<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6077693976780833028\x26blogName\x3dNabelle+Marion+Elsveta\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://nabellemarion.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://nabellemarion.blogspot.com/\x26vt\x3d-4581477069342913430', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
profile journal tagboard affiliates credits
Disclaimer

I'm currently 13 years old


Belle's Diary


Dear Diary ♫

Memorable Stories

Contents

Belle's Bio ♫
Surat Tahun Pertama ♫
Kontrak Sihir ♫
Seleksi Asrama ♫
On A Rollercoaster Ride ♫
Berburu Naga Kerdil ♫
Half Alive ♫
It's Fun, Huh? ♫
I Want My DRAGON ♫
She's a Pedophilia Virus ♫
Pieces of Memory ♫

Archives

Recent Posts
The Last Puzzle (1st Person PoV)
The Last Puzzle
The Prince and The Flower Fairy; 1986
Pieces of Memory (Belle's PoV)
She's a Pedophilia Virus
Transfigurasi Kelas 2
Herbologi kelas 2
Harmonika Gisell
Gerbong 5 : Kompartemen #13
I Want My DRAGON! (Belle Pov)


Date back by month
November 2009
Desember 2009
Januari 2010
Februari 2010
Mei 2010
Juni 2010
Selasa, 15 Juni 2010 @ 10.26
`The Last Puzzle (1st Person PoV)

Elsveta Castle
Novgorod, Russia. January 10’ 1980


Langit sore itu sama dengan langit pada sore-sore lainnya. Didominasi dengan warna biru yang lembut bagaikan susu ditambah dengan semburat kemerahan dari cahaya matahari yang akan segera menunaikan tugasnya. Aku berbaring terlentang di atas hamparan rumput hijau yang lembut. Rok terusanku pun terbentang melebar di atasnya dengan beberapa helai rumput patah menempel di permukaan yang berenda. Aku sedang menatap lurus ke langit tepat pada satu gumpalan awan yang sejak beberapa menit lalu menggoda bola mata perakku untuk terus memandangnya. Aku tersenyum lebar dan mengangkat sebelah tanganku tinggi-tinggi dan menunjuk gumpalan awan itu dengan bersemangat. Mencoba menarik perhatian kakak sepupuku, Zeus, yang berbaring di sampingku.

“Lihat, Zeus! Belle menemukan beruang!” ujarku dengan nada riang. Kedua bola mataku masih terpancang kokoh menatap sang beruang putih. Tak mau repot-repot memastikan apakah Zeus menoleh ke arahku atau tidak. “Awannya benar-benar berbentuk beruang!” ujarku lagi. Tak sabar menunggu Zeus mengiyakan apa yang kulihat. Butuh waktu satu menit sampai akhirnya anak laki-laki berambut pirang platina itu bersuara.

“Yang mana, sih?” tanya Zeus dengan nada penasaran lalu memandangiku dengan tatapan heran.

Aku tahu, Zeus sering berpikir bahwa aku adalah anak yang aneh dengan sejuta khayalan dan imajinasi yang takkan pernah tergapai olehnya. Aku tahu tentang itu dari Mum. Zeus pernah mengatakan tentang pemikiran tersebut pada Mum dan Mum mengatakannya padaku. Aku pun akhirnya melepaskan pandanganku dari si beruang putih dan menoleh untuk menatap bola mata Zeus yang sewarna dengan milikku.

“Zeus payah,” ujarku sembari menurunkan tanganku dan meletakkannya di atas perut. Bibirku mengerucut ketika aku mendengus kesal menatap kakak sepupuku yang begitu minim imajinasi. Entah sudah berapa kali hal semacam ini terjadi. Seharusnya aku sudah siap dengan reaksi Zeus. Sulit sekali berbagi hal-hal yang menyenangkan jika orang yang kau ajak bicara bahkan tak paham apa yang sedang kau bahas. Berbeda dengan ayahku, Boris, yang senantiasa memahami apa yang kuucapkan. “Padahal kali ini benar-benar berbentuk beruang,” keluhku lagi. Kuangkat tubuh mungilku ke posisi duduk. Kulipat kedua kakiku untuk menjadi penopang kedua tangan dan kepalaku. Bisa kulihat dari sudut mataku kalau Zeus pun mengikuti apa yang kulakukan.

“Maaf,” ujar Zeus. Dia menepuk-nepuk kepalaku dengan lembut lalu dia terbatuk. Zeus hanya satu tahun lebih tua dariku. Mum bilang, Zeus datang ke kastil tempatku tinggal ketika usiaku masih dua tahun dan tinggal bersama kami semenjak itu. Tubuh Zeus lemah sejak dulu. Dia mudah sekali terserang flu. Sekarang setelah lima tahun berlalu, aku bahkan tak pernah melihat paman dan bibiku datang menjenguk Zeus. Apakah mereka tak merindukan Zeus? Aku tak bisa membayangkan tinggal di tempat orang lain tanpa bisa bertemu kedua orangtuaku. Tapi, Zeus sendiri sudah tak ingat seperti apa wajah kedua orangtuanya. Kedua orangtuaku sudah menjadi pengganti orangtua baginya.

“Kau tak apa-apa, Zeus?” tanyaku cemas memandangi Zeus yang masih saja terbatuk. Aku tak suka melihat Zeus sakit dan terbaring di atas tempat tidur. Aku lebih suka Zeus yang sehat karena Zeus yang sehat tahu banyak sekali permainan yang menyenangkan. “Sebaiknya kita masuk saja ke dalam. Sebentar lagi waktu makan malam tiba,” ajakku. Kakak sepupuku tersenyum. Dia mengangguk setelah mengatakan bahwa dirinya tidak apa-apa meski aku tahu itu hanya untuk membuatku tenang saja. Zeus selalu begitu.

Label:






Minggu, 16 Mei 2010 @ 21.13
`The Last Puzzle

Elsveta Castle
Novgorod, Russia. January 12' 1980


Langit sore itu sama dengan langit pada sore-sore lainnya. Didominasi dengan warna biru yang lembut bagaikan susu ditambah dengan semburat kemerahan dari cahaya matahari yang akan segera menunaikan tugasnya. Seorang gadis kecil berambut pirang panjang terlihat sedang berbaring di atas hamparan rumput hijau dengan kedua bola mata sewarna perak menatap terpaku pada segumpal awan. Kedua sudut bibirnya tertarik naik membentuk sebuah lengkung senyum yang manis ketika sebelah tangannya terangkat dan telunjuknya teracung bersemangat menunjuk-nunjuk ke langit. Gaun putihnya yang melebar terbentang di atas hamparan hijau rerumputan. Beberapa helai rumput patah terlihat menempel di permukaannya yang berenda. Namun gadis kecil itu tak peduli.

"Lihat, Zeus. Belle menemukan beruang!" ujar Belle kecil ceria. Telunjuknya tetap menunjuk ke arah gumpalan awan yang sedang dipandangnya. Kedua bola mata peraknya bahkan tak repot-repot bergulir ketika bocah berambut pirang platina yang dipanggilnya segera datang dan berbaring di sisinya. "Awannya benar-benar berbentuk beruang!" ujarnya lagi. Zeus, si kakak sepupu turut menatap ke langit dengan kening berkerut. Kedua alis pirangnya bertaut dan bibirnya mengerucut. Bocah itu nampaknya tidak melihat apa yang dilihat si gadis kecil. Di matanya yang terlihat hanya segumpalan awan yang lebih terkesan seperti gula-gula daripada beruang. "Yang mana, sih?" tanya Zeus penasaran. Ia sungguh-sungguh tak melihat beruang yang ditunjuk oleh adik sepupunya itu. Terkadang bocah berambut pirang platina itu terheran-heran dengan daya imajinasi yang dimiliki oleh gadis kecil yang berbaring di sisinya tersebut. Belle seringkali terasa seperti memiliki dunianya sendiri dan tanpa sadar tenggelam di dalamnya begitu saja. Ke tempat yang tak terjangkau oleh Zeus.

"Payah. Yang itu, tuh. Masa Zeus tak bisa melihatnya?" Belle menoleh dan menatap gusar pada Zeus. Ia menurunkan tangannya yang lelah menunjuk-nunjuk. Seberapa pun semangatnya ia, Zeus tetap saja tak melihat apa yang ia lihat. Selalu saja begitu. "Padahal kali ini benar-benar berbentuk beruang," keluh gadis kecil itu lagi.

Label:






Sabtu, 20 Februari 2010 @ 10.01
`The Prince and The Flower Fairy; 1986

Usianya sekarang sudah tiga belas tahun dan dalam beberapa bulan akan menjadi empat belas. Gadis itu masih tetap gadis kecil polos yang disayangi dan dimanja semua orang. Ia tidak berubah banyak dalam hal karakter namun perubahan pada tubuh femininnya sudah mulai terlihat. Tubuh mungilnya tahun ini bertambah sekitar tiga sentimeter, pinggangnya sudah berbentuk dan dadanya sudah tidak rata lagi. Rambut pirangnya yang dulu dipotong sebahu, kini sudah tumbuh memanjang dan berkilau dengan indah ketika angin sesekali melambaikannya. Ia sudah memasuki usia remaja meski ia masih seorang Nabelle Elsveta yang polos dan menyukai hal-hal berbau fantasi.

Belle duduk di salah satu kursi di dekat jendela bar kumuh Leaky Cauldron—tempat favoritnya—sambil menyesap butterbeer. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah buku cerita bersampul biru muda yang mengisahkan tentang kisah cinta seorang pangeran pada peri bunga yang tinggal di halaman istananya. Boris, si kucing yang dipercaya sebagai jejadian naga kerdil, duduk diam di sisi meja—tertidur dan sesekali mendengkur. Tubuh kucing itu sedikit bertambah besar meski tidak terlalu kentara dan tetap tidak ada tanda-tanda bahwa Boris suatu hari akan menyemburkan api dari hidungnya. Belle tetap tak mau mengakui bahwa kucingnya adalah kucing biasa dan ia telah dibohongi oleh seorang pria yang ia suka yang memberikan kucing itu padanya tahun lalu.

Sepasang perak milik gadis itu menatap lurus pada teks-teks dalam buku yang sedang ia baca—tenggelam sepenuhnya dalam kisah petualangan dan cinta antara pangeran dan peri. Sesekali senyum terukir di wajahnya saat adegan dalam cerita itu menceritakan sesuatu yang manis, sesekali tawa renyah terdengar saat adegan lucu tersaji dan ia akan terdiam ketika adegan sedih yang ia baca. Melalui buku-buku yang ia baca, kebanyakan tokohnya mengalami cinta pada pandangan pertama, seperti halnya pangeran dan peri dalam buku yang sedang ia pegang sekarang.

Deskripsi mengenai perasaan yang dialami oleh peri dan pangeran, kadang membuatnya berpikir dan membandingkan dengan perasaannya sendiri pada Zeus. Banyak hal yang tidak terjadi pada dirinya seperti yang terjadi pada tokoh peri dalam buku. Ia tidak pernah merasa berdebar-debar apalagi bersemu merah jika memandang Zeus atau sekedar berada di dekatnya. Ia tidak merasa gugup ketika memeluk ataupun bermanja pada Zeus. Ia tidak merasa cemburu jika Zeus sedang bersama Emmy, tidak seperti tokoh peri yang marah-marah ketika pangeran berdansa dengan putri cantik dari kerajaan tetangga. Ia menyayangi Zeus, itu benar. Sejak awal mereka adalah saudara dan hubungan mereka yang berkembang menjadi pasangan kekasih terjadi begitu saja. Hanya karena ia terbiasa dengan keberadaan Zeus di dekatnya dan karena kepolosannya ia mengiyakan kata-kata Zeus bahwa mereka sebenarnya adalah pasangan kekasih. Dan ia mulai mengerti bahwa hubungan antara dirinya dan Zeus bukan cinta. Tak seharusnya mereka berpacaran.

Gadis itu meneruskan membaca bukunya, berpikir bahwa ia harus membicarakan masalah hubungan mereka dengan Zeus nanti. Air matanya menetes ketika pada bagian akhir buku itu menceritakan pengorbanan yang dilakukan peri bunga agar pangeran tetap hidup. Belle menutup buku ceritanya, meletakkannya di atas meja. Ia masih terpesona dalam kisah yang baru saja dibacanya. Kemudian ia meraih Boris ke dalam pelukannya. Kucing itu terbangun dan mengeong pelan, menatap nonanya dengan kedua mata birunya. Belle tersenyum dan menatap mata Boris, "Boris, Belle ingin merasakan cinta seperti yang dirasakan peri bunga itu. Siapa ya yang akan jadi pangeran untuk Belle?"



Monster-monster jahat itu mulai mengobrak-abrik negeri yang dipimpin oleh Pangeran Alexei. Gedung-gedung runtuh, mobil-mobil saling bertabrakan, mayat bergelimpangan di jalan—sungguh sebuah pemandangan mengerikan yang kini tersaji pada negeri yang terkenal dengan keindahannya. Pangeran Alexei berada di tengah-tengah itu semua, sedang berusaha memerangi para monster bersama dengan pengawal-pengawalnya. Satu persatu monster berguguran begitupun dengan para pengawal. Kini hanya tersisa satu monster dan sang Pangeran. Duel satu lawan satu.

Monster jahat meraung keras, membuat beberapa anak-anak yang sedang berlindung bersama orangtua mereka menjerit ketakutan dalam persembunyian mereka. Monster itu dua kali lebih besar dan lebih tinggi dari Pangeran Alexei. Mereka bertarung, pedang lawan cakar besar. Pangeran Alexei terdesak, luka pada kakinya membuatnya tidak bisa berdiri, pedangnya terlempar jauh darinya. Jelas, monster jahat itu dalam posisi menang dan sang pangeran dalam posisi kalah. Monster itu kembali mengayunkan cakar besarnya sambil meraung, Pangeran Alexei sudah tak mampu lagi menghindar. Ia pasrah apabila ia memang harus mati saat itu, ia akan mati demi negerinya. Pangeran Alexei memejamkan mata.


Kelanjutan dari kisah tersebut mungkin sudah bisa kau tebak. Saat Pangeran Alexei membuka mata, di hadapannya tergeletak peri bunga yang dicintainya. Monster jahat juga sudah lenyap dari pandangan. Luka yang diderita peri bunga teramat parah, ia melindungi sang pangeran dari serangan monster jahat dengan tubuhnya sendiri. Peri bunga itu melakukannya demi menyelamatkan pangeran yang begitu dicintai sehingga ia merelakan nyawanya sendiri. Peri bunga kemudian mati, wajahnya dideskripsikan terlihat cantik dengan senyum terukir.

Belle kembali tenggelam dalam kisah yang tersusun dari rangkaian kata dalam buku cerita miliknya. Buku itu mungkin sudah ditutup, tapi kesan dari cerita itu masih melekat dalam hatinya. Gadis itu terharu dengan keberanian peri bunga yang bersedia mengorbankan diri untuk seseorang yang dicintai. Ia tahu, ia cengeng karena menangisi tokoh dalam buku cerita. Tapi ia tak bisa memungkiri bahwa ia tersentuh dan ia ingin mengetahui bagaimana rasanya mencintai orang lain seperti cara peri bunga mencintai Pangeran Alexei. Rasanya seperti sebuah petualangan di pikirannya.

Ia menyandarkan kepalanya pada dinding di sisi kirinya, kedua tangannya memeluk Boris dan mengelus-elus bulu halus kucing itu—sesekali mengajaknya bicara. Kedua kelopak mata gadis itu terpejam, membayangkan sosok Pangeran Alexei dan peri bunga di benaknya. Sosok Pangeran Alexei yang terbayang di benaknya mirip dengan sosok Arshavin sedangkan sosok peri bunga tentu saja senior Ragnavald, kekasih Arshavin. Mereka berdua adalah pasangan paling serasi yang pernah ia lihat selama di kastil dan jangan lupa ada senior Dawne dan Maraschine yang sudah lulus tahun lalu. Saat di Pesta Akhir Tahun, senior Dawne dan Maraschine mempertontonkan kemesraannya. Ah, ngomong-ngomong soal itu, kakak-tak-berperike-kucing-an juga mesra sekali dengan Senior Janette saat itu. Juga Areski dan senior Pavarell yang berciuman di depan mata Belle. Kalau Jake, sih jangan dihitung. Ciuman antara cowok dengan cowok itu tidak bisa dikategorikan sebagai cinta. Jake juga pasti hanya becanda saat melakukannya.

Ternyata banyak juga Pangeran Alexei dan peri bunga di Hogwarts. Gadis itu memikirkan kemungkinan untuk bertanya pada Arshavin tentang perasaannya setiap kali bersama dengan senior Ragnavald. Apakah Arshavin berdebar-debar dan bersemu merah? Belle sungguh ingin tahu seperti apa rasanya jatuh cinta.

Atensinya teralih ketika seorang anak laki-laki tiba-tiba meletakkan sepiring waffle di mejanya dan menarik kursi di depan gadis itu.

“I beg your pardon, I never promised you a rose garden.”

Eh? Maksudnya? Apa salah orang?

Anak laki-laki itu memandangnya dengan tatapan ramah dan tersenyum sehingga gadis itu pun membalas senyumannya meski dengan ekspresi bingung. Jelas saja ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba anak laki-laki itu bilang bahwa ia tak pernah menjanjikan taman mawar pada Belle. Memangnya Belle pernah bertemu dengan anak laki-laki di hadapannya itu? Sepertinya tidak. Jadi, ia memutuskan untuk menunggu anak itu melanjutkan ucapannya.

“Would you still be a princess if your next-prince told you that sentence?”

Anak itu kemudian mendudukan dirinya, menyandarkan punggung dan salah satu lengannya pada sandaran kursi. Terlihat nyaman dengan cara duduk tersebut, tatapannya tak lepas dari wajah Belle. Gadis itu hanya terdiam, menelengkan kepalanya ke samping—mencoba mencerna maksud dari kata-kata anak itu padanya. Kalau pangerannya nanti menyakiti dirinya, apakah ia akan tetap menjadi seorang putri? Begitu maksudnya? Gadis itu tersenyum dan mengangguk.

"Yes. I will still be a princess. No matter what."

“Don’t be too imaginative. What’s in those book could kill you.”

Kalau kata Teresa dan Miss Leona, orang seperti anak laki-laki di depannya itu adalah tipe orang yang suka menghancurkan mimpi. Tak bisa dibilang jahat, hanya saja cara mereka berpikir berbeda dan mereka tidak menyukai mimpi seperti halnya Belle. Mereka akan berusaha membuat orang-orang yang menyukai mimpi untuk tidak lagi mempercayainya. Belle meremas roknya di bawah meja, ia merasa tidak nyaman dengan kehadiran seseorang yang memiliki pemikiran berbeda dengan apa yang ia suka.

"Memangnya apa yang salah dengan buku-buku cerita? Mereka takkan membunuh Belle, kok. Buku-buku itu justru memberikan cerita-cerita indah yang menghibur," ujar Belle sambil tersenyum lebar. Ia takkan kalah dengan penghancur mimpi. Kemudian seorang laki-laki lain datang, Belle tidak memperhatikan dengan seksama siapa. Yang pasti laki-laki itu pasti lebih tua, memakai baju coklat kotak-kotak dan memegang gitar. Sepertinya pengamen.

Ku bukan superstar, kaya dan terkenal
Ku bukan pengemis yang miskin dan melarat
Ku bukan bangsawan tapi ku bukan gelandangan
Ku hanyalah orang yang ingin dinistai


Belle terkikik mendengar lirik lagunya yang aneh. Dan kalau mendengar nyanyian lucu seperti itu, hanya satu orang yang Belle ingat dengan jelas. Kakak tampan yang dua tahun lalu melayaninya di toko hewan sihir! Kak Raye namanya. Gadis itu mencoba memperhatikan wajah si pengamen dengan seksama, wajahnya tampan, rambutnya pirang lalu ia menyanyi dengan sangat serius meski liriknya sangat lucu. Ahhh, itu benar-benar Kak Raye! Senyum lebar pun seketika merekah di wajah mungil Belle, membuat kedua matanya terlihat semakin sipit saja. Gadis itu memutar tubuhnya menyamping lalu melambaikan tangan dan memanggil si pengamen, "Kak Raye!!"

Ia tidak menyadari bahwa ada sosok lain yang tengah mendekatinya dari belakang, "Pemuda itu menganggumu nona? Ckck, jahat sekali ya." Gadis itu terkejut dan terlonjak di kursinya. Tubuhnya terhuyung dan ketika itu ia menolehkan wajahnya ke arah sosok yang mengejutkannya tadi. Ia menoleh tanpa memperhitungkan jarak, tak menyangka bahwa wajah seorang laki-laki berambut pirang akan begitu dekat jaraknya dengan wajahnya sendiri. Saat ia tersadar, bibirnya dan bibir laki-laki itu telah saling bersentuhan.

Ci—ciuman?!

"Huaaaa!" pekik Belle cepat-cepat menarik tubuhnya. Wajahnya memerah, jantungnya berdebar-debar dan matanya terbelalak.

Belle akan hamil... Mommy...



Will it taste like candy?
Will it be that sweet?
Will our hearts be racing to a heavenly beat?


Gadis kecil itu masih terpaku di tempatnya, kristal perak kembarnya masih menatap kedua bola mata anak laki-laki di hadapannya. Sebelah tangannya masih menyentuh bibirnya sendiri dan wajahnya masih memerah karena malu. Ia bisa merasakan degup jantungnya yang berpacu semakin cepat ketika kristal peraknya mulai bergulir menyusuri wajah tampan yang baru saja ia cium tanpa sengaja. Bibir anak laki-laki itu telah bersentuhan dengan bibirnya sendiri, persis seperti yang dilakukan pangeran Alexei dan peri bunga dalam buku ceritanya. Rasanya begitu lembut dan manis. Perlahan, Belle membasahi bibirnya dan menggigit pelan bibir bawahnya yang tipis. Waktu seolah-olah berhenti dan ia masih tidak percaya pada apa yang baru saja terjadi sampai anak laki-laki itu memecahkan keheningan dengan komentarnya tentang yang barusan terjadi.

"Wah, wah berani juga kau ya nona, agresif sekali"

Wajah Belle semakin memerah dan ia tertunduk. Ia tahu, jika dilihat sekilas, apa yang baru saja terjadi tampak seperti disengaja olehnya meski kenyataannya tidak seperti itu. Gadis kecil itu tak tahu bahwa anak laki-laki itu ada di belakangnya dan justru ia terkejut sehingga menoleh ke belakang.

Lalu ciuman itu terjadi.

Belle menelan ludah, "Maafkan Belle..."

You’re the one who want it—it wasn’t her.

Tiba-tiba, anak laki-laki yang duduk di depan Belle berkomentar dengan tenang sambil menyuapkan waffle ke mulutnya. Kedua mata anak itu terlihat bermusuhan saat memandang anak laki-laki di belakang Belle. Gadis kecil itu mengira, mungkin mereka berdua sudah saling mengenal dan hubungannya tidak akur. Atau mungkin seperti Areski dan Jake. Entahlah. Gadis kecil itu hanya diam menatap kedua anak laki-laki itu bergantian, kemudian menatap pada Rayearth yang masih asyik bernyanyi—meminta pertolongan.

“Want me to punch him?”

"No, no. No need to do that. It's not his fault...," Belle panik ketika anak laki-laki yang sedang makan itu tiba-tiba menawarkan diri untuk menghajar anak laki-laki yang telah merebut ciuman pertamanya tanpa sengaja. Jantungnya masih berdegup kencang, masih belum sepenuhnya melupakan kejadian mengejutkan tersebut. Ia takut ciuman barusan akan menyebabkan dirinya hamil. Usianya baru tiga belas tahun, terlalu muda untuk menjadi seorang ibu.

“Cup..cup..Nabelle sayang,” Gadis kecil itu terdiam ketika kemudian Rayearth menghampiri dan memeluk dirinya. Pemuda itu menepuk-nepuk kepala Belle, membuat gadis kecil itu sedikit lebih tenang meski jantungnya masih terus berdebar.

Seperti saat peri bunga berciuman dengan Pangeran Alexei.

Belle merapatkan wajahnya di tubuh Rayearth, pandangannya kembali tertuju pada anak laki-laki pirang dengan headphone melingkar di lehernya. Lagi-lagi bayangan saat bibir mereka bersentuhan kembali muncul di benaknya.Apakah peri bunga juga merasa seperti ini saat pertama kali berciuman dengan Pangeran?

"Kau...," ujar Belle pada anak laki-laki itu, "Kau akan jadi Daddy dari bayi Belle nanti. Namamu siapa?"

Dia harus tahu siapa nama ayah dari calon jabang bayi di perutnya, bukan?

Label:






Minggu, 10 Januari 2010 @ 01.44
`Pieces of Memory (Belle's PoV)

In my memory
I can still see that face
In my memory
I can still hear the voice
I remember talkin' with you
You were the light for me to see
You were the sky that covered me
In my memory, I remember you still
...Daddy



Langit sore itu terlihat cantik dengan semburat pink berpendar dari balik gumpalan awan yang serupa gulali. Seorang gadis kecil terlihat sedang bermain-main dengan seekor bayi kucing di tengah-tengah hamparan mawar putih. Rambut pirangnya diikat ke atas membentuk cepol yang manis. Musim semi memang selalu membawa suasana ceria pada semua makhluk hidup di Bumi. Tapi, lihatlah ekspresi gadis kecil itu. Senyum cerianya yang biasa seolah hilang dari wajahnya, berganti dengan senyum lesu yang keluar dari wajah mungilnya yang pucat. Air mukanya terlihat lelah, lingkaran hitam membayang di sekeliling mata sipitnya. Tubuhnya yang terbalut sweater longgar merah bata dan celana jeans pendek, berbaring tengkurap di atas hamparan rumput hijau yang terpetak melingkar di tengah-tengah kebun mawar putih. Tangan kirinya menjadi bantal untuk menopang dagunya, sementara tangan kanannya sibuk mengusili bayi kucingnya. Sesekali ujung jari telunjuknya menyentuh hidung si bayi kucing yang dikiranya seekor naga jejadian. Sesekali dia tertawa saat bayi kucingnya bersin karena ulahnya—sedikit kecewa karena bayi kucingnya tidak mengeluarkan semburan api saat bersin.

"Boris masih bayi, sih. Jadi belum keluar api dari hidungmu, ya?" ujarnya polos sembari meniup-niup hidung si bayi kucing dengan lembut—membuat si bayi kucing menggosok-gosok hidungnya kegelian. Sebelah tangan gadis kecil itu terulur dan dengan telapak tangannya, dia mengusap-usap punggung si bayi kucing. Dengkuran samar terdengar, tanda bahwa bayi kucing itu merasa senang dan nyaman dengan perlakuan si gadis kecil. Si Bayi kucing melangkah mendekati wajah mungil nonanya, mengangkat sebelah kakinya dan menempelkannya ke bibir gadis kecil itu seolah ingin berkata, "Nona Nabelle berhentilah meniup hidungku." Gadis kecil itu terkekeh pelan. Perlahan dia mengangkat kepalanya, membiarkan tangan kirinya bebas lalu dengan kedua tangannya dia memegangi tubuh si bayi kucing. Gadis itu memutar tubuhnya ke posisi terlentang dan meletakkan si bayi kucing di atas dadanya.

"Boris, Belle kangen Daddy," ujar gadis kecil itu lirih. Kristal peraknya kini menatap ke langit. Dia ingin menunggu hingga bintang-bintang mulai bermunculan di langit lalu mencari bintang yang bersinar paling terang di matanya. Konon, bintang yang paling terang itu adalah tempat tinggal orang-orang yang sudah meninggal. Gadis kecil itu merindukan ayahnya. Gadis kecil itu tak mengerti kenapa ibunya, kakek dan neneknya, bahkan Zeus, menghindar setiap kali dia menanyakan perihal kematian ayahnya. Mereka bersikeras mengatakan bahwa imaji yang muncul tentang saat-saat terakhir ayahnya itu hanya imajinasi belaka dan bukanlah sebuah kenyataan. Mereka bersikeras bahwa dia tak ada di tempat yang sama ketika ayahnya pergi untuk selamanya. Padahal, gadis kecil itu sudah cukup usia untuk mengerti bahwa ingatannya yang hilang telah berangsur-angsur kembali. Jika potongan impresi yang muncul tentang Zeus dibenarkan, lantas kenapa imaji yang timbul tentang ayahnya tidak?


Daddy, I could see your face. I could feel your touch.
And I could smell your blood.
It was so real.
It was a piece of my memory about you.



"Kenapa mereka membohongi Belle?" Gadis kecil itu mulai terisak, kedua tangannya memeluk si bayi kucing yang kini tidur dengan nyaman di dadanya. Buliran kristal bening mulai mengalir dari sudut matanya, membasahi kedua pipinya. Dia marah. Dia kesal. Tapi dia tak tahu harus berbuat apa selain menunggu potongan memorinya yang lain datang dan melengkapi susunan puzzle yang terhilang dalam ingatannya.


But when?



Penampilan Belle

Label:






@ 01.36
`She's a Pedophilia Virus

Paras gadis kecil itu terlihat pucat. Kilau yang biasa terlihat pada surai-surai keemasannya kini seolah redup tanpa semangat. Di bagian bawah kedua matanya terlihat bayang kehitaman karena nyaris tidak tidur selama beberapa hari sejak pertemuan pertamanya dengan Zeus, kakak sepupunya. Meski gadis kecil itu tak bilang apa-apa pada Zeus, sejak hari itu dia sulit tidur. Kesunyian malam selalu membuatnya ingin berpikir dan berpikir—menelusuri jaring-jaring ingatan dalam kepalanya yang tak lagi sempurna. Rasa ingin tahunya yang besarlah yang membuat gadis kecil itu keras kepala untuk memaksa ingatannya kembali. Hal itu selalu membuat kepalanya sakit setiap malam dan melemahkan tubuhnya hari lepas hari.

Belle, begitulah dia disapa oleh semua orang yang mengenalnya. Sore itu ia berjalan menyusuri pekarangan Hogwarts yang luas dengan kaki-kaki mungilnya yang terbalut boots putih kesayangannya. Tubuhnya terlindungi oleh sweater pink sebatas pinggul dan rok lipit putih selutut. Beberapa hari ini, kepalanya selalu dihiasi dengan topi kupluk untuk menutupi keningnya. Terlalu malu untuk menunjukkan deretan aksara sewarna darah yang tertulis di kening mungilnya. Sampai hari ini pun, Belle tetap merasa bahwa tante erumpent itu tidak adil karena telah memberinya hukuman yang kejam seperti itu padahal dia berniat untuk membantu orang lain dengan merapal mantra di luar sekolah. Jika tulisan itu hanya beberapa hari saja bertengger, Belle masih bisa terima dengan sukarela. Tapi ini, PERMANEN! Anak perempuan mana yang rela di dahinya tertulis kata-kata memalukan seumur hidup? Langkahnya kini menghentak-hentak karena kesal.

Di punggungnya, tersampir sebuah case gitar berwarna putih. Tentu saja ada gitar di dalamnya. Gitar pink kesayangannya dengan lubang berbentuk hati di tengah-tengahnya, Heart. Yep, sore itu pun, Belle hendak menyegarkan pikiran dengan bersantai di pinggir danau, bermain gitar dan bernyanyi. Kegiatan yang hampir setiap hari dia lakukan sejak bersekolah di Hogwarts. Bedanya tahun ini, dia hampir selalu ditemani oleh Zeus.

Zeus panjang umur. Baru saja gadis kecil itu teringat padanya dan sekarang dia melihat kakak sepupunya itu sedang sibuk melakukan push-up di depan dua orang gadis kecil. Salah satunya dia kenali sebagai sepupu dari Silver, sedangkan yang satu lagi, yang sedang memeluk boneka itu sepertinya juniornya di Ravenclaw. Anak yang manis. Belle pun mempercepat langkahnya menghampiri mereka.

"Hai, Emmy. Masih ingat aku?" sapanya ramah dan, "Halo, adik kecil. Siapa namamu? Aku Belle. Kelas 2, Ravenclaw. Kalau tak salah kamu di Ravenclaw juga, kan?"

Kemudian gadis kecil itu berjongkok di samping Zeus yang masih push-up dengan gemetar, "Zeus sedang apa? Sudah gemetaran begitu," dan matanya terbelalak ketika melihat darah mengalir deras dari luka di lengan anak laki-laki itu. Gadis kecil itu buru-buru menarik tubuh Zeus dan jatuh terduduk ketika bobot tubuh anak laki-laki itu menimpa tubuh mungilnya, "Zeus bodoh! Luka di lenganmu terbuka dan berdarah, kenapa masih push-up! Demi Merlin! Dari dulu Zeus selalu saja meremehkan luka!"

Eh? Tunggu. Tadi Belle bilang 'dari dulu'?

******

Gadis bersurai keemasan itu hanya terdiam ketika Emmy menceletuki kata-katanya dan Calnera mengancam tak mau mengenal Zeus lagi. Gadis kecil itu terdiam karena dia terkejut dengan sebuah impresi masa lalu yang hadir begitu saja, begitu mendadak dalam benaknya. Bukankah dia tak ingat sedikitpun tentang Zeus? Lalu, bagaimana dia bisa tahu bahwa kakak sepupunya itu sejak dulu selalu meremehkan lukanya? Darimana dia tahu bahwa kakak sepupunya itu adalah seorang anak laki-laki yang serampangan? Tanpa sadar dia mengigit jemari kanannya. Termenung.

Nampaknya, Zeus pun menyadari keganjilan pada kata-katanya barusan karena tiba-tiba saja anak laki-laki itu mengangkat tubuhnya dan berbisik padanya. "Belle, kau sudah ingat? Kau tadi bilang dari dulu aku selalu meremehkan luka! Kau sudah ingat?" Anak laki-laki itu menatapnya tersenyum. Senyuman penuh harap yang nampaknya tak terkabulkan saat ini.

Gadis kecil itu menatap iris perak Zeus dengan tatapan bingung. Perlahan gadis kecil itu menggeleng. "Tidak. Belum. Belle tak ingat apa-apa. Hanya tiba-tiba tahu. Belle tak ingat apa-apa, belum." Gadis kecil itu mulai kebingungan. Namun kali itu, dia berusaha untuk tetap tenang dan tidak histeris ketakutan. Dia mulai terbiasa dengan segala keganjilan yang mengerikan itu. Usapan jemari Zeus di pipinya membuatnya merasa lebih rileks. Gadis kecil itu berusaha tersenyum. "Setidaknya, sudah mulai ingat sedikit demi sedikit."

“Sakitnya kurang? Mau kutambah sakitnya, eh?” ujar Emmy tiba-tiba sambil berdiri—Belle menggulirkan kristal perak kembarnya menatap gadis itu dengan heran. Gadis tomboy itu menggosok kedua tangannya dan melakukan stretching. Nampak siap menghajar Zeus, sepertinya. “Sudah siap? Atau mau berhenti?”

"Tak perlu begitu, Emmy. Zeus sudah berhen—"

BRUKK

Kata-katanya terputus ketika Zeus tiba-tiba saja ambruk tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, terlalu banyak darah yang keluar dari luka di lengannya.

"ZEUS!! Demi Merlin!" pekik gadis kecil itu sembari mengeluarkan selembar sapu tangan dari saku sweaternya dan mengusap lengan Zeus yang masih mengeluarkan darah. Dan lagi-lagi bayangan masa lalu menamparnya. Kedua telapak tangan kecilnya berlumuran darah. Bau amis darah tercium pekat dan teriakan-teriakan ilusioner mulai berdengung di telinganya. Gadis kecil itu memejamkan mata, berusaha menenangkan diri. Teriakan ibunya, teriakan almarhum ayahnya dan teriakan dirinya sendiri terdengar demikian jelas. Sosok Zeus yang pingsan kini berganti menjadi sosok ayahnya yang terkapar berlumuran darah di benaknya. Ayahnya masih hidup dan membelai wajahnya saat itu sebelum akhirnya kedua matanya tertutup untuk selamanya.

Daddy?

Kristal cair bening mulai mengalir dari sudut matanya. Gadis kecil itu tahu bahwa yang barusan berkelebat di benaknya adalah kenangan saat kematian ayahnya. Dia ada disana menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saat ayahnya menghembuskan nafas terakhir. Entah kenapa, Teresa dan yang lainnya membohongi dia dengan mengatakan bahwa ayahnya meninggal dalam tugas.

Siapa yang bunuh Daddy?

Gadis kecil itu cepat-cepat menggigit bibirnya dengan keras ketika menyadari bahwa saat ini Zeus perlu bantuannya. Dia tak boleh tenggelam dalam ingatan yang tiba-tiba datang sekarang. Dia menggelengkan kepalanya dengan keras, berusaha mengusir segala impresi dan gambaran yang memaksanya untuk mengingat. Tidak. Tidak sekarang. Dihapusnya airmata yang membasahi wajahnya. Dia harus tegar.

"Emmy, bisa tolong bersihkan lukanya? Zeus bilang, selama ini Emmy yang merawat lukanya. Belle mau coba bangunkan dia dengan, "Belle merogoh ke dalam sakunya, mengeluarkan sebuah botol kaca berwarna pink, "minyak wangi ini."

"Calnera, bantu aku basahi sapu tangan ini dengan air danau, ya," ujarnya lembut pada gadis kecil yang sedang menggendong boneka. Dia berusaha tenang meski jantungnya sekarang berdebar keras. Gadis kecil itu menggeser duduknya, mendekati kepala Zeus. Air matanya kembali mengalir, sosok Zeus saat ini benar-benar mengingatkannya pada hari kematian ayahnya.

Apakah Zeus akan mati juga?

Perlahan diangkatnya kepala Zeus dan diletakkan di pangkuannya. Gadis kecil itu cemas setengah mati. Untung saja, sebelum ini dia sudah pernah menghadapi kejadian yang hampir sama sehingga sekarang dia selalu membawa-bawa botol minyak wangi kemana-mana. Dibukanya botol minyak wangi tersebut dan didekatkannya ke hidung Zeus agar anak laki-laki itu bisa menghirup aroma pekat minyak dan terbangun. Sementara tangan kirinya memegang botol parfum, tangan kanannya mengelus-elus kening Zeus dengan lembut. "Zeus bodoh. Jangan mati karena hal konyol begini! Hiks."

Label:






Rabu, 06 Januari 2010 @ 05.07
`Transfigurasi Kelas 2

Lagi-lagi gadis kecil itu melewatkan malam dengan tidur yang gelisah. Bagaimana bisa tidur jika kelebatan-kelebatan imaji masa lalu yang terpotong-potong muncul dalam benak tanpa berhenti. Membuat Belle semakin penasaran untuk terus menggali dan menggali meski hasilnya selalu nihil. Sejauh ini, dia baru teringat sedikit tentang Zeus. Itu pun terjadi secara kebetulan ketika terkejut melihat kakak sepupunya itu berdarah-darah. Impresi bahwa Zeus adalah seorang anak yang suka meremehkan luka dan potongan gambaran saat-saat terakhir kehidupan ayahnya.

Belle duduk dalam diam di kelas. Memperhatikan Profesor McGonagall menjelaskan pelajaran mereka hari itu. Transfigurasi selalu menjadi pelajaran yang dia sukai karena dia bisa merasakan sihir secara langsung bukan hanya melalui buku. Kedua matanya terbuka lebar—tertarik mendengarkan kata-kata yang diucapkan profesornya. Kali ini mereka akan mengubah tikus menjadi cangkir dengan mantra Vera Verto yang akan mengubah hewan apa saja menjadi benda mati. Katanya, inti dari transfigurasi kali ini adalah konsentrasi. Hal yang mudah bagi gadis kecil itu bila saja kondisi tubuhnya tidak sedang dalam keadaan drop seperti saat ini. Kepalanya cukup pusing karena rasa lelah dan kantuk.

Gadis kecil itu menggosok-gosok matanya lalu mengambil tikus yang diletakkan di bawah mejanya. Belle tidak takut pada tikus, apalagi tikus putih yang cantik seperti yang sekarang ada dalam genggaman tangannya. Wajah tikus itu imut, Belle jadi tidak tega mengubahnya menjadi cangkir. Apakah tikus itu akan mati jika nanti diubah menjadi cangkir? Apakah ada cara supaya tikus itu tetap hidup? Heu—

"Tuan tikus, maafkan Belle ya. Ini tugas sekolah, sih," ujar gadis kecil itu seraya meletakkan tikus putihnya di atas meja. Gadis kecil itu menarik nafas dan mengeluarkan tongkat sihirnya dari dalam saku jubahnya. Konsentrasi. Bayangkan tikus itu menjadi cangkir putih yang cantik. Cangkir putih yang memiliki pegangan antik dengan ukiran bunga-bunga di permukaannya. Konsentrasi. Pusatkan pikiran.

"Vera Verto!"

Menunggu...

....

.......

.............

Plop!

Yes! Tikus putih itu berubah persis seperti cangkir yang ada dalam bayangan Belle. Cangkir yang cantik. Gadis kecil itu mengangkat cangkir yang terbuat dari tikus putih itu dan terkejut setengah mati ketika didapatinya ekor si tikus masih bergerak-gerak di salah satu permukaan cangkir.

"Euh. Cuma berhasil 90%."

Label:






@ 04.43
`Herbologi kelas 2

Rasanya hari itu dia tak mampu tersenyum ataupun berkonsentrasi. Dia hanya berdiri di depan mejanya, memandangi sebuah baki dan pot yang terletak disana—untuk keperluan praktek Herbologinya hari ini. Tak seperti dia yang biasanya selalu tersenyum dan terlihat bersemangat menjalani pelajaran apapun yang disuguhkan sekolahnya. Padahal dia menulis surat di secarik perkamen untuk Zeus sebelum masuk kelas hari ini, berisikan pesan supaya kakak sepupunya itu tidak membolos kelas karena kelas herbologi begitu menarik. Menyemangati orang lain saat diri sendiri tak bersemangat, rasanya munafik. Gadis kecil itu menghela nafas. Memberikan senyum simpul tak bersemangat pada teman-teman yang menyapanya.

Semalam, dia lagi-lagi bermimpi, sosok ayahnya yang sekarat tengah membelai pipinya dengan jemarinya yang penuh darah. Telapak tangannya sendiri penuh dengan darah. Darah ayahnya. Dan kemudian berakhir dengan hembusan nafas terakhir dan teriakan dirinya sendiri yang terbangun dengan keringat dingin mengucur deras dari pelipisnya. Saat-saat kematian ayahnya menerornya setiap malam. Gadis kecil itu kesal, marah, karena potongan ingatan yang kembali itu tidak membukakan tabir tentang siapa pembunuh ayahnya. Gadis kecil itu menggigit bibir. Berusaha berkonsentrasi mendengarkan Profesor Sprout menjelaskan.

”Karena kurasa kalian sudah membaca cukup banyak tentang Mandrake, maka aku tidak perlu lagi berbicara panjang lebar akan tanaman yang serupa bayi dengan rupa yang tak terlalu rupawan ini, kan? Kalian hanya perlu memindahkan Mandrake-mandrake tersebut pada pot yang lebih besar setelah pot tersebut kalian isi dengan humus yang telah kusediakan. Namun sebelum memulai, ada baiknya kalian memerhatikan bagaimana caraku melakukannya.”

Mandrake?

Ya, Belle sudah membaca cukup banyak tentang Mandrake. Tanaman aneh dengan akar berbentuk bayi jelek seperti tuyul yang menangis dan meronta saat dikeluarkan dari dalam tanah. Konon, tangisan mandrake yang lebih dewasa bisa membunuh manusia.

“Kenakan penutup telinga kalian sekarang, selagi aku memberi contoh. Semua, tidak terkecuali, nak!”

Perlahan, dia mengambil penutup telinga dan memakainya rapat-rapat menutupi telinganya. Di saat seperti ini, dia tak ingin berlaku ceroboh dan mencelakai diri sendiri. Tidak disaat dia belum mengetahui siapa pembunuh ayahnya. Jika memang dia ada di sana saat kematian Boris, seharusnya dia melihat dengan mata kepala sendiri wajah pembunuhnya. Gadis kecil itu mendengus lesu, berusaha untuk tidak kembali melamun. Kedua kristal peraknya dia paksa untuk memperhatikan bagaimana Profesor Sprout memberi contoh cara memindahkan mandrake ke dalam pot yang lebih besar. Kelihatannya mudah kalau Profesor Sprout yang melakukannya. Dia pun membuka penutup telinganya ketika Profesor Sprout menjetikkan jari.

”Nampak mudah memang. Namun jangan lupa untuk berhati-hati menghadapi tangisan serta rontaan mereka yang sama sekali tidak dapat disepelekan. Kuingatkan sekali lagi, bagi mereka yang ngotot melepas penutup telinga di tengah jalan, sebelum kelas ini usai, jeritan mandrake berpotensi besar membuat kalian pingsan di tempat. Untungnya karena tanaman Mandrake ini masih bayi, suara tangisan mereka belum cukup kuat untuk membunuh kalian, tambahnya cukup panjang dan lebar agar para muridnya terhindar dari luka yang tak diinginkan. Sekarang, kenakan lagi penutup kuping kalian. Aku akan memberi isyarat kepada kalian begitu waktu kita habis untuk kelas ini. Nah, ayo mulai sekarang! Aku akan ada di sini untuk memantau kemajuan pekerjaan kalian.”

Gadis kecil itu pun menurut dan memakai lagi penutup telinganya dalam diam. Tak berkomentar atau pun mengeluarkan desah kagum seperti biasanya. Dia hanya ingin menyelesaikan tugasnya dengan cepat dan mencari Zeus. Dia ingin bertanya lebih banyak tentang kejadian hari itu. Tak peduli meski Zeus selalu mengganti topik dan menghindar dari pertanyaan tersebut. Zeus tahu siapa pembunuh ayahnya, tapi anak laki-laki itu bersikeras menutupinya dari Belle.

Belle mengambil humus yang telah disediakan dan mengisinya ke dalam pot yang lebih besar, yang nanti akan menjadi pot baru untuk mandrakenya. Dan dengan cekatan, gadis kecil itu mencabut mandrakenya dari pot asalnya. Tidak mudah, karena mandrake itu meronta-ronta dan menangis. Wajah mandrake itu lebih jelek daripada yang dia lihat dari buku dengan kepala bagian belakang memanjang, seperti alien. Dengan susah payah, Belle berusaha memasukkan mandrakenya ke dalam pot yang baru. Lengah sesaat ketika melihat Xuxa jatuh pingsan dan mandrake itu menggigit pergelangan tangannya dengan keras. Gadis kecil itu berteriak kesakitan dan spontan melempar mandrakenya sehingga menabrak punggung seseorang di sebelahnya.

Heu—

Label: