasan apapun untuk menjabarkan setiap motif dari tindakan suatu entitas bernama wanita. Tidak pernah. Seperti kali ini, seperti ketika sebuah rasa suka terucapkan dan seolah melekat dalam membran telinganya…entahlah. Ia tidak mampu menemukan apapun yang menjadi alasan dari kata-kata Elsveta itu, sehingga pada akhirnya Arshavin hanya terdiam. Memilih untuk turut memindai lembaran-lembaran yang kini sudah berganti tuan—Elsveta terlihat memancarkan sebentuk atensi yang cukup pekat ketika jemarinya singgah pada suatu titik. Naga Kerdil Islandia; inti utama dari sang tongkat berwarna putih yang masih bersentuhan dengan tongkatnya. Literatur itu asing. Dan rasa asing dalam ketidaktahuan, entah sejak kapan, selalu membuat Arshavin berusaha beberapa kali lebih keras untuk mengatasinya.

Well.

Hogwarts berbeda dengan jejaring berdebu yang biasa ia jumpai pada sebuah ruangan yang lengkung atapnya berkubahkan langit seperti di kantor utama Blackhawk. Ia tidak menemukan sepuhan buku yang memuat jampi terlarang dan pengikat jin yang kuat di sini. Ia tidak pernah menemukan judul-judul berbahasa selain Inggris, ia tidak pernah menemukan deret-deret beraksara mungil yang memuat teori dasar penciptaan roh dan sebangsanya—dan baginya itu bukanlah suatu kekurangan. Ada hentakan buku yang mengatur diri seolah punggungnya bersaputkan sayap imajiner, ada rangkaian teori yang menjadi dasar dari suatu sejarah para penyihir dan berisi faham-faham ringan bercetak rapi—selalu ada sesuatu yang bisa ia ambil dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Mungkin hari ini, juga. Sama. Selalu seperti itu, bagaimanapun sirkumtansinya.

Pandangannya masih tersita pada lembaran yang memuat ilustrasi bersaput warna kuning keemasan itu, stagnan seolah merajut garis yang tidak terpatahkan, sesekali siluet jemari Elsveta tertangkap oleh mata biru langitnya ketika ia menurunkan dagunya, dan sebuah sentuhan pada pipinya menjadi satu-satunya alasan bagi Arshavin untuk mengangkat kepalanya perlahan. Lagi-lagi. Lagi-lagi sebuah sensasi yang familiar menauti perasaannya. Membuatnya teringat dengan seseorang; seseorang yang juga pernah mendaratkan kecupan pada suatu hari bersalju. Ya. Salju itu sendiri. Tsk. Matanya kembali memicing walau tak kentara, roman wajahnya tak berubah saat sebuah bisikan tiba dan menerpa gendang telinganya. Pikirannya jauh, menerabas keping yang mulai rapuh dalam ingatan. Pudar. Keping itu berwarna putih, hampir kelabu, dihiasi percik-percik secitra kapas yang jatuh dari langit.

Ah.

Sudah lama.

“Mm-hm. Baiklah.”

Hanya itu. Hanya itu jawaban paling nyata dari sang pemuda yang teriring bersama anggukan tipisnya. Arshavin perlahan meluruskan dua kakinya yang sudah cukup lama tertekuk. Beberapa detik kemudian ia sudah berdiri tegak, sedikit menepis beberapa debu mikroskopis yang singgah pada spasi-spasi hitam jubahnya. Lalu dagunya turun, terarah tepat pada sang sumber suara yang meminta bantuan. Ensiklopedi bersampul megah sudah tersegel oleh lingkupan lengan Elsveta. Seolah hari ini berakhir dengan bunyi kertas yang saling bertumpuk, namun tidak. Sama sekali.

Dan satu tangan kemudian terulur sebagai respon. Hampir identik, dengan suatu fragmen acak, ketika awal dari sebuah narasi digulirkan.

“Ayo.”

FIN

Label: